32. Anak Leon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 32 Anak Leon

Seluruh tubuh Aleta membeku. Keduanya matanya bersirobok dengan mata gelap Leon yang langsung menangkapnya. Menguncinya dan langkah pria itu terhenti beberapa langkah dari mereka bertiga. Cukup lama dan bergerak turun. Lebih lama menatap perut, yang mustahil ia sembunyikan.

Ujung bibir pria itu tersenyum tipis, sebelum kemudian melanjutkan berjalan lebih dekat. Tanpa melepaskan pandangan dari perut Aleta. "Bisakah kami bicara? Urusan suami dan istri?"

Pertanyaan tersebut ditujukan pada Nirel dan Monica. Yang saling pandangan. Nirel mengangguk singkat pada sang istri, tetapi Monica merasakan firasat yang tak baik tentang pembicaraan ini.

"Kita bisa membicarakan masalah ini setelah …"

"Bagaimana pun, pernikahan kami pernah dan tetap terjadi. Apakah mama masih butuh kesabaran saya lebih banyak lagi setelah semua ini?"

Monica terdiam. Menoleh pada wajah pucat Aleta yang juga memberinya satu anggukan singkat. "Meski kami tak pernah membenarkan apa yang dilakukan oleh Aleta, dia masih tetap putri kesayangan kami, Leon."

"Ya, dia masih akan tetap menjadi istri kesayangan saya," tambah Leon penuh penekanan. Manik birunya beralih pada Monica. Nirel yang menyadari keseriusan tersebut, menarik sang istri menjauh. Memberi keduanya waktu untuk bicara.

"Tidak ada ucapan apa pun?" Salah satu alis Leon terangkat. Memeceh keheningan yang sempat terjeda setelah Monica dan Nirel menghilang dari pandangan mereka. "Untuk melepas rindu pada suamimu setelah tidak bertemu selama 6 bulan … tiga hari?"

Aleta masih bergeming. Bibirnya yang kelu masih merapat. Meski Aleta mmsudah mempersiapkan diri denagn pertemuan ini, tetap saja ia kesulitan merasa kesulitan. Dominasi Leon terhadapnya masih sekental dulu. 

"Dalam keadaan hamil," lanjut Leon. Sejenak kembali menatap perut Aleta, lalu turun ke kedua kaki gadis itu dan naik pada wajah pucat basah yang terlihat lebih berisi dari terakhir mereka bertemu. "Mungkin sedikit kata-kata untuk menjelaskan keadaan ini?"

Aleta menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian yang rupanya hanya setipis tisu. Tangannya bergerak menyentuh perut, tetap tanpa sepatah kata pun yang berhasil lepas dari ujung lidahnya.

"Kalau begitu aku akan mempermudahnya untukmu. Anak siapa itu?"

Mata Aleta berkedip sekali. Menatap wajah Leon yang datar dan dingin, tetapi ia bisa merasakan emosi pria itu yang begitu dalam. "Bastian," jawabnya dengan suara sangat lirih. Nyaris tak terdengar tapi gerakan bibirnya pasti terbaca dengan baik.

Leon terdiam. Untuk beberapa detik yang cukup lama, matanya berkedip sekali. Ada keterkejutan yang sempat melintas, tetapi kemudian dengus mengejek lolos dari bibirnya. Matanya melirik ke arah ranjang pasien di dalam ruang ICU. "Tak mengherankan dia akan menghamili istri orang lain. Dia sama berengseknya denganku."

"Dia tidak seperti itu," bela Aleta. Keluar begitu saja dari bibirnya.

"Oh ya?"

Bibir Aleta merapat.

"Kalau begitu ikut denganku." Leon menyambar lengan Aleta. Menarik gadis itu melintasi lorong dan berhenti depab lift.

Aleta tak tahu ke mana Leon akan membawanya. Saat lift berhenti di lantai 4, mereka melewati beberapa pintu dan berhenti di pintu keempat. Yang diketuk dengan tak sabaran oleh pria itu.

"Tuan Leon?" Seorang perawat yang membuka pintu terkejut.

"Dr Tyas?" Leon mendorong pintu terbuka sepenuhnya. Menampilkan seorang wanita yang mengenakan jas putih sedang berbicara dengan sepasang pasien yang duduk di depan meja.

"Beliau sedang ada pasien." Perawat tersebut 

"Kami baru saja selesai." Dokter Tyas mengangguk, mengulurkan selembar kertas yang sudah ditulisi resep. Pasangan suami istri yang duduk di meja pun beranjak berdiri. Berpamit keluar.

Aleta menatap perut sang wanita yang sedikit buncit. Pandangannya sempat melihat nama di atas pintu. Spesialis kandungan sebelum Leon menariknya masuk ke dalam dan mendudukkannya di kursi depan meja.

"Tes DNA?" Keterkejutan sempat melintasi kedua mata dokter Tyas akan keinginan Leon yang dilontarkan tanpa basa-basi. Mengulang dengan suara yang tetap sopan dan penuh ketenangan.

Sementara Aleta masih tertunduk dalam.

"Apakah memungkinkan?"

Dokter wanita itu mengangguk. Mengabaikan permasalahan rumah tangga yang bukan ranahnya. "Tentu saja. Berapa usia kandungan istri Anda?"

Leon menoleh ke arah Aleta. Manik birunya menajam sembari menunggu jawaban Aleta dengan tak sabar. "Anda bisa menggunakan alat itu untuk …"

"Memasuki 30 minggu. Kemarin saya baru saja melakukan USG." Aleta akhirnya bersuara. Sangat lirih. Berharap Leon tak perlu mendengar meski jarak di antara mereka lebih dekat dibandingkan dengan dokter Tyas yang duduk di balik meja.

Dokter Tyas mengangguk. "Ya, itu memungkinkan. Akan tetapi … pengambilan sampel di dalam rahim, bisa memicu kontraksi dan janin lahir lebih awal. Saya sarankan untuk memastikan keadaan bayi cukup kuat jika sewaktu-waktu terjadi persalinan yang terduga."

"Lakukan saja sekarang. Aku tak peduli …"

"Tidak." Kepala Aleta menggeleng keras. Memenggal perintah Leon yang jelas tak masuk akal. Leon bahkan tak berpikir anak ini adalah darah daging pria itu, dan tentu saja bisa menjadi lebih kejam jika memang anaknya adalah anak Bastian.

"Kenapa?" Seringai Leon menajam di ujung bibir. Ada sinar geli di kedua matanya yang berkilat. Seolah pria itu memang tahu apa tengah Aleta sembunyikan.

"Anak ini anakmu. Kau puas?" aku Aleta. Suaranya mulai diselimuti emosi.

Leon mendengus. "Ya, aku sudah menduganya. Aku menyeretmu ke sini untuk mendengar kejujuran itu dan …" Mata Leon bergerak turun ke perut Aleta. "Untuk melihat keadaan anakku, kan?"

Leon pun meminta dokter Tyas memeriksa Aleta, yang kemudian membawa sang istri ke ranjang pasien.

Seperti yang dikatakan Aleta, usia kandungan sang istri memasuki 30 minggu. Tujuh bulan, sesuai dengan usia pernikahan mereka.

Meski Leon yakin 

*** 

"Mau ke mana kau?" Leon menangkap lengan Aleta yang sudah berbelok ke lorong di samping mereka.

"A-aku …"

"Sekarang dia bukan lagi urusanmu. Jadi berhenti ikut campur hal-hal yang tak lagi ada hubungannya denganmu."

"Aku ingin melihat kedua orang tuaku."

"Dan kebetulan mereka juga baru saja meninggalkan rumah sakit."

Aleta sepenuhnya kehilangan alasan untuk berada di rumah sakit lebih lama lagi. Tangannya ditarik oleh Leon. Menuju lobi rumah sakit dan sebuah mobil hitam mengkilat sudah menunggu mereka. 

Leon mendorong Aleta masuk ke dalam lebih dulu. Mobil berjalan begitu pria itu menutup pintu.

Pandangan Aleta akhirnya lepas dari rumah sakit ketika mobil berbelok ke samping kiri, bergabung di tengah kepadatan lalu lintas.

"Sudah puas bersenang-senang dengan kekasih rahasiamu?" dengus Leon mencemooh begitu Aleta menyadari tengah diawasi. "Jika Bastian tidak sekarat, apa kalian masih akan bermain rumah-rumahan seperti ini?" tanbahnya mengejek.

Aleta tak menjawab. Hanya memalingkan wajah ke arah depan. Ya, permainan petak umpet ini akhirnya telah selesai. Kebahagiaan yang berhasil ia dan Bastian raih, harus usai saat ini juga.

Matanya terpejam. Perasaannya dipaksa rela untuk melepaskan semuanya.

Demi Bastian.

*** 

Leon membawa Aleta ke apartemennya. Begitu keduanya masuk ke dalam kamar, pria itu langsung merobek semua pakaian yang menempel di tubuh Aleta dan membuangnya ke tempat sampah. 

"Bersihkan dirimu," perintahnya. Mendorong tubuh Aleta ke balik shower dan langsung menyalakan keran. Air dingin seketika mengguyur kepala Aleta, membuat gadis itu tersentak kaget. Wajahnya terangkat, tetapi tak bisa melepaskan kedua lengannya yang menyilang di depan dada. Berusaha memiringkan tubuh dari pandangan Leon yang menelanjanginya dari atas ke bawah. 

Leon hanya bermaksud membersihkan tubuh Aleta dari bekas sentuhan Bastian. Tetapi melihat tubuh gadis itu terpampang jelas depan mata malah membuatnya gerah sendiri.

Tubuh Aleta terlihat begitu mulus, dan melekuk di tempat-tempat yang tepat. Sedikit lebih berisi dengan kulit yang tampak berkilau. Bahkan dengan perut yang sudah membesar. Ditambah rambut yang basah, semakin menambah keseksian gadis itu.

Dan semua itu berhasil membangunkan rasa lapar yang tidak ada hubungannya dengan makanan dengan cara yang sempurna.

Well, Aleta adalah istrinya. Dan gadis itu hanya hamil, kan. Bukan sakit. Tak ada larangan untuk tidak boleh menyetubuhi istri yang tengah hamil.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro