😇 Patut Bersyukur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari sekian banyak yang sudah dilalui,
tidak pernah aku sesali meski jauh dari keluarga
Karena nyatanya, bertemu dan memiliki mereka
adalah hal yang paling aku syukuri.

❄️❄️❄️

Apa yang Ilham suka dari Jakarta selain bertemu dengan warga kosan Bu Endang? Suasana malamnya yang tidak pernah sepi, interaksi bersama beberapa kenalan yang ia temui di jalan, dan solidaritas sesama pendatang atau perantauan.

Sepulang dari kantor, ia memelankan laju motornya ketika mendekati daerah yang padat dengan pusat perbelanjaan. Ia memilih untuk berhenti di depan salah satu sepeda motor dengan kotak kayu berisi beberapa renteng minuman saset, galon air, dan termos air panas.

Ia menyebutnya StarlingStarbucks Keliling—kenalannya sesama warga Jawa Timur. Selama empat tahun, Ilham sudah mengenal beberapa orang dengan usaha yang saman. Bahkan ia geleng-geleng ketika melihat Abang Starling ini berjualan tepat di depan gerai atau outlet Starbucks yang asli.

"STMJ-nya ada, Mas?" tanya Ilham pada lelaki di hadapannya.

"Ada. Eh, Mas Ilham. Habis lemburan?"

Ilham hanya mengangguk dan mengambil posisi duduk di pinggiran taman yang ada di boulevard salah satu apartemen terkenal. Dari banyaknya minuman yang tersedia, ia sengaja memilih STMJ. Setidaknya itu jauh lebih aman daripada minuman yang biasa ia pesan.

Sembari menunggu pesanannya tiba, ingatannya kembali pada sesaat sebelum ia keluar kantor. Seorang wanita tiba-tiba menyapa dan mengajaknya berbincang sampai ke parkiran.

"Mas Ilham, ada kabar mutasi ke daerah Jatim. Mau ngajuin?" Wanita dengan blouse berwarna hijau sage dan celana panjang itu bertanya.

"Mbak Rey tahu dari mana?" tanya Ilham pada wanita dengan name tag Reyninta Putri.

"Bagian HRD ada yang kasih kabar. Kalau mau, saya bantu."

Lelaki pemilik lesung pipi itu menghela napas sambil tersenyum. "Saya coba bicarakan dengan keluarga dulu."

"Saya tunggu kabarnya segera," ujarnya sambil berlalu dan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berpisah dengan Ilham.

Sosok lelaki penjual minuman itu tiba-tiba sudah berada di depan wajah Ilham. Suara dan lambaian tangan kiri si penjual mengembalikan kesadaran sulung dari empat bersaudara itu.

"Ngelamunin apa? Ini minumannya."

"Makasih, Mas." Ilham hanya mampu tersenyum hingga lesung pipinya itu tampak jelas.

Setelahnya hanya ada jeda diam yang hadir di antara keduanya, di antara ramainya lalu lalang kendaraan dan sepinya pembeli yang dihadapi kenalan Ilham itu. Otaknya ingin berpikir, tetapi hatinya melarang karena percuma saja. Bukan penyelesaian melainkan pemikiran-pemikiran lain yang akan ia hasilkan. Sudah cukuplah ia menghadapi rekan kerjanya tadi.

"Saya pengin pulang, Mas."

"Ya, tinggal balik saja, to?"

"Nggak bisa."

"Kenapa?"

"Ada orang tua dan adik saya yang harus saya tanggung." Ilham menunduk mengamati kakinya yang memainkan kerikil.

"Mas Ilham pulang saja, terus buka usaha di kampung. Pasti bisa bantu keluarga."

"Orang tua nggak kasih izin saya untuk pulang."

Setelah menandaskan minumannya, Ilham berpamitan dan mengakhiri percakapan sederhana itu. Tujuannya bukan untuk mencari penyelesaian, ia hanya butuh tempat untuk menumpahkan isi kepala dan keluh kesahnya. Meski tidak menghasilkan apa-apa, setidaknya ia bisa kembali ke indekos dengan perasaan yang sedikit lega.

Lelaki dengan rambut lurus itu lekas berpamitan setelah ingat bahwa dua adiknya sedang ada perselisihan. Mungkin bukan hal besar, tetapi terkadang ego yang menyebabkan hal ini tidak bisa diselesaikan hanya berdua saja. Tidak begitu terburu-buru, tetapi rasanya ia sudah terlalu lama meninggalkan kamarnya.

Baru saja sampai di indekos dan memasuki ruang tamu, suara gaduh sudah menyambutnya. Ilham mengira itu suara Nanang. Ia mempercepat langkahnya dan menuju pada kamar yang terbuka.

"Kenapa, Nang? Ya Allah, Yo?" ujarnya panik.

Ia melihat Nanang tampak kesusahan ketika akan membopong Yoyo ke kasur. Wajah si bontot tampak memprihatinkan. Ia meringis tertahan sambil memegang kakinya. belum lagi keningnya yang berdarah.

Yoyo terlalu sering merasakan sakit di kakinya, untuk itu Ilham harus lebih tegas supaya si bontot tidak menyepelekannya. Bagaimana tidak? Nyeri yang dirasakan sudah cukup lama hanya dikompres dengan es batu, bahkan isi freezer mini di kamarnya dipenuhi es batu.

"Sekali-sekali dengerin yang tua, Yo," ujar Ilham dan dibenarkan oleh Nanang.

Yaps, negosiasi yang awalnya sedikit alot akhirnya berhasil dimenangkan oleh barisan tua. Yoyo hanya sanggup mengusap wajah ketika Nanang dan Ilham menatapnya.

"Mas bersih-bersih dulu, ya? Kalau butuh apa-apa, bilang saja."

"Tenang, Mas Ilham. Pasrahkan semua pada Nanang."

Anak kuliahan asal Solo itu menepuk dadanya dengan bangga dan sangat yakin bahwa semua akan aman berada di tangannya. Termasuk membantu menjaga Yoyo.

Ilham menuju kamarnya sambil mengeluarkan ponsel dan meminta Naka untuk segera pulang. Hal ini masih terkait dengan laporan yang disampaikan oleh Yoyo dan Nanang padanya tentang perselisihan Wisnu dengan Naka.

Setelah selesai bersih-bersih, Ilham mondar-mandir di kamarnya. Ia melihat jam di ponsel kemudian memainkannya sebentar. Ada rasa rindu dan ingin menghubungi keluarganya. Namun, waktu rasanya tidak mengizinkan. Di mana tata kramanya? Jam sepuluh malam menghubungi orang tua yang mungkin sudah beristirahat.

Me:
Asalamualaikum, Bay.
Wes tidur, tah?
Besok sampaikan ke Bapak, Mas Ilham mau telepon

A2_AufaSambayu:
Wa'alaikumsalam
Belum, Mas. Insyaallah disampaikan ke Bapak

Me:
Makasih, Dek.
Tidurnya jangan malam-malam
Biar subuhnya ndak terlambat.

A2_AufaSambayu:
Nggih, Mas.

Sembari menunggu Naka datang, ia merebahkan tubuhnya di kasur. Menatap langit-langit kamarnya sambil menerka jawaban apa yang akan orangtuanya berikan ketika ia meminta hal yang sama, untuk kesekian kalinya.

Permintaannya selama setahun belakangan itu begitu sederhana. Meminta izin untuk pulang, sekali saja untuk sekadar melepas rindu, setelah itu ia berjanji untuk kembali lagi. Namun, pemikiran orangtuanya itu berbeda, jika Ilham diberi satu kesempatan untuk pulang maka ia akan meminta kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Entah dari mana orangtuanya mendapatkan pemikiran seperti itu. Padahal, bekerja jauh dari keluarga lebih banyak khawatirnya. Itulah yang ingin diminimalisir oleh Ilham. Setidaknya, ia ingin merawat orangtuanya dengan baik ketika pulang nanti.

Ketukan di pintu kamar membuatnya langsung beranjak dari tempat tidur. Sial, dunianya seperti berputar dan sedikit menggelap untuk beberapa saat. Yah, sensasi si pemilik tekanan darah rendah jika dilakukan serba mendadak.

"Kenapa, Ham?"

Ilham hanya mampu menggeleng ketika melihat Naka berdiri di depan pintu kamarnya. Rambut yang dikuncir dengan jaket khas berwarna hijau yang selalu melekat di tubuhnya. Perawakannya memang sangat bersemangat, tetapi jika dilihat lebih dalam pada sorot matanya, ada rasa getir yang sulit diungkapkan.

Penghuni kamar nomer sepuluh itu mengambil jaket tebal dari balik pintu dan menutup pintu kamarnya. Naka menatapnya sebentar sebelum pintu kamar tertutup. Udara Jakarta panas, tetapi si pemilik kamar mengenakan jaket?

"Ngomong-ngomong, muka lo agak pucet, sakit?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Naka, Ilham justru berjalan mendahului. "Ayo ke atas," ujarnya.

Ilham sudah siap dengan rencana satu dan dua. Pertama, ia akan mendesak Naka untuk menceritakan detil permasalahannya dengan Naka dari versinya. Sebab ia sudah tahu cerita dari versi Wisnu yang sempat ia tanyakan sebelum pulang dari kantor.

Kedua, mau tidak mau, Wisnu dan Naka harus bertatap muka secara langsung. Sebenarnya mereka bisa menyelesaikan, hanya saja dibutuhkan seorang penengah sebagai perantara untuk mencairkan sedikit gengsi dan ego dari keduanya.

"Beneran nggak mau ngomong? Kalau begitu lo langsung ngomong sama Wisnu aja."

Rencana kedua sedang dijalankan. Ilham menelepon dan meminta Wisnu untuk menyusul ke atas. Tidak berapa lama, Wisnu datang dengan membawa dua gelas kopi yang sudah ia seduh.

Setelah memastikan kondisi aman, Ilham memilih untuk meninggalkan mereka berdua. Padahal, ia tidak pergi, hanya bergeser ke tempat yang tidak terlihar oleh Wisnu dan Naka.

Ilham ingin memastikan kedua sahabat itu benar-benar berbaikan. Ia bernapas lega ketika keduanya sudah memulai percakapan panjang. Tanda berbaikan sudah dikibarkan. Ia menuruni tangga dan langsung menuju kamar nomer lima.

Ia membuka pintu perlahan, pemandangan gundukan manusia dengan selimut bermotif bunga-bunga menarik perhatiannya. Di sebelah kasur masih ada Nanang yang berjaga sesuai dengan janjinya.

"Yoyo badannya menggigil, Mas. Makanya selimutan," ujar Nanang.

Lelaki berlesung pipi itu melepas jaketnya, dan meletakkan di gantungan dekat pintu. Ia mendekati Yoyo, meraba keningnya sebentar kemudian membuka selimut tebal yang Yoyo kenakan.

"Pakai yang tipis saja," ujarnya Ilham pelan, tapi mendapat persetujuan dari Yoyo.

"Dia kedingingan, loh, Mas?"

"Badannya panas, Nang. Kalau pakai yang tebal malah nggak turun-turun demamnya."

Nanang pamit untuk beristirahat dan kembali ke kamar. Ilham memilih untuk tidur dan menemani Yoyo di kamarnya karena khawatir ia akan membutuhkan sesuatu saat terbangun.

Ketika hendak menutup pintu, Naka dan Wisnu yang baru saja turun dari lantai atas menghampirinya.

"Yoyo kenapa, Ham?"

"Demam dia. Tadi jatuh, kakinya keseleo, kepalanya kepentok pintu."

Naka masuk ke kamar Yoyo, melihat kondisi si bontot sebentar dan menatap ke arah Wisnu dan Naka secara bergantian.

"Kalian berdua balik ke kamar, biar Yoyo sama gue."

"Tap-i ..."

Belum selesai Ilham berkata, tubuhnya sudah didorong untuk keluar. Tidak lupa dengan jaket yang ia sampirkan juga turut disodorkan ke arahnya.

"Kalian berdua sudah kek mayat hidup. Tidur! Biar gue yang jaga."

Berani-beraninya Naka mencemooh Ilham dan Wisnu sebagai mayat hidup, padahal jika dilihat lebih dekat, penampilannya juga tidak jauh berbeda. Demi menuruti Naka, Ilham kembali ke kamar.

Meski begitu, ia tetap tidak bisa tidur dengan baik karena isi kepalanya membawa jauh berkelana dan memikirkan keluarganya. Ia akhirnya bisa tersenyum ketika ingat bahwa Naka ternyata sepeka itu. Bukan maksudnya mencemooh, tetapi Naka paham jika Ilham juga sedang butuh istirahat.

❄️❄️❄️

Penghuni kamar no.10
Kosan Bu Endang


Bondowoso, 04 Juni 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro