6. Malam Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 6 Malam Pertama

"Minum?" Leon mengangkat gelas berisi cairan merah gelap ke arah Aleta yang duduk di sampingnya. Kursi roda gadis itu yang terlipat sengaja ia letakkan jauh dari jangkauan mereka.

Aleta menggeleng. Meski sepanjang acara pernikahan dan resepsi ia hanya duduk, tetap saja tubuhnya terasa pegal karena sama sekali tidak berbaring. Dan kursi rodanya ada di seberang ruangan.

Ketika keduanya meninggalkan gedung tempat resepsi, Leon memang sengaja menggendongnya. Demi menyempurnakan peran pria itu sebagai suami yang sempurna di hadapan banyak mata. Dan ia pikir pria itu akan membiarkannya menggunakan kursi rodanya sendiri ketika sampai di gedung hotel tempat keduanya akan bermalam. Tetapi pria itu tetap menggendongnya hingga masuk ke suite hotel. Yang disediakan khusus oleh Maida Thobias untuk menghabiskan malam pertama. Yang tak akan pernah mereka lakukan. 

Sekarang keduanya sedang duduk di sofa santai, dengan kedua kaki yang berselonjor. Ada meja kecil, dengan camilan dan botol anggur yang sudah dibuka Leon setelah menurunkannya dari gendongan pria itu. 

Ada terlalu banyak taburan kelopak bunga mawar merah dan putih yang berhamburan di mana-mana. Salah satunya di sofa yang tengah keduanya duduki. Juga lilin yang dinyalakan di tengah lampu ruangan yang dimatikan. Membuat suasana di sekeliling mereka menjadi redup. Menciptakan keromantisan yang coba Aleta abaikan. Mereka tak akan melakukan hal semacam itu.

"Sepertinya tubuhmu butuh rileks," tawar Leon sekali lagi. Menggoyangkan gelas di tangannya agar Aleta menerimanya. "Kau butuh istirahat yang nyenyak."

Aleta menggeleng lagi.

"Hanya seteguk."

"Aku tak pernah minum."

Kerutan membentuk di kening Leon dengan jawaban tersebut. Sempat ada keterkejutan, tetapi gadis sepolos Aleta yang tak pernah mencicipi minuman beralkohol tak seharusnya mengejutkannya. Ia bahkan lebih terkejut gadis sepolos dan selugu Aleta ternyata menjadi kelemahan seorang Bastian Thobias.

"Aku berjanji rasanya tak akan seburuk yang kau bayangkan." Leon mendekatkan gelas tersebut ke arah Aleta. Tubuhnya bergeser lebih dekat, setengah menyudutkan gadis itu untuk menerima.

Aleta hendak menggeleng lagi. Menegaskan bahwa ia tidak mau. Tetapi kemudian tangan Leon meraih lengannya dan menggenggamkan gelas anggur tersebut di tangannya.

"Aku tak suka seseorang menolak pemberianku." Jawaban ringan Leon berbanding dengan tatapan mengancam yang tersirat di kedua matanya.

Aleta pun membawa bibir gelas tersebut ke mulutnya, merasakan kedua mata Leon yang menelisik ke arahnya dari balik bibir gelas pria itu sendiri.

Rasa panas yang mengejutkan di lidah membuat Aleta terkesiap pelan dan menjauhkan gelas dari bibirnya. Mendapatkan kekehan dari Leon.

"Dengan perlahan," beritahu Leon. Menahan tawa gelinya. 

Aleta ragu, apakah harus meletakkan gelas tersebut atau melakukan seperti yang diarahkan Leon. Satu anggukan pria itu memaksanya kembali mencoba. Kali ini ia tidak seterkejut sebelumnya, tetapi lidahnya masih tak terbiasa. "Sudah," ucapnya kemudian meletakkan gelasnya yang hanya berkurang beberapa tegukan ke meja di sampingnya.

Leon tak mengatakan apa pun. Pria itu juga meletakkan gelasnya sendiri, yang sudah kosong. 

"Bisakah aku minta tolong untuk dibawakan kursi rodaku? Aku ingin ke kamar mandi," ucap Aleta dengan hati-hati. Mulai merasa tak nyaman dengan tatapan Leon yang semakin intens. Bahkan pria itu bergerak semakin mendekat ke arahnya.

"Kau butuh ke kamar mandi? Untuk?"

Napas Aleta tertahan. Alarm berdering di telinganya menangkap seringai di salah satu  ujung bibir Leon. Tersentak kaget merasakan telapak tangan pria itu yang tiba-tiba menempel di pahanya. Tepat di ujung dressnya yang selutut, tetapi sedikit tersingkap tanpa ia sadari. "Apa yang kau lakukan, Leon?"

"Tiba-tiba saja aku menginginkan istriku." Telapak tangan Leon bergerak lebih ke atas. Menyingkap lebih tinggi ujung dress Aleta. Kedua tangan mungil gadis itu mencoba menghentikan perbuatannya, tetapi hanya menjadi usaha yang sia-sia.

"Lepaskan, Leon. Kau berjanji …" Peringatan Aleta terpotong pekik kaget gadis itu dengan lengan Leon yang tiba-tiba melingkari perut dan menangkap pinggangnya. "Le …"

Leon tak perlu mengerahkan kekuatannya untuk menarik tubuh Aleta ke pangkuannya. Selain karena tubuh gadis itu begitu mungil dan ringan, kedua kaki yang lumpuh itu tak bisa diandalkan untuk memberontak.

"Kau bilang tak akan tertarik dengan gadis cacat sepertiku." Aleta menahan kedua tangannya di depan dada Leon. Mencegah wajah pria itu semakin dekat. Bahkan dengan jarak hanya beberapa senti saja, napas berat pria itu terasa begitu jelas menerpa wajahnya.

Ujung bibir Leon membentuk seringai tajam. Satu tangan di punggung Aleta bergerak menurunkan resleting baju gadis itu. "Tapi aku belum pernah mencicipi gadis cacat."

Usaha Alete menjauhkan diri dari pria itu tak berhasil. Leon menurunkan kerah bajunya hingga ke pinggang. Lengannya yang tertekuk dan sempat menghalangi jatuh gaunnya, malah disentakkan pria itu. "Tidak, Leon. Kita tidak akan melakukan apa pun malam ini."

Kekehan mengejek lepas dari celah seringai pria itu. Tangannya bergerak naik ke tengah punggung Aleta. Dengan mudah melepaskan ikatan bra gadis itu.

Aleta kembali tersentak, kedua tangannya kontan menyilang di depan dada. "Kau berjanji …"

"Benarkah?" Salah satu alis Leon terangkat. Memberikan cengiran tanpa dosa akan janji yang sengaja diingkarinya. "Aku hanya bertanya. Dan tidak tertarik dengan gadis cacat sepertimu, bukan berarti aku tidak akan meniduri istriku sendiri, kan?"

Mata Aleta membulat sempurna. Tubuhnya menggeliat, kedua tangannya berusaha menahan dada dan pundak Leon yang semakin merapat ke arahnya. Sekaligus bingung akan tubuh atasnya yang setengah telanjang. Dan kebingungannya malah membuat pria itu terkekeh geli.

Leon menjatuhkan tubuh Aleta ke sampingnya  dengan posisi berbaring sebelum kemudian tubuhnya ikut berguling ke samping. Setengah menindihkan tubuhnya di atas tubuh Aleta. "Diamlah, Aleta," desisnya mengancam. Tepat  di atas wajah Aleta yang berusaha menghindar. "Jika kau membuatku kerepotan, aku akan mengikat kedua tanganmu yang mengganggu itu."

Gerakan tangan Aleta seketika terhenti. Dengan ketakutan yang semakin merebak di wajahnya. Sekaligus kegugupan yang menerjangnya dengan keras ketika wajah Leon semakin turun. Menempelkan bibir pria itu di bibirnya. 

Tak hanya itu, jantungnya berdegup semakin kencang ketika tangan pria itu mulai menempel di dadanya. Pada awalnya hanya menyentuh, tetapi tiba-tiba telapak tangan pria itu meremasnya. Kesiapnya tertahan oleh bibir pria itu yang menyapu bibirnya. Membuat Aleta kewalahan akan sentuhan yang semakin intens dan panas di setiap jengkal tubuhnya setelah pria itu berhasil melucuti pakaian mereka. Merapatkan tubuh keduanya. Kulit di atas kulit. Menyentuh, mengusap, menggesek, mencium, dan bahkan menggigit. Tapi anehnya gigitan itu tidak membuat kesakitan.

Hingga pada akhirnya, satu-satunya yang ia ingat adalah pria itu membuka kedua kakinya. Dengan napas yang semakin memberat dan … Aleta tak mampu menahan pekikannya ketika pria itu berusaha membelah tubuhnya.

Leon sempat terhenti. Menatap ringis kesakitan Aleta dan kedua mata gadis itu yang mulai berair. Tubuh Aleta kemudian menggeliat di bawah himpitan tubuhnya. Kedua tangan gadis itu kembali terangkat, memegang kedua pundaknya berusaha memisahkan tubuh mereka yang sudah setengah menyatu.

Dan tentu saja Leon tak akan melakukannya. Hasratnya sudah berada di ubun-ubun hanya dengan mencumbu tubuh mungil di bawahnya. Ia tak mungkin berhenti di tengah permainan yang sudah membara ini.

Sial. Level kepolosan Aleta benar-benar berhasil mengejutkannya.

"Shhh …" Leon mendaratkan ciuman di kening Aleta yang lembab. Telapak tangannya merangkum wajah mungil tersebut. Berharap sentuhan tersebut meredakan keterkejutan gadis itu. Ciumannya kemudian bergerak turun, mendapatkan bibir Aleta dan ia melumat lebih lembut.

Usahanya berhasil, tubuh Aleta perlahan menjadi tenang dan kembali rileks. Sebelum kemudian ia mulai bergerak dengan pelan di atas gadis itu. Mengalihkan rasa sakit gadis itu dengan cumbuan dan sentuhannya. Pengalamannya menyenangkan wanita di atas ranjang cukup bermanfaat di saat seperti ini. Pun ini pertama kalinya ia berhadapan dengan gadis perawan.

Tubuhnya kembali bergerak di atas tubuh Aleta. Dengan hasrat yang semakin bertumpuk. Berkumpul dan berkumpul lebih besar. Pagutannya semakin dalam, napasnya semakin menggebu dan memberat. Erangan merdu yang lolos dari celah bibir Aleta ketika ia melepaskan pagutannya seperti lecutan gairah baginya. Membakarnya hidup-hidup. 

Gerakannya semakin cepat, membutuhkan pelepasan dan ia mendapatkan pelepasan yang sempurna. Yang belum pernah ia dapatkan dari wanita manapun. 

Jantung Aleta berdegup begitu kencang dengan kenikmatan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mengejutkan sekaligus tubuhnya tak mampu menolak. Menyeretnya ke dalam aliran hasrat yang belum pernah ia pijaki sebelumnya.

Saat mata Aleta perlahan membuka, wajah Leon yang dipenuhi peluh bernapas di atas wajahnya. Kabut di kedua mata pria itu perlahan memudar, menampilkan bola mata biru yang gelap. Yang berhasil menenggelamkannya dan untuk kali ini, Aleta tak keberatan tenggelam di kedasaran samudra itu.

"Kau sempurna," bisik Leon penuh ketakjuban. Kepuasan yang teramat besar memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Pria itu mendaratkan satu kecupan di kening Aleta, cukup lama dan dalam. sebelum kemudian memisahkan tubuh mereka dan berguling ke samping tubuh gadis itu. Ah, sekarang gadis berumur 21 tahun itu sudah tidak gadis lagi. Ialah yang telah merenggut kegadisan Aleta. Dan ia sama sekali tak menyesal telah mengingkari janjinya pada Aleta. Tak pernah menyangka bercinta dengan Aleta akan menjadi sesempurna ini. 

Hanya dengan memikirkannya saja membuat gairah di tubuh Leon seolah kembali berdesir. Tetapi kali ini ia harus menahannya. Ini adalah pengalaman pertama Aleta. Ia tak mungkin membuat sang istri trauma dengan permainan panas mereka. Ia harus bersabar.

"Tidurlah," bisiknya kemudian. Memiringkan tubuh Aleta dan memeluk gadis itu dari belakang setelah meraih selimut di punggung sofa. Menutupi ketelanjangan keduanya.

Aleta tak mengatakan apa pun. Tubuhnya yang lembab dan wajahnya yang masih semerah tomat, membuatnya tak nyaman berada dalam pelukan Leon. Tetapi ia terlalu malu untuk menghadapi pria itu dan mengatakan ingin ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Ditambah rasa lelah yang mendadak datang, membuat Aleta memejamkan mata. Perlahan tenggelam dalam rasa nyenyak. Sangat nyenyak.










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro