SELIKUR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari selanjutnya, Johann tetap pergi ke toko. Sekarang, semakin banyak Nippon datang ke sana untuk membeli kopi. Firasatku mengatakan, mereka mengawasi Johann.

Johann berat hati menjual kopi pada bangsa yang mengobrak-abrik kedaulatan bangsanya. Ia tak menyembunyikan raut tak sukanya. Tetapi ia tak punya pilihan lain karena butuh uang. Untungnya, Nippon lebih suka teh karena toko teh milik Nyonya Lim Ing Soek di dekat pengkolan jauh lebih ramai.

Perubahan lain yang terjadi, Johann jarang melakukan perjalanan dagang ke Sumatera untuk membeli kopi. Menurutnya, keadaan belum terkendali. Karena itulah ia minta tolong kepada penyalur kopi di Sumatera melalui surat agar kopi-kopi pesanannya dikirim. Ia sudah telanjur memesan kopi gayo sebelum pergolakan terjadi.

Aku kurang yakin apakah setelah ini kopi-kopi tersebut akan terjual karena warga Nederland di Semarang semakin sedikit. Johann pun kecewa karena menemukan kualitasnya tak sebaik jika dia datang sendiri ke sana.

Pasar masih terlihat normal. Aku masih menjalankan ritual suruhan Mbah Wayuh secara sembunyi-sembunyi.

"Sum, kau dengar berita?" Legiwati, pedagang bunga sesajen menyapaku ketika aku membeli.

"Soal apa?"

Legiwati berdiri dari duduk bersimpuhnya, berbisik padaku, "Londo-londo kuwi, digowo nang interniran. (Belanda-belanda itu dibawa ke interniran)."

"Arep opo (Mau apa)?"

"Mbuh (tidak tahu)," Legiwati menggeleng lalu berbisik, "jare dipateni (Katanya dibunuh)."

Jantungku seperti berhenti hidup. Aku tidak mau Johann dibawa ke mana pun oleh para Nippon.

***

Pagi sekali aku mandi, meredam diri dalam air dan kelopak mawar yang hangat. Merenungkan kesehatan Johann. Merenungkan ucapan Legiwati. Isakan Johann beberapa malam yang lalu terdengar pilu.

Pintu kamar mandi diketuk."Sumarah," panggil Johann.

"Masuk, Meneer. Pintunya tidak dikunci."

Londoku masuk, menanggalkan seluruh piamanya. Ia bergabung denganku dalam rendaman air mawar.

"Apa ini, Meneer?" tanyaku terkejut merasakan Johann membaluri punggungku dengan minyak.

"Tidak apa, biar sekali ini aku memijatmu. Kau terlalu lelah mengurusku." Johann memijatku dengan tangannya sendiri. Aku memekik kegelian.

"Sakitkah?"

"Mboten, Meneer."

"Bagaimana sakitmu tempo hari?"

Tamu bulananku belum datang. Aku belum memberitahunya, tak mau sesumbar. Bagaimana kalau aku tak sungguh hamil?

"Sudah baik, Meneer."

"Benarkah?" Ia mengecup punggungku.

"Injih."

Detik selanjutnya, air rendaman perlahan menyusut. Johann membuka sumbat. Dari punggung, tangan Johann menjelajah payudaraku, mencubit putingnya sampai aku memekik.

"Kau tak akan meninggalkanku meski Nippon menjajah negeri ini?" bisiknya, kemudian mengecup punggungku. Tidak, ia tak hanya mengecup, ia mengisapnya. Jemari besar Johann meraba pahaku, memasuki kemaluanku. Ia sungguh menghukumku.

"Ti-Tidak, Meneer," lirihku.

"Bersumpah?"

"Injih, Meneer. Bersumpah." Aku mengerang merasakan jemarinya tepat di titik itu. Berputar-putar cepat. Erangan tak terkendali kembali lolos dari mulutku.

"Apa kau bersedia dihukum kalau melanggar?" bisik Johann dengan suaranya yang mulai dalam. Udara serasa menipis. Ia menginginkanku. Sepagi ini?

Tahu-tahu Johann turun. Tubuhnya yang dipenuhi kelopak mawar berpindah ke depanku. Matanya berkilat nakal. Ia menekan tubuhku yang juga dipenuhi kelopak mawar. Sehingga aku telentang. Payudaraku yang membusung seketika menghilang di balik bibirnya.

Dengan lidahnya, Johann menyingkirkan hela-helai kelopak mawar. Ia sendiri kemudian telentang sehingga posisi kami berlawanan. Johann memejamkan mata kala aku memijat bagian itu menggunakan minyak yang sama dengan yang ia pakai memijat punggungku. Tiba-tiba tangan Johann meraih pinggangku, menancapkan kewanitaanku kepada kejantanannya yang terasa licin ketika aku bergerak naik turun.

"Sumarah," ceracau Johann. Punggungnya melengkung seiring irama tubuhku. Ia meremas dadaku, memilin-milin pucuknya.

"Lebih cepat," perintahnya ketika gerakanku melambat. Johann menghentakkan pinggulnya naik-turun cepat.

"Meneer!" Aku memejamkan mata merasakan sesuatu berkumpul di bawah sana. Sesuatu yang kurasakan itu bagai pecah, menggetarkan seluruh diriku sampai ke puncak kepala. Gerakanku menjadi kacau, menggelepar-gelepar.

Nampaknya Johann belum mencapai pelepasannya. Ia melepaskan diriku. "Berlutut!" perintahnya.

Aku kembali dihunjam keras. Tubuhku kembali terasa sepanas bara, padahal baru saja mandi. Johann menampar bokongku. "Aku ingin menghukummu, tetapi kau malah gembira."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro