21 Ketegangan Di Meja Makan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 21 Ketegangan Di Meja Makan

Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Leon. Dengan perasaan Aleta yang masih dipenuhi oleh Bastian sementara tubuhnya menjadi milik Leon, itu semakin menyiksa dirinya sendiri. Pun dengan perasaannya pada Bastian yang sudah tak sebesar dan sekuat dulu. Setiap kali Leon selesai dengan tubuhnya, perasaannya menjadi tak karuan karena tersadar.

Bahwa peluh yang membasahi kening dan pelipisnya. Tubuhnya yang berkeringat, napasnya yang terengah dan rasa tak nyaman, terutama di antara pangkal pahanya. Semua itu juga adalah hasrat miliknya yang berhasil dipancing oleh Leon. Tubuhnya telah sepenuhnya menjadi milik pria itu.

Kehangatan pelukan Leon ketika bangun pagi itu, semua itu memang lebih nyata ketimbang perasaan cintanya untuk Bastian. Juga harapan mereka yang tak pernah menjadi kenyataan.

“Ya, bulan kemarin acara keluarga di rumah Monica. Jadi bulan ini akan diadakan di rumah kita.” Yoanna memberitahu semua anggota ketika di meja makan pagi itu. “Jadi untuk seminggu ke depan, mama perlu mempersiapkan acara keluarga.”

Leon tak mengatakan apa pun. Mamanya pasti akan membuat acara yang lebih dan lebih dari acara di keluarga Aleta, apalagi Bastian. Maida Thobias selalu menjadi saingan terbesar wanita itu.

“Dan Aleta, nanti siang mamamu akan datang untuk menjemput. Bisakah kau singgah di butik langganan mama untuk mengambil gaun untukmu, mama dan Lena?”

Aleta hanya memberikan satu anggukan.

“Dan mama harap kali ini mamamu tak mengganti gaun pilihan mama untukmu. Karena ini tidak akan menjadi acara keluarga, tetapi juga perayaan Leon yang berhasil memenangkan mega proyeknya.”

“Dia bisa mengenakan pakaian apa pun yang diinginkannya,” celetuk Leon. Tanpa mengangkat kepala ke arah Yoanna yang duduk di seberang meja. “Jangan biarkan hal semacam ini membuatnya tak nyaman tinggal di rumah ini.”

Senyum tipis Yoanna sempat membeku. Mencoba mencerna maksud yang tersirat dalam kata-kata sang putra. Meja makan mendadak diselimuti keheningan. Semua mata mengarah pada Leon meski kepala mereka tetap tak bergerak dan menatap piring masing-masing.

“Kenapa? Mama berpikir kami tinggal di sini karena suka tempat ini?” Kepala Leon terangkat, menatap lurus raut sang mama yang mulai terlihat pucat.

“Leon?” Suara Lionel menyela Leon dan Yoanna yang saling pandang selama beberapa detik sebelum kemudian Leon beralih menatapnya. “Ini rumahmu dan kami keluargamu. Kenapa kau mengatakan hal semacam itu pada mamamu?”

“Ehm ya.” Jawaban Leon lirih, tetapi senyum di wajahnya tampak datar. “Akhir-akhir ini lebih banyak orang yang mengatakan kalau aku adalah anak paman Jacob. Ck, kemiripan fisik … dan pikiran kami sudah terlalu banyak. Jadi tampaknya aku mulai terbiasa dengan kesalah pahaman ini.”

Yoanna tersedak dengan keras sementara raut Lionel tampak membeku. Mendekatkan gelas berisi air putih ke arah sang istri.

Leon tertawa kecil. “Semua orang berpikir akulah anak sulung paman Jacob, bukan Bastian.”

“Apa yang kau bicarakan, Leon?”

Leon menggeleng. “Hanya berita lama. Ini bukan yang pertama kalinya, kan?”

Yoanna dan Lionel saling pandang sesaat. “Dan kau masih mendengarkan mereka?”

“Tidak. Hanya … kali ini ada yang berbeda. Semua orang berpikir aku akan disingkirkan dengan mega proyek ini. Tapi … tiba-tiba saja semuanya terkejut itu hanya sebuah gosip tak berdasar. Entah ada seseorang yang membereskannya atau sejak awal semua ini memang sudah rencana yang ditata rapi tanpa sepengetahuanku dan berhasil bocor karena keteledoran seseorang.”

“Aku hanya merasa penasaran dengan siapa yang mencoba bermain-main di belakanku. Tante Maida? Sepertinya itu bukan hal baru, kan? Tapi … siapa yang berhasil mengacaukan rencananya? Bukankah itu pasti ada orang lain?”

Wajah Yoanna berubah lebih pucat, pun begitu ia berusaha sangat keras menguasai emosi di wajahnya dan menjawab dengan penuh ketenangan. “Kau memang tak bisa dibandingkan dengan Bastian, Leon.”

“Apakah mama yang melakukannya?”

Mata Yoanna mengerjap sekali.

“Pada siapa mama memohon? Diam-diam menemui para direksi atau … langsung bicara dengan paman Jacob?”

Yoanna terdiam sejenak. “Tidak penting pada siapa mama bicara, Leon.”

“Jadi memang mama yang melakukannya?” tandas Leon. Dengan bibir yang nyaris tak bergerak.

Yoanna mengedipkan matanya beberapa kali dengan gugup. Membasahi tenggorokannya sebelum kembali bicara. “Mama hanya meyakinkan bahwa Thobias Group tanpamu, semua akan hancur.”

“Mama memberikan kepedulian terlalu banyak pada perusahaan yang bahkan bukan milik keluarga kita. Papa bahkan tidak bekerja di sana.”

“Leon …” Lionel berusaha menyela, tetapi arah pandangan Leon pada Yoanna tidak bergeming.

“Aku hanya penasaran, apa yang mama bicarakan hingga paman Jacob membuat keputusan yang sangat besar itu, bahkan menentang keinginan istrinya sendiri.”

Seluruh tubuh Yoanna membeku. Pandangannya masih melekat pada sang putra yang juga menatapnya lebih dalam. Mengelupas setiap emosi di kedua matanya.

Kedua tangan Leon terkepal kuat. Apa yang tersirat di kedua mata sang mama semakin membuat emosi di dadanya bergetar hebat. Semua kecurigaannya sudah terjawabkan.“Atau … mama mengancamnya?”

Pyaarrr …

Suara gelas yang pecah menyeruak ketegangan di antara ibu dan anak tersebut. Leon menoleh ke samping dan membelalak dengan Aleta yang mengaduh karena cangkor kopi panasnyalah yang tak sengaja tersenggol lengannya dan tak sengaja mengenai punggung tangan gadis itu.

Aleta meringis, meniup punggung tangannya yang kepanasan.

“Kau baik-baik saja?” Leon meraih tangan Aleta dan memeriksanya. Tangannya sudah akan mencari lap atau apa pun untuk membantu mengurangi rasa sakit sang istri, tetapi ada tangan lain yang langsung menyiram tangan Aleta dengan air dingin lalu mengeringkannya dengan tisu sambil menyuruh pelayan untuk segera membawa kotak p3k.

“Hati-hati kakimu, Yoanna.” Lionel menarik mundur pinggang sang istri.

Pandangan Leon turun ke arah pecahan cangkirnya yang nyaris diinjak sang mama. Ia beranjak dari duduknya, membawa Aleta ke dalam gendongannya dan mendudukkan gadis itu di sofa ruang tengah. Tak lama pelayan datang, membawakan kotak p3k. Tak butuh waktu lama untuk menemukan salep luka bakar di sana dan mengoleskannya ke punggung tangan Aleta dengan hati-hati.

“Lebih baik?”

Aleta mengangguk pelan.

“Kakimu?” Leon membungkuk, memeriksa kedua kaki Aleta dengan seksama dan merasa lega karena tak menemukan luka lecet atau goresan dari pecahan cangkir.

“Kenapa kau tak hati-hati?” sergahnya dengan nada sedikit kesal.

“Kau yang menumpahkan cangkirmu sendiri, Leon,” jawab Lena, yang berdiri di samping sofa. Tatapan Leon beralih pada gadis muda tersebut. “Aku melihatnya. Kau menyenggol cangkir kopimu dengan sikumu. Jika kau tak percaya, CCTV ruang makan kita pasti menyala.”

Leon mengerjap terkejut, yang tak ada alasannya dengan jawaban sang asik. Ia bahkan lebih terkejut menyadari emosinya sendiri yang ternyata lebih kuat dari yang diduganya hingga tanpa sadar membuat Aleta terluka seperti ini. Pandangannya beralih pada mama dan papanya yang juga berdiri tak jauh dari Lena, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sebelum kemudian menatap Aleta yang hanya terdiam. “Hari ini kau tidak perlu ke rumah sakit. Istirahat saja di kamar,” ucapnya sembari beranjak dari sofa. Lalu menggendong gadis itu keluar dari ruang tengah, kembali ke paviliun.

“Apakah menurutmu dia tahu sesuatu?” Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya di depan perut. Berkali-kali menggigit bibir bagian dalamnya dengan penuh kecemasan.

Lionel menghela napas rendah. Meraih kedua tangan sang istri dan menggenggamnya dengan lembut. “Dia pria yang cerdas, Yoanna. Hingga sejauh ini dan dia baru menyadarinya sekarang, itu semua karena dia tersibukkan dengan pekerjaannya.”

“Itu artinya dia sudah menyadarinya, Lionel. Leon tak pernah bicara seperti ini tentang hal itu. Dan dia tahu aku berbohong.”

“Kau tahu cepat atau lambat rahasia ini akan terbongkar, kan?”

Yoanna menggelengkan kepalanya. “Aku tak siap kehilangan dia. Sudah cukup selama ini aku menjadi ibu yang buruk dan selalu mengecewakannya. Ini satu-satunya hal yang tak bisa kuterima.”

Lionel tak mengatakan apa pun. Tangannya bergerak menghapus air mata sang istri yang jatuh ke pipi lalu memeluk wanita itu ke dalam pelukannya. Yang kemudian terisak lebih keras. “Leon tahu kau berusaha melakukan yang terbaik untuknya dan dia pasti akan memahami posisimu.”

“Dia membenciku. Selama ini aku merasakannya, aku hanya tak ingin mengakuinya.”

“Kau ibunya.”

“Dia menikahi Aleta karena ingin mengecewakanku. Aku bisa melihat sorot matanya dengan jelas.”

Lionel mengelus punggung Yoanna yang semakin bergetar. “Aku akan berusaha bicara dengannya.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro