02 || Wis-uda-h

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wisnu tidak pernah membayangkan bahwa hari bersejarahnya akan diawali dengan desahan panjang nan berat, tanpa senyum yang benar-benar menunjukkan dirinya bahagia. Bukankah seharusnya hari wisuda adalah hari bahagia bagi mahasiswa yang baru lulus?

Sambil berdiri di depan jendela, Wisnu membuka ponselnya dan melihat pembaruan dari beberapa teman. Teman-temannya tampak bahagia. Beberapa dari mereka ada yang sudah mengunggah foto bersama keluarganya dengan pakaian batik yang seragam. Mata Wisnu terasa panas, begitu pula dadanya. Namun setidaknya, rambutnya yang masih basah usai mandi pagi dapat membuat kepalanya terasa lebih dingin. Sesekali tangannya pun mengeringkan rambut dengan handuk yang masih tergantung melingkari leher. Ia melempar ponsel ke kasur dan mulai membuka jendela agar hidungnya bisa menghirup udara segar—dan mendinginkan rongga dadanya.

Semalam, Naka memaksanya untuk keluar kosan dan minum kopi di angkringan depan gang. Dari pesan pop-up yang muncul di layar ponsel, Wisnu bisa tahu bahwa sepertinya malam ini ia tidak akan dibiarkan tenang oleh Naka.

---

Nakamurah
Wisnu! Woy, ah elah. Lo masih idup, kan?
Nu.
Ppppppp
Nu, Wisnu! Gue tau lo baca ini buruan bales
Atau gue dobrak kamar lo

Lo tau kalo lo berisik?

Nakamurah
Kan bener
Ayo ngopi
Buru

---

Wisnu sebenarnya sudah mengabaikan pesan dari teman-serasa-sahabat-nya itu. Hanya, bukan Naka namanya kalau tidak terus maju sampai kekepoanya terpenuhi. Selain pesan itu, Naka juga menelponnya beberapa kali.

"Nu, beneran gue dobrak, nih! Satu. Dua..."

Sumpah!

Rasanya Wisnu ingin melempar segala barang-barangnya ke laki-laki yang tidak tahu diri yang sudah menggedor pintu kamarnya. Ia menyerah. Beberapa hari ini ia memang berusaha menghindari Naka dan anak-anak kosan. Entahlah, ia sendiri tidak tahu mengapa berbuat demikian.

"Tiga!"

Wisnu membuka pintu kamarnya tepat saat hitungan selesai. Ia melihat Naka yang sudah menekuk tangan kanan dan berada pada posisi kuda-kuda untuk mendobrak paksa pintu kamarnya.

"Lo tuh, ya. Aneh banget beberapa hari ini. Susah ditemuin, wisuda nggak bilang, sekarang—"

"Ayo, buru." Wisnu sudah mengunci pintu kamar dan berjalan mendahului Naka.

Wisnu tidak memulai percakapan. Dalam hatinya, ia berterima kasih pada Naka karena lelaki berkaos oblong itu juga tidak berbicara dan hanya mengikuti langkahnya hingga sampai ke angkringan. Keduanya memesan kopi hitam dan mengambil beberapa gorengan yang tersedia.

"Orang tua gue nggak bakal dateng besok." Wisnu tahu hal yang ingin diketahui oleh Naka. Apalagi, Naka berulah setelah melihat undangan wisuda untuk orang tuanya ada di meja belajarnya. "Bapak gue juga nggak menghubungi. Ibu gue nyuruh balik Bogor."

"Bagus, dong!" Naka bersorak. "Artinya, lo masih diharepin buat pulang. Udah sana pulang."

Wisnu menatap Naka dengan sudut matanya. "Ngapain? Nggak penting. Kalo mereka nganggep gue penting, apa susahnya, sih, izin kerja terus dateng?"

"Apa yang lo rasain sekarang?"

Perasaan? Wisnu tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Saat ibunya menelpon dan memberi tahu bahwa ibu dan bapaknya tidak akan datang ke acara wisuda, ia baru menyadari dirinya kecewa saat ia mengambil toga di kampus. Setelah menyadari kekecewaan itu, ia mencoba memakluminya karena, toh, ia lulus dari jurusan yang tidak disenangi orang tuanya, terutama sang Bapak. Wajar, jika mereka mencari alasan untuk tidak bisa hadir. Mungkin lebih baik mereka tidak hadir daripada malu karena anak laki-laki satu-satunya lulus dari jurusan tidak bergengsi. Setelah itu, semua terasa hampa bagi Wisnu.

Wisnu menggeleng. "Kosong. Gue kehilangan arah. Gue sempet mikir, apa besok nggak usah dateng wisuda aja? Ngapain juga, kan? Cuma acara formalitas buat ngasih ijazah. Sisanya, paling gue bakal sakit hati liat orang lain pada foto-foto bareng keluarganya."

Naka mendengkus. "Lo nggak inget kalo lo punya keluarga juga di sini?"

"Maksudnya?"

"Lo anggep anak kosan apa? Sekedar penghuni kosan? Lo nggak nganggep gue sama anak-anak kosan sama Bu Endang keluarga lo?  Gila. Kita hidup bareng udah 4 tahun, loh! Dan nggak sekadar hidup numpang kamar aja, kan? Inget nggak apa aja yang udah terjadi selama 4 tahun?"

"Ah, nggak gitu." Tiba-tiba rasa bersalah  muncul di hati Wisnu.

"Ya, emang nggak semuanya udah 4 tahun barengan. Tapi ... Gila, sih, Nu, kalo lo cuma mikir kita-kita sekadar penghuni kos aja." Naka menekankan tiga kata terakhirnya. "Liat aja. Gue bakal bilang ke semua anak kosan kalo besok lo wisuda. Liat apa reaksi mereka besok!"

Kata-kata Naka malam itu membuat Wisnu sedikit berharap. Ia pikir, anak-anak kos akan ramai-ramai mengunjungi kamarnya, mengucapkan selamat, atau paling tidak mengirim pesan. Namun, sepinya kosan hingga dirinya bersiap berangkat ke kampus membuat harapannya terkikis sedikit demi sedikit. Bahkan, Naka pun tidak terlihat batang hidungnya.

Kalau dihitung, sepertinya Wisnu sudah mendengkus 15 kali dalam 30 menit.  Dari membuka lemari, memakai baju batik berwarna biru dongker, menyisir rambut, memasukkan toga ke dalam tas, dan setiap awal gerakannya bersiap-siap selalu diawali desahan kasar. Tak jarang, matanya pun melirik ponsel yang menampilkan pesan grup penghuni kosan Bu Endang. Aneh, kenapa ia jadi sangat berharap?

"Udah, Wisnu. Mungkin masih pada tidur juga. Ini masih jam 6 lewat. Udahlah. Kayak nama lo depannya Wis, sudahi harapan kosong ini. Paling Naka cuma mau ngehibur aja semalem. Wis, udah. Mari melihat kebahagiaan orang-orang di wisudaan hari ini dan tersenyum bareng mereka walau senyum kecut," ujar Wisnu pada diri sendiri dan keluar kamar menuju kampus.

Baru saja Wisnu menyalakan motor dan membiarkan motornya mengalami pemanasan mesin, ia mendengar teriakan dari kamar paling ujung.

"Woy! Katanya mau dianter! Nggak jadi?"

Wisnu mengangkat alisnya.  Kapan dia ... Benar! Saat ia sedang menyetrika baju, Naka datang ke kamarnya dan sudah ketok palu akan mengantarnya ke kampus. Sebuah perilaku baik yang dilakukan Naka sebagai kompensasi karena siang hari tidak bisa datang usai acara wisudanya. Otak Wisnu hanya mengingat ucapannya sendiri yang sempat menolak karena tidak ingin merepotkan Naka. Sepertinya, saat hal itu terjadi ia masih sedikit mengantuk.

"Sori. Lupa."

"Lo mau berangkat sekarang?"

Wisnu mengecek jam tangannya di tangan kiri. "Kayaknya iya, deh. Takut macet."

"Matiin motor lo! Tunggu 2 menit!"

Tadinya Wisnu sudah membayangkan betapa melasnya naik motor sendiri dan berjalan menuju graha wisuda sendiri. Untungnya, ia tidak jadi semelas itu karena Naka. Setidaknya, ia tidak menjadi satu-satunya wisudawan yang berangkat sendiri disaat semua wisudawan diantar oeh keluarga dan kolega dekatnya. 

Wisnu duduk bersama teman-teman sefakultasnya di sisi kanan-tengah aula graha wisuda. Ia tidak terlalu menyimak susunan acara yang berlangsung dan sibuk bermain 2048 untuk mengisi kebosanan. Kadang ia melirik ke kanan dan kiri, melihat beberapa temannya ada yang tertidur. Tawa kecil keluar dari mulutnya. Hingga akhirnya, giliran penyerahan ijazah untuk Fakultas Ilmu Budaya pun tiba.

Wisnu mengikuti teman-temannya dan bergerak keluar dari jajaan kursi untuk membuat barisan menuju ke panggung utama. Mereka maju selangkah demi selangkah, menunggu giliran masing-masing.

"Wisnu Ajisaka, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Inggris. Putra dari Bapak Chandra Ajisaka, lulus cumlaude dengan IPK 3,75 dengan waktu kuliah 3 tahun 11 bulan."

Wisnu menaiki panggung utama dan menerima ijazah dari Dekan Fakultas Ilmu Budaya. Setelah itu, sudah. Ia berharap bisa langsung keluar ruangan dan kembali ke kosan. Namun, tentu saja protokoler wisuda tidak mengizinkannya keluar karena para wisudawan diwajibkan mengikuti acara hingga selesai. Ia pun kembali duduk di kursinya dan bermain 2048 lagi sampai acara berakhir.

Seperti dugaan Wisnu. Keluar dari aula graha wisuda membuatnya harus menyaksikan pemandangan yang luar biasa membuat iri. Para wisudawan dijemput oleh keluarga mereka,  mendapat bunga berbuket-buket, dan tentu saja foto bersama tidak ketinggalan. Kepalanya mulai pening melihat ratusan, bahkan mungkin ribuan, manusia memenuhi halaman luar graha wisuda. Ia pun segera menepi. Satu-satunya tujuan adalah keluar dari kampus dengan segera.

"Wisnu!"

Langkah Wisnu terhenti saat ia mendengar suara perempuan memanggilnya. Jantungnya tiba-tiba berdegub cepat dan mulai salah tingkah saat berbalik dan melihat perempuan berambut panjang berlari kecil menuju dirinya. "Icha?" 

Icha, atau nama lengkapnya Intan Pracita, adalah perempuan yang disukai Wisnu dalam diam. Keduanya bertemu di Unit Broadcasting, salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa yang aktif di radio kampus. Wisnu tidak pernah mengungkapkan perasaannya meski tahu banyak rekan se-UKM memiliki ketertarikan pada Ica. Baginya, Icha adalah perempuan kelas atas yang sulit digapai. 

"Hei! Pas banget gue liat lo. Ayo, foto bareng! Ayah! Tolong fotoin Icha."

Wisnu hanya membeku di tempat. Tidak menolak, tidak juga sanggup berkata iya. Terlebih lagi saat melihat laki-laki paruh baya berjas rapi berjalan dan siap mengambil gambar mereka.

Wah, achor tv nasional emang auranya beda, ya, batin Wisnu.

"Ini siapa, Cha?" tanya laki-laki paruh baya itu.

"Ini Wisnu, Yah. Temen Icha di Unit Broadcasting kampus."

"Oh, yang sering siaran bareng kamu itu, ya! Salam kenal, Wisnu. Saya ayahnya Icha."

Dengan gugup, Wisnu menyambut uluran tangan penyiar berita televisi nasional itu, sekaligus ayah dari perempuan yang disukainya. Ia mengangguk dan tersenyum kaku. Benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Rencana habis lulus, kerja di mana, Wisnu?"

Mati gue! Kenapa pertanyaan ini yang muncul?

Wisnu mengusap tengkuknya.  "Masih cari-cari kerja, Om. Agak susah syarat lowongan kerja sekarang."

"Ya, nggak apa-apa. Semoga dimudahkan, ya."

"Makasih, Om."

"Nu, gue ke sana dulu, ya! Makasih udah foto bareng dan selamat udah lulus!"

Harusnya gue yang berterima kasih karena lo notice kehadiran gue. Wisnu pun melambai dan menyaksikan Icha berjalan dengan menggandeng ayahnya. Ia juga mengangguk pelan saat menyadari ada ibu Icha di seberang sana. Desahan napas panjang kembali keluar dari mulut Wisnu. Baiklah, mungkin sebaiknya ia segera pulang ke kosan.

"Woi! Wisnu!"

Belum jauh Wisnu berjalan dengan lesu dan kepala tertunduk, lagi-lagi seseorang memanggil namanya. Namun, ia ragu. Suara itu suara yang jelas dikenalnya, tetapi rasanya tidak mungkin orang dalam bayangannya itulah yang memanggil.

"Wisnu! Buset, dah. Lo nggak budeg, kan?"

"Woi, Naka. Katanya sibuk."

Wisnu tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya melihat ada satu orang lagi yang datang dan menghampirinya. Terlebih lagi, itu Naka. Teman-serasa-sahabat yang tadi mengatakan bahwa tidak akan datang, nyatanya menunjukkan diri di saat-saat krisis. Iya, Wisnu sedang krisi kepercayaan diri karena tidak ada keluarga yang mendampinginya.

Tiba-tiba, Naka menarik lengan Wisnu dan berlari menuju salah satu sudut area graha wisuda yang sedikit sepi. Mata Wisnu seketika memanas dan air matanya mulai menyerobot untuk keluar saat ia melihat seluruh penghuni kosan berdiri di sana dengan buket bunga dan ... ondel-ondel?

"Wah ...." Wisnu tidak bisa berkata-kata.

"Selamat wisuda, Mas Wisnu!"

***

~1666 words~

Mandi bukan biar bersih, tapi biar pikiran adem. Ye, ga, Nu?


.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro