❬ 3 ❭ Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 2

Althaf POV

Alea menatap latihan soal matematika yang ada di depannya, bersiap-siap belajar untuk kuis besok.

Di depannya Aku merunduk, membaca sebuah buku tebal. Kini kami berdua berada di perpustakaan dan sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing.

Aku melirik dari sisi buku, melihat Alea sibuk mengerjakan soal. Aku berdehem pelan, “Alea,” Panggilku.

“Hm?” Alea mendongak, mengernyitkan kening.
Aku meletakkan buku di atas meja, memandang lurus pada Alea.

“Jadi pacar gue, ya?”

*****

Aku tersenyum samar mengingat saat dimana aku menembak Alea. Geli. Untung saja saat itu Alea nerima aku. 

Najis lu Thaf.

Aku menatap kotak cincin yang terletak di atas meja, lalu meminum coklat hangat yang tadi sudah ku pesan. Mencoba menguasai diri dari debaran detak jantung yang semakin menjadi. Aku menunggu kedatangan Alea karena sebelumnya kita sudah berjanji akan bertemu di cafe sehabis Alea pulang kerja.

Ya. Aku berencana melamar Alea hari ini. Aku kira sudah cukup empat tahun kami berpacaran. Aku ingin menunjukkan sebuah keseriusan pada Alea dengan mengajaknya ke jenjang yang lebih serius. Aku sudah memperkirakan uang gaji yang kupunya akan cukup untuk menghidupi diriku dan Alea nanti.

Dari jendela cafe yang transparan, Aku dapat melihat Alea yang baru turun dari sepeda motornya, melambaikan tangan padaku dengan wajah ceria, lalu masuk kedalam cafe. Aku langsung menyembunyikan kotak cincin itu kedalam saku celanaku.

“Udah lama?” Alea duduk di hadapanku, langsung menegak sebotol air putih yang memang di sediakan oleh pihak cafe.

Aku tersenyum menahan tawa melihat ekspresi kelelahan Alea. “Ambil nafas dulu By,”

“Tadi aku langsung lari-lari keparkiran mau cepet-cepet kesini."  Alea menceritakan dirinya tadi yang begitu semangat utuk menemuiku, sampai lupa kalau helmnya tertinggal di loker, untung belum jauh, masih di depan gerbang.

Aku mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Ada apasih sampe bisa kelupaan kayak gitu, hm?” tanyaku menatap lembut Alea.

Alea tersenyum senang, tetapi hanya sebentar karena senyum itu perlahan memudar, “Aku mendapatkan tawaran baru di Malaysia, By!” kata Alea mencoba mengatakan berita mengejutkan itu sebahagia mungkin, walaupun senyum yang ia tampilkan terkesan ragu.

Garis wajahku mulai menurun. Benar-benar terkejut. Kecanggungan tiba-tiba ada di antara kami. Aku terdiam, mencoba memahami kalimat yang baru saja diucapkan oleh Alea.

Alea menggenggam kedua tanganku, “Atasanku mengatakan aku menjadi salah satu karyawan yang dipilih untuk mengikuti percobaan di Malaysia, disana kita akan dikasih tanggung jawab besar untuk mengatasi proyek besar, bos bilang ini bisa jadi awal bagus untuk karirku. Aku gak bisa dan gak mau nolak kesempatan ini, By. Percaya padaku, kejadian kamu waktu dulu takkan terulang kembali.” Alea menatap penuh harap padaku.

Aku melepaskan genggaman Alea pada tanganku. Lalu menaruh asal uang untuk membayar pesananku dan pergi keluar dari cafe. Alea juga ikut mengejarku lalu menarik tanganku ketika samai di parkiran cafe, tapi aku yang memiliki masa lalu terburuk, melepas tangannya lalu menggeleng, “Aku gak bisa ....”

Aku mengarahkan pandanganku ke arah jalanan, mencoba menghindari tatapan Alea yang selalu bisa membuatku tak karuan. Aku menghela nafas. Bukan seperti ini rencananya.

“By. Please!” sentak Alea padaku.

“Apa yang membuat kamu gak bisa, By?”

“Kamu tau alasannya!” tegasku pada Alea. Ini adalah masalah terbesar antara aku dan Alea selam kami menjalin kasih. Karena selama ini Alea selalu berada di dekatku. Tak pernah terpikir Alea akan pergi dariku, apalagi sampai berbeda negara. Belum sempat aku mengatakan kalau aku ingin mengikat Alea selamanya, dia sudah lebih dulu memberi kabar mengejutkan ini.

"Tapi aku beda, By! Aku gak mungkin mengkhianatin kamu."

Aku kembali menggeleng. "Aku gak bisa percaya."

"Tolong, By. Sekali ini aja kamu ngertiin aku. Kamu tau kan, aku gak bisa memilih antara impian aku sama hubungan kita."

Aku bergeming. Sementara benakku terus bergumul memikirkan keputusan Alea yang akan berdampak pada hubungan kami. Selama kurang dari empat tahun merajut kasih, kami tidak pernah menghadapi masalah sebesar ini.

Aku tahu, ini adalah kesempatan Alea untuk menggapai impiannya. aku tidak bisa egois mengekang Alea untuk mencapai karirnya agar semakin gemilang. Apalagi aku hanya menyandang status sebagai kekasih. Belum menjadi seorang suami. Mengingat hal itu membuat aku spontan berdecak. Kalau saja tadi Alea tak memberi tahu aku tentang kepergiannya, mungkin aku sudah mengutarakan rencanaku kepada Alea untuk meresmikan hubungan kami menuju jenjang yang lebih serius.

Suara isakan yang menyapa runguku, membuat aku mengalihkan pandangan. Tatapanku terpaku pada wajah Alea yang kini basah oleh jejak air mata. Hatiku spontan memerintahkan inderaku agar membawa tubuh ringkih itu masuk ke dalam dekapan. Tetapi, sekujur badanku terasa kaku untuk menunaikan perintah tersebut.

Pikiranku kini diselimuti oleh kegamangan. Aku tersesat di persimpangan dilema. Antara mengikhlaskan Alea untuk mengejar impiannya dengan risiko kehilangan perempuan ini atau bersikap egois menahan Alea agar tetap di sampingku. Aku kontan menggeleng.

Sebenarnya, aku memiliki satu pilihan lagi. Melepaskan Alea dan tetap mempertahankan hubungan kami dengan saling membangun kepercayaan. Tetapi, apakah aku bisa?

Aku memejamkan mata sejenak sembari meloloskan udara dari bibirku. Aku harus bisa mengambil keputusan sekarang juga. Karena bagiku, Alea adalah segalanya. Dengan penuh keyakinan, aku kembali menatap netra manik cokelat milik Alea yang kini juga tengah menatapku sendu.

"Aku akan mencoba percaya sama kamu. Aku akan ikhlasin kamu buat pergi ke luar negeri dan kita akan tetap saling berhubungan," putusku menciptakan senyuman pada bibir Alea. Jika saja aku tidak sigap menahan bobot tubuh Alea, mungkin kami akan berakhir dengan terjungkal ke belakang.

Bibirnya tak berhenti merapalkan ucapan terima kasih. Mendapati hal tersebut, membuat aku turut diterpa kebahagiaan. Dalam hati aku berharap, semoga keputusankua kali ini tidak akan berakhir kembali menyakiti hidupku.

Malamnya, setelah mengantar Alea pulang untuk menyimpan motornya aku mengajak Alea jalan, melintasi kota. Aku banyak memperahatikan wajahnya malam itu, wajah bahagia yang selalu kusuka.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro