0%

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Berita pagi ini. Baru saja ditemukan mayat sekitar pukul 03.00 dini hari di belakang perumahan Roko Harjo. Penyebab kematiannya masih belum bisa dipastikan. Pihak kepolisian sendiri sedang menyelidiki kasus ini beserta para saksi yang menemukan mayat tersebut ...."

Lita duduk sambil memainkan boneka beruang berwarna putih dengan pita merah dan topi berwarna senada di kursi meja makan. Tidak jarang karena bosan, gadis kecil itu sesekali melirik mamanya yang nampak asik mengaduk-aduk sayur di dalam panci berukuran sedang.

Harumnya aroma sayur sop yang sedang direbus membuat cacing di perut Lita meronta-ronta meminta untuk segera dipenuhi gizinya. Belum lagi ayam goreng yang masih berada dalam balutan bumbu racik kuning milik wanita itu terlihat menggiurkan. Padahal ayam tersebut belum dimasak, baru diberi bumbu. Namun bentuknya sudah sangat menggiurkan.

"... Dalam seminggu ini sudah ada delapan kasus kematian. Enam korban tidak diketahui identitasnya, sementara dua lainnya merupakan saudara kakak beradik. Sebelum ditemukan tidak bernyawa, dua kakak beradik berinisial FL dan WD ini telah dinyatakan hilang selama kurang lebih tiga minggu yang lalu. Sedangkan enam korban lainnya masih diselidiki identitasnya."

"Sayang, salah satu temanmu di TK rumahnya di dekat perumahan Roko Harjo, ya?"

Anita mencuci tangannya setelah mengaduk sayur sop. Ia kemudian mengambil wajan yang diletakkan di dalam lemari khusus untuk peralatan memasak.

"Iya, Ma."

"Nah, minggu besok kamu kan ada kelompok dengan Dono. Kalau kelompoknya di rumah saja bagaimana?"

"Namanya Doni, Ma. Doni nggak mau kelompok di sini."

Anita menatap putrinya dengan wajah bingung. "Loh, kenapa?"

"Dia takut sama, Mama. Katanya, Mama itu galak," ujarnya polos masih bermain dengan boneka baru. Kado pemberian sang nenek tiga hari yang lalu.

Gadis itu tidak mengerti maksud Anita ketika memintanya untuk kelompok di sini saja daripada harus pergi ke rumah Doni. Wanita itu tidak mau ambil resiko jika ada sesuatu yang terjadi menimpa putrinya nanti. Apalagi setelah ditemukannya mayat di sekitar sana semakin membuat perasaan Anita tidak nyaman.

"Nggak kok. Mama nggak akan marah-marah. Asalkan kalian kelompok di sini saja, ya? Nanti Mama belikan makanan dan minuman juga, biar kalian asik kelompoknya," rayu Anita.

"Serius, Ma?"

"Iya, Mama serius. Asalkan nanti kamu, Doni dan temanmu yang lain mengerjakan tugas di sini."

Lita tersenyum lebar sambil melompat-lompat di atas sofa dengan wajah girang. Dibujuk dengan makanan dan minuman seperti itu bagi bocah berusia lima tahun merupakan tawaran yang menggiurkan. Ia seperti mendapatkan harta karun berharga.

"Oke, Ma. Besok Lita kasih tahu Doni!"

"Sekarang saja kamu telepon, Doni. Kalau besok takutnya terlalu mendadak, sayang."

Lita menurut. Dengan gerakan cepat ia menuju telepon rumah, sementara Anita mengambil buku telepon yang berisikan nomor orangtua teman anaknya. Karena Lita masih kecil, ia tidak memberikan fasilitas telepon pribadi, kecuali untuk urusan mendesak baru ia memperbolehkan putrinya meminjam handphone-nya.

"Nomornya yang ini, sayang."

Setelah memencet angka sesuai dengan yang ada di buku telepon, Lita menunggu panggilannya dijawab. Namun setelah tiga kali menelpon, tidak ada satu panggilan pun yang diangkat.

"Mama! Doni nggak angkat telepon, Lita!" teriaknya kepada sang Mama yang mulai sibuk di dapur.

"Ya sudah nanti saja. Mungkin mereka lagi keluar, Ta. Kamu siap-siap sini. Bentar lagi ayamnya selesai Mama goreng."

Dengan semangat yang kembali muncul, Lita menghampiri dapur sang Mama. Akan tetapi ketika baru saja duduk di kursi makan, telepon rumah justru berdering.

"Mungkin itu dari Doni, Ma!" seru bocah itu antusias.

"Ya sudah, biar Mama yang angkat."

Anita mematikan kompor setelah mengangkat ayam goreng ke atas saringan. Ia berjalan menuju telepon rumah yang masih setia berdering sembari melepas celemek.

"Halo. Ini Doni, ya?" Tidak ada jawaban.

 Anita mengernyit seraya meilirik Lita yang sedang menatapnya dari meja makan.

"Halo, Doni. Ini tante Anita. Kamu besok."

"Tolong! Anita, tolong!"

Teriakan Amanda yang memotong perkataannya sukses membuat ia kalang-kabut.

"Kamu kenapa, Amanda? Kalian baik-baik saja?"

Kreek kreek.

"Mama. Doni mau main sama Mama."

Anita tertegun. Ia bisa mendengar suara napas Amanda yang menggebu-gebu di seberang sana. Juga suara lain seperti besi yang saling beradu dan radio yang kehilangan sinyal.

"Manda, kamu di mana? Itu Doni kenapa?"

"Itu bukan Doni, Tan."

Praangg!

"Mama! Doni mau main!"

"Tann ... Jangan biarkan Doni masuk ke rumahmu jika ia bertamu nanti."

"Loh, Man kenapa?"

Tidak ada jawaban, lagi. Amanda seolah lenyap setelah itu. Bahkan suasana yang sebelumnya bising di seberang sana mendadak sunyi. Mungkin jika ada langkah kaki seseorang ia bisa langsung mendengarnya karena telalu hening disambungan telepon. Sontak hal ini membuat Anita curiga.

"Man?"

Anita menelan salivanya susah. Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari dahinya ketika ia mendengar kekehan seseorang samar-samar sebelum berubah menjadi mode senyap kembali.

"Manda? Kamu baik-baik saja?"

"Halo, Tante."

Reflek Anita membuang telepon rumahnya ketika mendengar suara anak kecil seperti Doni dari sambungan telepon. Ia membelalakkan mata terkejut dengan napas yang sedikit terengah-engah. Berusaha meneguhkan diri, ia menarik oksigen lebih banyak sebelum mengambil telepon yang sempat ia lempar tadi.

"Halo, Doni. Mamamu ada?"

"Ma!"

Anita terkesiap mendengar teriakan putrinya. Ia menatap ke arah meja makan. Namun sudah tidak ada Lita di sana.

"Ma! Doni sudah ada di depan pintu."

Lidah Anita terasa kelu saat itu juga. 

"Boleh saya main ke rumah, Tante?" 

Bersamaan dengan suara yang ada disaluran telepon, bel pintu rumah Anita berbunyi. Dan ketakutan di dalam dirinya perlahan muncul ketika ia menatap Lita. Gadis itu sedang melihat siapa tamu di luar sana dari jendela. Tanpa sadar ia memegang erat telepon rumahnya ketika Lita mulai berlari menuju pintu. 

"Oh, ya Tuhan."

Tawa cerah menghiasi wajah anak semata wayangnya sebelum gadis berusia lima tahun itu membuka selot pertama pintu. Detik itu juga jantung Anita memacu lebih cepat dan dunianya terasa berhenti saat itu juga.

"Lita jangan buka pintunya!"

"Selamat pagi, di berita kilat hari ini. Kami menyajikan berita penting yang dirangkum. Sejak tiga bulan lalu banyak anak kecil berusia empat hingga enam belas tahun hilang tanpa jejak. Anehnya, mereka yang berhasil ditemukan justru sudah tidak bernyawa. Sebagian dari mereka bahkan tidak dalam kondisi tubuh lengkap. Pagi ini seperti sebelumnya anak berusia lima tahun ditemukan tewas di kediamannya bersama dengan sang Ibu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro