TIGANG LIKUR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di Jawa hanya ada musim penghujan dan kemarau, sama sekali tak ada musim semi seperti di Nederland. Johann sering bercerita bahwa Maret hingga Mei adalah saatnya kuncup-kuncup bunga mekar, berwarna-warni menghiasi tepi-tepi kanal. Tulip merah, kuning, dan ungu menari-nari ditiup angin musim semi. Bodoh bukan jika aku membandingkan Nederland dengan surga karena belum pernah ke sana. Tetapi, menurut Pendeta Van Imhoff, tempat paling indah di luar bayangan manusia disebut surga. Musim semi mengubah Nederland seperti surga. Mulai dari tanah pertanian dengan bangunan kincir, sampai jalan-jalan di Amsterdam akan dipenuhi aneka rupa bunga. Para wanita bersuka cita sementara kaum pria menghadiahkan bunga-bunga itu pada kekasih mereka.

Aku tak pernah melihat namun bisa membayangkan keindahan yang diceritakan Londoku. Aroma cinta memenuhi udara ketika para kekasih bergandengan di tengah padang bunga. Udara wanginya menusuk rongga penciumanku, menyegarkan, membangkitkan kebahagiaan.
Begitulah hatiku sekarang. Bukan hanya bunga yang bermekaran. Api berkobar, membakar semangat, melalap hati. Aku tak pernah merasa sekuat, sehangat, dan begitu bersuka cita seperti kini. Johann mencintaiku, tiada nama Claudette atau wanita mana pun. Tiada wanita Eropa yang menyamaiku. Ia tak peduli aku bisa memberikan anak atau tidak.

Kakiku bagaikan melayang tak menapak ubin pualam. Kupeluk buku harian Johann. Buku harian ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa cinta tak membutuhkan syarat apa pun. Kau boleh mencintai siapa saja tanpa terhalang bangsa, kulit, harta, atau apa pun. Kau boleh menghiasi hati dengan laki-laki atau perempuan pujaanmu, tak peduli sesubur atau semandul apakah mereka. Akan kubuka di depannya. Kami bersama-sama membaca isinya nanti, kemudian mengakui perasaan masing-masing. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku merasakan hal yang sama. Aku tak akan pernah meninggalkannya. Karena seperti katanya, aku adalah wanita setia.

Kukayuh sepeda sekuat tenaga keluar dari pekarangan agar lekas tiba di toko. Dahan-dahan pohon asem yang luruh bergoyang gemulai, mengiringi perjalananku menemui Johann.

Para wanita Jawa yang biasanya nampak kusam, kini begitu cantik di mataku. Sekonyong-konyong mereka cantik dalam balutan kebaya dan jarik murah. Aku tersenyum di atas sepedaku, menyapa mereka. Aku tak kenal. Tapi apa bedanya? Ingin kuberitahu seisi dunia bahwa aku bahagia.

Siapa peduli soal Nippon? Siapa peduli soal kekalahan Nederland? Aku tetap Sumarahnya, milik Meneer Johann Koenraad. Johann pun tetap londoku. Ia bukan sosok penjajah. Dahulu maupun kini, aku tak pernah merasa dijajahnya. Mungkin ada beberapa londo jahat, penjajah, atau bengis. Tetapi, bukankah semua manusia begitu? Aku pernah mendengar raja Sultan Agung zaman dahulu menghukum musuhnya dengan cara keji. Semua manusia kuat memanfaatkan kekuasaan untuk menindas si lemah. Tetapi londoku tak begitu.

Senyumku semakin mengembang ketika sampai di pasar. Bau kambing dan kuda mendadak bagai aroma bunga. Para jongos berkeringat mendadak rupawan. Para pedagang dan pembeli yang cerewet masalah harga sontak terdengar menyanyikan lagu merdu seperti di gereja berkubah gendut. Kubelokkan sepeda di pengkolan biasa.

Namun kebahagiaan mendadak sirna berganti risau. Lima meter dari toko kopi Johann, para pria dan wanita berjarik murah berkerumun. Mobil hijau tua tanpa penutup milik kaum militer terparkir tepat di depan pintu toko. Kalau tak ada hal penting, mustahil mereka berkumpul di sini. Tergesa kupijak kaki ke tanah, memaksa sepeda berhenti. Satu-satunya yang melintas dalam benakku adalah Johann. Kusandarkan sepeda secara asal di tembok tanpa menguncinya, lalu berlari menyeruak kerumunan manusia.

Mataku menangkap kegaduhan dan telingaku mendengar suara Johann. Belum pernah kudengar ia meraung semurka itu. Aku meloncat-loncat untuk melihat lebih terang di tengah riuh manusia.

"Godverdomme! (Brengsek!)" teriak Johann pada tentara Nippon. Pakaian militer memeluk erat tubuh tiga orang laki-laki. Semuanya berdiri di depan londoku, mengancam dengan bayonetnya. Londoku bukan seorang pemarah. Pasti ia sangat tersinggung jika berteriak sekeras itu. Aku mendorong barisan di depan, terus merangsek masuk.

Kudengar suara ganjil berucap, "Rukisan! Turunkan rukisan!"
Rukisan? Apakah maksudnya lukisan? Di toko, seingatku hanya ada sebuah lukisan. Lukisan Ratu Wilhelmina berpigura emas.

Pikiranku jadi terang benderang. Tentara Nippon yang tempo hari membeli kopi di toko melaporkan keberadaan lukisan sri ratu di sini, lantas mereka ingin menyingkirkannya. Bisa kupastikan Johann sedang dalam bahaya. Ia tak akan membiarkan begitu saja ratunya dinista.

"Wat zeg jij, Klootzak?! (Apa yang kamu katakana, Keparat?!" teriak Johann lagi. Ia tak berubah, tetap membela wanita yang membeku dalam keagungan di lukisan.

Setelah mengerahkan seluruh tenaga, akhirnya aku bisa masuk ke toko. Wajah Mariyem sepucat tembok, sementara matanya nyaris loncat ke luar. Jemarinya meremasi ujung kebaya. Kentara sekali betapa cemas dirinya. Paimin, berdiri serupa stupa Candi Kalasan di belakang meja hitung. Sama tak berdayanya dengan Mariyem.

Johann berkacak pinggang di depan lukisan Sri Ratu. Tiga orang serdadu Nippon bertubuh ramping, hanya setinggi telinga londoku mengepungnya. Bayonet teracung sejengkal dari leher Johann. Mereka bisa memilih antara memuntahkan peluru atau merobek kulit londoku dengan belati tempur di moncong senapan.

Tak seperti biasa, tak ada lagi Johann yang lembut. Laki-laki yang kucintai nampak tak gentar dengan ancaman bersenjata. Matanya begitu tajam, menatap satu demi satu laki-laki cebol yang mengancamnya. Ia pun dalam posisi siaga. Andai diadakan pertarungan dengan tangan kosong, pasti londoku menang. Namun keadaan tidak begitu. Tak akan ada pertarungan adil satu lawan satu.

Tangan Johann masih di pinggang, menghalangi para Nippon menurunkan lukisan Ratu Wilhelmina. Aku tahu betapa bangganya Johann pada Nederland, tanah airnya, tumpah darahnya. Betapa ia memuja Sri Ratu. Aku yakin akan ada adu fisik tak seimbang di sini. Kemungkinan besar pertumpahan darah. Darah Johann.

Di depanku, seorang tentara yang kurasa berpangkat lebih tinggi daripada tentara cebol yang mengepung Johann, meletakkan tangannya di balik punggung. Bot hitamnya melindas ubin, berderap ketika dirinya berjalan mondar-mandir. Ia pasti tak biasa dengan perlawanan.

Komandan serdadu itu menghentikan langkahnya lalu berteriak, "Bangsamu menyerah! Rukisan. Turunkan!" perintah komandan tentara Nippon itu lagi dengan logat aneh. Lebih aneh karena ia melafalkan huruf 'L' dengan 'R'.

Johann tak bergeser selangkah pun. Kini terang-terangan menatap komandan Nippon dengan menantang. Tak ada lagi mata cokelat madu bersorot penuh cinta dari londoku. Hanya api kemarahan berkobar di sana.

"Hitung sampai tiga. Turunkan atau tembak!" lanjutnya.

Johann tetap kukuh di tempatnya, begitupun para tentara itu. Mata mereka saling beradu, siap saling menggempur. Laki-laki bersama segenap kebanggaan dirinya terkadang konyol. Tetapi entah kenapa kali ini aku sangat bangga pada Johann. Ia bukan jenis pria ayam sayur. Ia ayam jantan. Tidak. Ia bukan ayam. Ia banteng.

"Ichi! (Satu!)" Komandan Nippon mulai menghitung dalam bahasanya. Diacungkan telunjuknya ke udara, memberi petunjuk bilangan yang dihitung.

Aku tak bisa membiarkan Johann ditembak atau ditusuk. Mataku berkeliling mencari sesuatu untuk menghentikan waktu. Aku ingin mengutuk mereka semua jadi batu. Ide yang sangat bodoh, aku tahu. Lalu aku mesti bagaimana? Adakah pisau untuk menusuk para Nippon? Nihil. Atau tongkat untuk menggebuki mereka?

"Ni! (Dua!)" seru sang komandan sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah ke udara sehingga kami semua bisa melihat. Para serdadu Nippon mulai menggerakkan tangan mereka, menyiapkan pelatuk.

Aku tak bisa diam saja. Kuangkat toples besar penyimpan kopi gayo. Keselamatan Johann sangat penting bagiku. Karena itulah hanya ini kesempatan yang kupunya. Jika ia berani, aku pun mesti berani. Sekuat tenaga kuhantamkan toples beling itu ke kepala komandan. Ia ambruk ke lantai. Aku tak tahu ia mati atau tidak. Mariyem memekik, sementara Paimin melarikan diri. Para penonton di muka toko berteriak. Perhatian para serdadu Nippon sedikit buyar dengan keriuhan itu.

Kesempatan yang begitu sempit dipergunakan Johann dengan baik. Direbutnya senjata salah seorang serdadu Nippon lalu ditusuknya lengan si serdadu. Raungan kesakitan memenuhi ruangan.

Jerit ketakutan memecah hari yang biasanya damai. Para penonton membatu di tempat mereka berdiri. Aku sendiri kesulitan berlari dengan jarik ketat ini. Yang paling kuinginkan adalah menubruk Johann. Kalau ia mati, aku pun mati. Kami telah berjanji akan selalu bersama-sama.

Tetapi, kain jarik membikinku hanya bisa melangkah cepat, bukannya berlari. Para wanita Jawa tak diperbolehkan banyak bergerak. Kami mesti diam, tenang, tunduk. Untuk pertama kalinya, aku benci pakaian yang sudah 18 tahun melekat di tubuhku. Ingin kucabik jarik ini.

Dua orang tentara Nippon yang berada di dekat Johann melihat rekan mereka terluka sementara senjatanya direbut Londoku. Tanpa aba-aba dari komandannya, mereka kebingungan.

Melihat hal ini aku merobek jarikku, lalu membawa toples beling besar yang tadi kugunakan untuk memukul kepala komandan Nippon. Aku berlari ke arah serdadu yang mengancam Johann. Namun serdadu itu berhasil menahan hantamanku.

Keadaan begitu kacau. Johann menembak punggung serdadu yang kini menahan seranganku. Sekian banyak penonton di depan toko tak ada satu pun bergerak menolong, mengeroyok para Nippon gila. Mereka hanya menonton adegan kami mempertahankan hidup. Tentara yang punggungnya ditembak oleh Johann tersungkur di bawahku. Londoku menang.

Kemenangan itu tak berlangsung lama. Salah satu dari tiga tentara itu menarik pelatuk, menembakkan senjatanya pada Johann.

"Meneer!" jeritku ketika melihat Johann ditembak di dada kanan. Darah merembes dari kemeja putih, membuatnya seketika memerah. Ia memegangi lukanya lalu jatuh terduduk di lantai.

Orang-orang di luar yang sedari tadi menonton, kini bercerai berai. Mereka menjerit-jerit ketakutan sambil berlari ke seluruh penjuru. Mariyem masih tak bergerak. Aku maju, hendak menyongsong Johann, menolongnya, menghentikan pendarahannya. Namun sebentuk tangan menahan ujung bawah jarikku. Komandan tentara Nippon yang tadi kupukul kepalanya dengan toples kopi bangkit sambil mengerjapkan mata. Ia berteriak dalam bahasanya. Aku tak paham.
Tentara Nippon yang tak terluka membawa bayonetnya datang ke arahku. Kawannya yang tadi lengannya ditusuk Johann, berdiri di belakang sambil meringis dan memegangi lukanya. Dua raut wajah makhluk yang dicintai rakyat Jawa malah kubenci setengah mati. Mulai detik ini aku bersumpah akan membenci Nippon. Mereka telah menyakiti Johann hanya karena sebuah lukisan.

Dua pasang tangan kokoh tentara Nippon mencengkeram lenganku. Satu di kanan, satu di kiri.

"Lepas!" teriakku sambil menyentak lenganku yang mulai sakit dengan cengkeraman mereka. Bukannya melepaskan, tangan mereka semakin keras mencengkeram.

"Ayo!" perintah tentara Nippon yang tadi menembak Londoku.

Seumur hidup aku menurut. Aku tak pernah melawan Bapak atau Simbok, apalagi Johann. Kali ini, sebuah kekuatan dari dalam diri memaksaku melawan. Kuhentakkan tubuhku, berusaha meloloskan diri. Kuludahi wajah busuk tentara Nippon itu dengan penuh amarah. Aku mendelik penuh kebencian.

Tentara Nippon menyeringai. Ia memelototiku tetapi malah aneh karena matanya sangat sipit. Kurasa ia ingin memukulku namun tak bisa karena tangannya yang satu mencengkeram lenganku, sementara yang lain menggenggam bayonet.
Kulihat Johann bangun dari jatuhnya. Tubuhnya sempoyongan, hendak berjalan ke arahku.

"Meneer!" seruku lega. Johann masih hidup meski darah belum berhenti mengalir dari dadanya. Dan aku menyesali teriakan kebahagiaan tadi.

DOR!!!

Suara tembakan kembali mengumumkan bahwa senapan Nippon telah merenggut korban. Tentara Nippon yang tadi kuludahi wajahnya, menyarangkan peluru lagi ke pinggang Johann. Londoku ambruk lagi.

"Meneer!" Aku ingin menghambur pada londoku. "Lepas!" teriakku sambil meronta.

Kudengar komandan mereka mengatakan sesuatu yang tak kupahami. Kedua tentara yang mencengkeram lenganku menjawab pula dalam bahasa Nippon. Setelah menjawab atasannya, mereka menyeret tubuhku yang memberontak, berusaha melepaskan diri.

Mereka sama sekali tak melonggarkan cengkeraman. Sorot mereka tajam meskipun mata hanya segaris. Mariyem dan Paimin tak membelaku. Tentu lebih mengkhawatirkan hidup mereka. Aku sungguh merasa sendirian. Benar-benar ditinggalkan. Mungkin ini adalah hari terakhirku menghirup udara dan menikmati matahari.

Kedua tentara ini menyeretku ke dalam mobil. Ternyata di sana ada seorang tentara lagi yang mengemudikan kendaraan. Mesin mobil pun menyala, ban besarnya berdecit meninggalkan toko, sementara aku berteriak-teriak minta tolong tanpa pernah mendapatkan pertolongan.

Tentara yang menembak Johann mendaratkan telapak tangannya di wajahku. "Damare! (Diam!)" serunya sambil melotot.

Rasa panas menjalari pipiku yang ditamparnya. Aku hanya bisa menangis kini. Dadaku naik turun dalam sedu. Bagaimana nasib Johann? Bagaimana nasibku?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro