48. Kecemburuan Leon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 48 Kecemburuan Leon

“Tak ada lagi yang perlu kau cemaskan, istriku. Dan jangan membuatku semakin salah paham dengan kepedulian yang masih kau miliki untuknya.” Leon memegang tangan Aleta yang nyaris mencengkeram lengannya. “Bukankah kau bilang sudah benar-benar mengakhiri hubungan dengannya?”

Aleta menelan ludahnya. Tubuhnya sedikit menjauh dari Leon dengan wajah yang tertunduk dalam. Tak siap jika harus menatap keterkejutan di wajah Bastian.

Bastian yang menatap Aleta dan Leon semakin dibuat kesal akan rahasia apa pun itu yang keduanya sembunyikan. Semua orang? Apa maksud Leon dengan semua orang membodohinya karena keadaannya yang lemah?

“Apakah tante Maida dan paman Jacob tak menceritakan kenapa aku memakai nama itu?”

“Memangnya apa yang perlu mereka ceritakan padaku?”

“Bahwa kau bukan putra sulung Jacob Thobias.”

Mata Aleta terpejam. Merasakan keheningan dan ketegangan yang seketika membentang di antara kedua pria tersebut.

Leon terkekeh dengan kepucatan yang merebak dengan cepat di wajah angkuh Bastian. Tubuh pria itu membeku untuk waktu yang lama. Seperti tersambar petir yang menggelegar. Butuh lebih banyak detik untuk mencerna kalimatnya, hanya saja ia sedang tak ingin membuang satu detik pun untuk menunggu. Debgan tanpa hati, ia bertanya, “Jantungmu baik-baik saja, adik?

Bastian menggeleng. Dengan keras. Permukaan wajahnya menggelap. Tak mungkin! Tidak mungkin ada hal sialan semacam ini!

“Tidak!” geramnya penuh amarah. Dadanya bergemuruh meski ini hanya sebuah candaan.

Kekehan Leon berubah menjadi tawa. “Ya, kau tidak harus mempercayainya. Aku memaklumi keterkejutan dan tak akan mempermasalahkannya kalau kau belum menerima kenyataan ini. Aku pun masih belum terbiasa menganggapmu sebagai sebagai seorang adik.”

Bastian masih menggelengkan kepalanya dengan keras kepala. "Tak mungkin ada omong kosong sialan seperti ini, Leon."

"Ini sudah menjadi rahasia umum, Bastian. Dukungan yang kumiliki dan suara bulat yang kudapatkan untuk menggantikan papamu, semua itu bukan tanpa alasan." Pandangan Leon berpindah pada Berlian yang menjadi lebih pendiam sejak topik ini diungkit oleh Bastian.

Bastian pun menoleh ke samping. Matanya menyipit tajam. "Kau sudah tahu?" 

Berlian mengambil satu helaaan napas sebelum menjawab. "Kami tak ikut campur urusan keluarga kalian, Bastian. Dan ya, Leon memang sudah resmi menyandang nama Thobias dan diperkenalkan sebagai putra sulung papamu. Mamamu melarangku memberitahu ini karena kau baru saja mendapatkan operasi …"

"Apa kau juga tahu?" Kali ini Bastian bertanya pada Aleta. Mengabaikan penjelasan Berlian yang terlalu panjang dan membuat kepalanya pusing.

Aleta menggigit bibir bagian dalam. Saat wajahnya perlahan terangkat dan bertatapan dengan kedua manik biru muda Bastian. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.

"Bahkan sebelum kau membawanya kabur."

Lengkap sudah. Jawaban yang diberikan Leon menjadi sambaran petir kedua bagi Bastian. Bahkan lebih keras dari sebelumnya.

Kemarahan di wajah Bastian seketika dipucatkan oleh kekecewaan yang teramat besar. Emosi yang menyeruak di wajah pria itu begitu campur aduk.

"Bastian?" panggil Aleta ketika Bastian berlari menuruni undakan di depan teras gedung. Menuju jalanan. Kakinya berlari mengejar, tetapi kakinya baru menginjak di undakan pertama ketika Leon menangkap pinggangnya.

"Kau tidak akan ke mana pun, Aleta."

Aleta menggeleng. Kedua tangannya berusaha melepaskan pegangan Leon. Tubuhnya mulai meronta, membuat Leon semakin memperkuat pegangannya.

"Kau benar-benar keterlaluan, Leon!"

"Dan membohonginya mentah-mentah sepertini adalah cara yang lebih baik?"

"Kau mengatakannya demi kepentinganmu sendiri. Kau sama sekali tak peduli dengan perasaannya!"

"Oh ya? Jadi membohonginya membuatmu merasa lebih peduli dibandingkan aku?" dengus Leon mengejek. "Meski memang aku tak pernah peduli dengannya."

"Kau memang sengaja mengatakannya, kan?" Satu pukulan Aleta tak sengaja berhasil mengenai pipi Leon. Membuat pria itu membeku, dengan kegelapan yang langsung memenuhi wajahnya.

"Aku sudah memperingatkanmu, kan?" Leon menangkap kedua tangan Aleta yang masih berusaha memberontak dari pegangannya. Memaksa semua pemberontakan Aleta terhenti dan gadis itu seketika menyadari kemarahan yang berkilat di kedua matanya. "Jangan membuatku salah paham dengan kepedulianmu padanya, Istriku."

Hanya dengan satu sentakan kuat, Leon menyeret tubuh mungil Aleta menuruni  undakan dan mendorong masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu mereka.

Berlian yang menyaksikan pertengkaran pasangan suami istri tersebut hanya memutar kedua bola matanya dengan jengah. Senyum liciknya tersungging bahagia melihat Aleta yang diperlakukan kasar oleh Leon.

"Ya, itu bayaran untuk semua keserakahanmu, Aleta. Gadis yang malang. Ck, ck, ck," decaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tanpa ada sedikit pun keprihatinan di hatinya.

*** 

Aleta dibanting di tengah ranjang saat tangan Leon merobek gaun malam yang dikenakannya dengan kasar. Tubuh mungil itu terpental satu kali, tapi gadis itu tak sempat merangkak menghindar ketika tubuh Leon menindihnya. 

Kedua tangannya dipaku di atas kepala, bibirnya ditangkap oleh lumatan panjang yang membuat Aleta kehilangan ritme bernapasnya.

"L-le … on?" Aleta berusaha memanggil di antara helaan napas yang direnggut Leon dengan paksa. Wajah pucatnya dihiasi kepanikan ketika ciuman Leon semakin turun ke bawah. Menuju dadanya. "A-aku t-tidak bisa."

Ciuman Leon sempat berhenti. Napasnya yang mulai memberat dan tubuhnya yang sudah memanas oleh hasrat dipaksa berhenti ketika mengingat pendarahan Aleta yang masih belum berhenti setelah melahirkan.

Wajahnya sedikit terangkat. Menatap kepanikan di kedua mata Aleta yang bulat dan mulai basah. "Masih banyak cara untuk melayaniku, istriku," seringainya yang sudah kehilangan akal sehat karena kecemburuannya terhadap Bastian.

Ya, suami mana yang tidak cemburu ketika istrinya terang-terangan dan dengan begitu emosional memedulikan mantan kekasih. Yang bahkan adalah adik tirinya. Tentu saja itu tak termaafkan. Bahkan jika semua orang memaklumi sikap emosional Aleta, tidak dengan dirinya.

Aleta menyerah untuk memberontak dengan kalimat jahat Leon. Hanya mampu memejamkan mata dan membiarkan pria itu melakukan apa pun yang diinginkan.

*** 

Aleta terbangun oleh getaran ringan dari dalam tasnya yang tergeletak di lantai. Matanya sepenuhnya terbuka, mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Mereka tidak berada di kamar Leon di apartemen. Semalam pria itu membawanya ke hotel terdekat yang bisa ditemukan untuk melayani luapan amarah pria itu menggunakan tubuhnya.

Ia bangun terduduk. Tubuhnya yang hanya mengenakan celana dalam tertutup selimut tebal. Menurunkan kedua kaki di lantai dan meraih tasnya.

"Ya, Ma?" jawabnya melihat kontak sang mama di layar ponselnya.

"..."

"Setelah Leon bangun, kami akan segera pulang. Apakah baby Lucien sudah bangun?"

"..."

"Di apartemen saja."

"..."

Sekali lagi Aleta mengiyakan ketika sang mama menasehatinya untuk memberi Leon obat pengar sebelum mengakhiri panggilan. Ya, semalam Leon memang berdalih terlalu banyak minum sehingga tidak bisa menyetir pulang. Meski alasan mereka tidak masuk akal karena ada sopir yang selalu bisa datang saat mereka butuhkan.

Meletakkan ponselnya di nakas sambil menatap Leon yang masih terlelap dengan posisi tengkurap dan hanya bagian bawah punggung pria itu yang tertutup selimut.

Ia membutuhkan pakaian ganti, juga pembalut baru. Tapi bagaimana caranya ia membangunkan pria itu untuk mendapatkan kedua hal itu. Menghubungi pihak hotel jelas bukan pilihan yang tepat.

Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan meraih gaunnya yang sudah robek di bagian tengah di samping kaki ranjang. Berusaha mengenakan kain tersebut dengan sia ketika ponselnya kembali berdering. Dan kali ini dari Maida Thobias.

Jantung Aleta seketika berhenti berdetak. Tantenya itu tak pernah menghubunginya. Dan jika menghubunginya seperti ini, pasti ada sesuatu yang darurat. Yang ada hubungannya dengan Bastian. Terutama setelah kejadian tadi malam.

Tangan Aleta yang bergetar terulur. Menjawab panggilan tersebut dengan napas yang dicengkeraman kecemasan. "Y-ya, Tante?" jawabnya dengan suara mencicit. 

Dan jawaban dari seberang, seketika melenyapkan darah dari seluruh permukaan wajahnya. 



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro