25. Antara Leon Dan Bastian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 25 Antara Leon Dan Bastian

“Kau merasa bangga bisa mempengaruhi keputusan Jacob?” Maida muncul tiba-tiba di samping Yoanna yang baru saja selesai menata potongan kue di piring. Pandangannya sempat turun ke bawah, ke arah cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Dan hanya satu cangkir. “Lionel tidak minum kopi.”

“Hmm, aku baru akan memberitahumu. Jacob yang meminta.”

“Dan kenapa kau yang melayaninya?”

“Aku hanya kebetulan bersama dengan Lionel ketika dia menghampiri suamiku, Maida. Kenapa kau mendadak begitu sensitif? Kau pikir aku akan mencuri suamimu?”

Wajah Maida membeku.

“Selain Jacob sebagai pimpinan tertinggi Thobias Group, kupikir tak ada yang special darinya dibandingkan Lionel. Dan aku tak bermaksus membandingkan mereka. Tapi … wajahmu terlihat seperti kau kurang sentuhan akhir-akhir ini.”

Maida mendelik dan seketika wajahnya berubah merah padam. “Apa maksudmu?”

Yoanna menggeleng. Menyeret nampan yang sudah ia siapkan ke hadapan sang kakak. “Sebagai istrinya, kau seharuanya melayaninya, kan? Dia ada di samping kolam renang.”

“Kau pikir dengan semua ini, Leon akan menggantikan Bastian?”

“Tidak. Masih ada banyak jalan bagi Leon untuk ke puncak tertinggi. Mega proyek ini bukan apa-apa, kan? Seperti yang kau bilang. Lagipula, keadaan Jacob masih sangat bugar. Tak mungkin dia tiba-tiba mengundurkan diri sementara perusahaan membutuhkan pemimpin yang kompeten. Setidaknya sampai Bastian memenuhi kriteria tersebut.”

Mata Maida mengerjap, menilai senyum penuh air di kedua ujung bibir Yoanna.

“Keadaannya sangat sehat, kan? Bahkan … mungkin kalian bisa melakukan program kehamilan. Siapa tahu anak ketigamu laki-laki dan bisa memenuhi ekspektasi kalian untuk menjadi penerus Jacob.”

Wajah Maida tak bisa lebih merah padam lagi. “Kau pikir Bastian tidak mampu melakukannya?”

“Tidak bisakah kalian berhenti berdebat tentang hal ini?” Monica muncul dari arah pintu area dapur. Mendekati kedua kakaknya yang saling bersitegang dan berdiri di antara keduanya. Menghela napas pendek setelah menatap keduanya bergantian dan menghabiskan sisa tegukan terakhir anggurnya. “Kalian sudah tua dan masih saja memperdebatkan pengganti Jacob.”

“Ini urusan keluarga kami, Monica. Kau tak perlu ikut campur,” desis Maida sinis.

“Kau membuatku putriku menikahi Leon. Pria yang sama sekali tidak ia cintai. Tentu saja ini akan menjadi urusanku. Leon menantuku.”

“Aku hanya ingin menunjukkan pada kalian, di mana batasan kalian sebenarnya.”

“Aku tahu batasanku, Maida. Aku bukan anak kecil.”

Mata Maida menyipit curiga pada sang adik bungsu. “Apakah kalian bekerja sama untuk melawanku? Ah, aku baru menyadarinya. Dengan posisi Leon yang bagus, itu artinya putri kesayanganmu itu akan …”

“Aku bukan dirimu, Maida. Jangan samakan cara berpikirku denganmu,” penggal Monica. “Hidup kami sudah jauh dari kata nyaman dan penuh kebahagiaan sampai kau membuat putriku terjebak dengan kesepakatan ini.”

“Kau pikir Leon akan membuat hidup putrimu menderita?” Kali ini Yoanna yang tak terima. “Kau tahu berapa banyak wanita yang menginginkan Leon, kan?”

Perhatian Monica beralih pada Yoanna. “Sangat banyak. Sampai-sampai kau tak bisa membuat pikirannya berubah dan menikahi salah satu wanita-wanita sempurna itu. Dan malah memilih gadis cacatku.”

Yoanna mendelik tersinggung. “Aku memperlakukannya dengan baik di rumah ini, Monica. Seperti menantuku sendiri.”

“Ya, itu memang tugasmu sebagai seorang mertua. Kau ingin aku berterima kasih padamu?”

Mulut Yoanna membuka nutup kehilangan balasan.

Monica mendengus. “Kupikir, antara Leon dan Bastian. Tidak ada di antara keduanya yang akan menggantikan Jacob. Sebaiknya kalian tak berharap terlalu banyak. Sebelum kalian menghadapi kekecewaan yang terlalu besar, yang akan membuat kewalahan sendiri.”

Maida dan Yoanna melotot bersamaan. “Apa maksudmu?” tanya keduanya serempak.

Monica hanya mengedikan bahunya dengan santai. “Biasanya, orang yang terlalu berambisi dan serakah seperti kalian tak akan mendapatkan apa pun. Itulah alasanku selalu mengambil apa pun yang kubutuhkan. Nirel dan cinta kami. Dan kami mendapatkan lebih dari yang kami harapkan. Aleta dan Jendra. Aku tak ingin menyia-nyiakan hidupku untuk saling bersaing dan membuang tenaga demi keinginan yang tidak kalian ketahui dengan benar. Tanpa menikmati apa yang ada di depan kita.”

Maida dan Yoanna sama sekali tak memahami apa yang dikatakan oleh adik sulung mereka tanpa kebingungan. Keduanya menyipitkan mata penuh kecurigaan. “Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Monica?” desis Maida.

Monica mengibaskan tangan di depan wajah lalu meletakkan gelasnya yang sudah kosong di meja. “Tak perlu dipikirkan. Kalian tak akan pernah memahaminya. Kujelaskan seribu kali pun kalian juga tak akan mengerti.”

“Kau pikir kami tolol?” delik Yoanna.

“Bukan aku yang mengatakannya,” jawab Monica sebelum meninggalkan kedua kakaknya yang semakin tenggelam dalam kebingungan.

Lama Yoanna dan Maida hanya tertegun menatap punggung Monica. “Kau pikir dia memiliki sesuatu yang tidak kita ketahui?” tanya Maida.

Yoanna tak langsung menjawab. “Entahlah, dia tak pernah ikut campur urusan kita, kan?”

“Lalu kenapa dia mengatakan kalau Leon maupun Bastian tidak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan?”

Yoanna menggeleng sekali. Membalas tatapan sang kakak yang masih dipenuhi tanda tanya di atas kepala. Keduanya saling pandang.

“Atau dia sendiri tak tahu apa yang dikatakannya?”

Yoanna tampak berpikir sejenak dan mengangguk. “Sepertinya. Dia memang seperti itu, kan?”

Maida mengangguk. “Ya.”

*** 

“Leon, bisakah paman bicara sebentar?” panggil Jacob melihat sang keponakan yang baru saja muncul kembali di ruang keluarga.

Langkah Leon terhenti, menatap kursi roda di samping sofa dan memanggil pelayan untuk membawakan benda itu pada Aleta yang masih berada di kamar mandi di samping tangga. Memberikan satu anggukan pada sang paman dan mengikuti langkah Jacob Thobias menuju area halaman belakang.

Keduanya berdiri di samping pohon palem dan kolam ikan. Jacob memasukan kedua tangan di saku celana dan menatap sang keponakan. “Apakah semuanya baik-baik saja?”

Leon menoleh ke samping, menatap langsung wajah Jacob Thobias yang semakin ia sadari kemiripan di antara mereka. Bagaimana mungkin ia baru menyadarinya sekarang?

“Sudah seminggu ini kau tidak mengunjungi ruangan paman,” tambah Jacob karena Leon hanya bergeming dan menatapnya dengan lekat.

“Ya, semuanya baik-baik saja, Paman.”

“Sepertinya kau sangat sibuk.”

“Ya.”

“Karena proyek barumu.”

Leon mengangguk lagi, lebih singkat dan langsung memalingkan muka ke arah depan.

“Bagaimana pernikahanmu?”

“Baik.”

Kerutan tersamar di kedua alis Jacob dengan jawaban singkat, padat, dan datar Leon yang terdengar tak seperti biasanya. Meski begitu, ia mencoba tetap mencairkan suasana. “Aleta gadis yang baik.”

Leon mengangguk.

“Kalian bahagia?”

Raut Leon terpaku dengan pertanyaan tersebut. Sebelum kemudian kepalanya berputar dan menatap lurus sang paman. “Bahagia? Bukankah itu jauh dari yang kita pikirkan dengan perjodohan ini?”

Jacob terdiam, berkedip sekali.

“Perjodohan ini untuk membuat tante Maida tak lagi terancam dengan keberadaanku di Thobias Group. Sekaligus batasan yang sangat jelas untukku. Penerus Thobias Group adalah putra sulung paman. Bastian Thobias.”

Permukaan wajah Jacob semakin membeku. Kedua pasang sorot biru gelap tersebut saling pandang dalam tiga detik penuh. Jacob merasa ada yang aneh dengan sang keponakan. 

“Apakah paman juga bahagia dalam pernikahan paman?” Pertanyaan Leon lebih dulu memecah keheningan tersebut. “Apakah paman bahagia dengan semua pencapaian paman?”

Jacob tak menjawab, ia bahkan tak benar-benar tahu apa itu kebahagiaan. Semua keinginan dan ambisinya telah terpenuhi, meski tidak sepenuhnya. Berdiri di puncak tertinggi Thobias Group, menjadikan perusahaan berkembang seperti yang diinginkan. Memiliki seorang istri dan dua anak yang melengkapi pernikahan mereka. Tentu saja hidupnya sudah jauh dari kata sempurna dalam pandangan orang-orang.

Akan tetapi, mendadak ia tertampar oleh pertanyaan yang diajukan oleh Leon padanya. Yang seolah menyadarkannya bahwa semua pencapaiannya tak memiliki arti apa pun.

Di dalam dadanya masih terasa kosong. Di balik semua pencapaiannya, masih ada yang terasa kurang dan tak sempurna. Yang ia sendiri tak ketahui bagian mana yang telah hilang tersebut. Yoanna? Putra sulungnya?

“Dan ya, Aleta gadis yang manis dan baik. Juga penurut. Kupikir kami akan menemukan jalan dalam pernikahan ini untuk … kebahagiaan?” Leon melengkungkan senyum. Mencoba memecah kecanggungan yang mendadak terasa semakin pekat di antara keduanya. Ya, tentu saja ada yang berbeda dengan hubungan mereka. Yang masih belum bisa Leon terima dan masih memengaruhi emosinya dengan cara yang buruk.

Leon mengangguk sekali dan berpamit pergi. Berjalan meninggalkan Jacob Thobias yang masih membeku di tempat.

Baru saja pria itu memasuki rumah, tubuh tinggi semampai menghambur ke arahnya. Menyelipkan lengan di lengannya yang kekar dan menjatuhkan wajah di pundak pria itu.

“Wajahnya terlihat murung. Butuh hiburan?” Salah satu tangan Anna menyodorkan gelas anggur yang terisi penuh. “Ini akan membuatmu lebih rileks.”

Leon menyingkirkan benda itu dari wajahnya. “Aku sedang tak butuh dirilekskan.”

Anna mengerucutkan bibirnya. “Aku melihat Bastian dan si cacat itu keluar dari kamar mandi yang sama. Menurutmu, apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana?”

Langkah Leon seketika terhenti, wajahnya yang membeku bergerak ke samping. “Apa?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro