08 || Kapan Kerja?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama beberapa hari, Wisnu hanya keluar kamar jika ada yang memanggilnya saja. Mulai dari Naka yang selalu mengganggu di pagi hari, sampai sidang Nanang yang tiba-tiba dapat uang banyak dan mengisi penuh kulkas dengan makanan. Sebagai salah satu dari tiga abang paling tua di kos, secara tidak langsung membuat lelaki ini menjadi pengacara—pengangguran banyak acara—khusus penghuni kos. 

Terlebih saat Naka mendadak heboh mengatakan bahwa Nanang diduga jual beli narkoba, agenda Wisnu untuk terus setor CV ke mana-mana langsung batal. Ya, walaupun saat sidang dirinya lebih banyak diam dan mendengarkan Naka menginterogasi Nanang. Untungnya bocah itu lepas dari tuduhan yang aneh-aneh.

Hari ini, pagi Wisnu cukup tenang. Sepertinya, Naka tidak sempat mengganggunya karena sedang sibuk mengurusi acara seminar dari dosen pembimbing. Sebenarnya dalam hati Wisnu cukup kesal. Dosen pembimbing macam apa yang memanfaatkan mahasiswa bimbingannya untuk mengurusi hal-hal yang sudah menjadi tanggung jawab universitas? Apalagi, kasusnya Naka adalah mahasiswa limit. Sudah lama tidak lulus-lulus, ia khawatir teman-rasa-sahabat-nya itu mendapatkan Surat Peringatan karena sudah mencapai limit waktu kelulusan.

Ah, tidak mungkin. Naka tidak sebodoh itu menerima dirinya disuruh-suruh tanpa menagih dosen pembimbingnya untuk segera menjadwalkan seminar hasil. Andaikan teman-rasa-sahabat-nya itu malah semakin dipersulit agar bisa dimanfaatkan, bisa-bisa di masa penganggurannya ia akan demo ke kampus.

Hanya, rasanya aneh ketika pagi ini justru Wisnu bisa tidur dengan tenang tanpa sarapan keributan dengan Naka. Meskipun demikian, rencananya untuk bangun siang dan leha-leha setelah begadang—karena maraton film Harry Potter 1 sampai 5—terlaksana dengan sukses. Ia hanya bangun saat azan zuhur berkumandang, salat, lalu kembali tidur. Entah untuk balas dendam dari perilaku begadangnya atau memang untuk menghindari realita yang terlalu tidak pasti. Bukankah lebih enak tidur dan bermimpi indah daripada menghadapi realita?

Hingga akhirnya, Wisnu kembali terbangun saat azan asar, salat, dan memutuskan untuk kembali membuka laptop. Ia membuka beberapa jendela browser untuk mengecek surel, laman bursa lowongan kerja online, dan WhatsApp Web.

Sayangnya, belum ada tanda-tanda pemanggilan wawancara atau bahkan sekadar konfirmasi berkas diterima. Baik orang tua atau Wisnu sendiri tidak ada yang saling menghubungi setelah telepon terakhir dari Bapak. Mungkin, kedua belah pihak sama-sama tidak ingin saling mengganggu. Atau, menurut Wisnu, Bapak dan Ibu memang benar-benar melepasnya dan hanya menunggu kabar hasil akhir.

Belum ada progres yang jelas membuat Wisnu mengusap wajahnya beberapa kali. Matanya menatap ke langit-langit kamar dan menghela napas panjang beberapa kali. Sepertinya ia butuh penyegaran dan keluar kamar selain untuk ke kamar mandi atau mengambil makanan di kulkas yang tinggal separuh isi sejak Nanang mengisinya penuh.

Setelah mandi dan sedikit memperbagus diri, Wisnu yang mengenakan kemeja biru dengan kaus putih sebagai dalaman pun keluar dari persembunyiannya secara sukarela.

"Halo, Mas Wisnu!"

Wisnu berbalik setelah mengunci kamarnya. "Eh, Audi. Mau ke mana?"

"Mau ke kamar, Mas. Kayaknya aku baru liat Mas Wisnu lagi, ya? Mas habis pergi?"

Ah, benar. Sejak banyak mengurung diri dan enggan bersapa dengan penghuni kos, selain Naka yang selalu berinisiatif mengganggunya, wajar jika penghuni kos jarang bertemu dengannya. "Mas di kamar aja, sih. Mungkin pas keluar kamar, kamunya lagi di kamar, Di."

"Oh, Bang Naka nggak cerita apa-apa?"

Wisnu mengangkat alis. "Kenapa? Ada apa? Ada masalah? Kamu nggak apa-apa?"

Audi tersenyum dan menggeleng, lalu mengangkat jempolnya. "Aman! Ya, udah. Aku ke kamar dulu, Mas."

Wisnu memiringkan kepalanya. Ia merasa ada yang tidak beres, tetapi rasanya tidak berhak juga bertanya apa-apa. Toh, salah sendiri ia ansos—anti sosial—selama beberapa hari. Lebih tepatnya, setelah pertemuan dan syuting dengan tim bimbingan belajar Raka.

Benar. Kenapa tiba-tiba pikiran tentang pekerjaan menjadi pengajar di tempat bimbingan belajar Raka kembali hadir?

Lelaki berkemeja garis-garis biru-putih itu menggelengkan kepalanya dengan kencang sambil berjalan keluar kos. Sepertinya, setelah banyak menyendiri, dunia berkonspirasi untuk mempertemukannya dengan sebanyak mungkin penghuni kos. Mulai dari Uci yang baru pulang dengan wajah kusut, Pia yang sepertinya sedang berbunga-bunga entah karena apa, Nanang yang tiba-tiba sudah ada di parkiran motor duluan—bak superhero the flash, kapan Nanang lewat pun, Wisnu tidak tahu. Terakhir, wanita yang sudah seperti ibunya sendiri, Bu Endang.

"Wisnu, ya, Allah. Sehat, Nak? Kata Naka kamu lagi galau dan nggak mau diganggu di kamar. Ibu khawatir, lho, kamu sakit. Aman?" Bu Endang berbicara dengan logat betawinya yang khas.

Tentu saja perhatian itu membuat Wisnu tersenyum. "Aman, Bu. Maaf, ya, bikin khawatir."

"Iya, nggak apa-apa. Yang penting kamu sehat. Ini mau ke mana?"

"Biasa, Bu. Mencari inspirasi."

"Ke taman belakang?"

Wisnu mengangguk.

Bu Endang sudah hafal tempat favorit Wisnu untuk menghirup udara segar sekaligus mencari inspirasi. Sejak mengetahui di belakang kompleks kos ada taman, Wisnu sering mengunjungi taman itu untuk sekadar jalan-jalan pagi, sore, bahkan pernah mengajak warga kos piknik di sana saat awal-awal mereka menjadi keluarga Kos Bu Endang. Namun, sejak KKN dan skripsi menghadang, ia semakin jarang mengunjungi taman. Hanya sesekali jika sedang di puncak kesuntukan.

Wisnu mengeluarkan ponsel, menyambungkan headset, dan memutar On Repeat Playlist dari salah satu aplikasi pemutar musik. Ia cukup terkejut saat mendengar lagu pertama yang terputar.

---

Awalnya ku tak tahu, datangnya dari mana
Kausapa dan sebut namaku
Firasatku berbeda

---

Entah bagaimana, wajah Icha, perempuan yang disukainya sejak bergabung di unit kegiatan broadcasting kampus, tiba-tiba hadir membawa sebuah kerinduan. Terlalu sibuk dengan tujuan hidupnya, Wisnu terkadang harus memaksa dirinya memendam perasaan yang justru oleh kebanyakan teman-teman kampusnya diungkapkan dengan mudah. Terlalu sibuk dengan tujuan hidupnya, membuat Wisnu menyampingkan perasaannya pada Icha hingga berakhir dengan memendam rasa sampai lulus.

Mau bagaimana lagi? Ia tidak percaya diri jika harus mengungkapkan perasaan pada putri semata wayang dari salah satu anchor televisi nasional yang terkenal seantero Indonesia. Rasanya tidak pantas dan ia harus memantaskan diri dulu.

Wisnu, yang saat ini bersandar di salah satu pagar kayu taman, mulai memejamkan mata. Mendengarkan lagu itu dengan seksama, menikmati angin dan aroma senja, sembari membayangkan akan seperti apa ia membangun masa depannya hingga bisa meraih cita dan cinta.

---

Mengapa saat jauh
Bayang dirimu menyiksa?
Berjuta rindu menggoda
Terlalu cepatkah ini, Cinta?

---

"Anah, anak senja banget, lo! Dengerin apa, sih, sampe merem-merem sok asyik gitu?"

Belum sempat Wisnu membuka mata dan mengamankan headset di telinganya, Naka sudah berhasil merebut headset dari telinga kiri Wisnu.

"Buset! Lo lagi bucin?"

Nada suara Naka yang terkejut semi-meledek itu membuat Wisnu berdiri dan langsung merebut kembali headset-nya. "Ngapain lo di sini? Tau dari mana gue di sini?" ujarnya ketus.

"Dari mana lagi? Bentar, gue ngakak dulu." Naka serius. Lelaki yang berbaju batik itu benar-benar tertawa terbahak-bahak sampai matanya berair. "Sumpah! Gue pikir lo nggak pernah suka sama cewek. Ternyata bisa bucin juga!"

"Lo jangan ngada-ngada, elah!"

"Lah, itu buktinya? Lo dengerin lagu kayak gitu. Lagunya Arsy sama Tiara, kan, itu? Seantero Indonesia juga tahu itu lagu orang bucin!" Naka masih tertawa sambil memegangi perutnya.

"Gue balik." Wisnu tidak sepenuh hati mengatakannya karena ia sebenarnya masih ingin di taman.

"Gitu aja ngambek, buset dah! Lo kenapa, sih? Sensi gila akhir-akhir ini. Masih kepikiran sama kata-kata bapak lo?"

Wisnu diam seribu bahasa dan mengalihkan pandangannya ke layar ponsel. Ia mematikan musik yang barusan didengar dan kembali menyandarkan diri di pagar taman. "Eh, Nakamurah. Ajarin gue nyari duit dong."

Tawa Naka mendadak berhenti. "Lo kesambet?"

Wisnu mendengkus. "Lupain."

"Eh, serius. Lamaran lo belum ada kabar sama sekali, kah?"

Gelengan sudah pasti menjadi jawaban paling jelas dari Wisnu.

"Sebanyak itu lo kirim belum ada yang tembus?"

Lagi-lagi Wisnu menggeleng.

"Emang, ye, IPK bagus, lulus cepet, nggak menjamin cepet dapet kerjaan."

"Lo ngeledek gue?"

"Lah, kenyataan?"

"Sial."

Naka tertawa melihat sahabatnya itu semakin kesal. Sepertinya, kesalnya Wisnu adalah sumber kebahagiaan harian yang terbesar bagi Naka.

"Namanya Icha," ujar Wisnu tiba-tiba. "Dia anak salah satu news achor terkenal di Indonesia. Cantik, pinter, idola banyak mahasiswa di Catra."

"Idola gue, sih, Ayu."

Wisnu tidak memedulikan celetukan Naka. "Gue kenal dia di UKM Broadcasting. Sampai wisuda kemaren, gue tetap nggak berani bilang kalo gue suka sama dia karena ngerasa belum pantes. Dia udah dapet kerjaan, jelas ada campur tangan nama bapaknya, tapi dia emang pinter dan nggak aneh kalo dengan sedikit koneksi bisa langsung dapet kerjaan. Lah, gue? Koneksi gue malah tukang ojek online yang kagak lulus-lulus."

"Sat!"

"Kenyataan, kan? Makanya, ajarin gue cari duit. Gue mau memantaskan diri juga buat Icha, di samping kudu ngebuktiin juga ke Bapak. Sumpah. Gue bingung harus cari kerja ke mana lagi."

"Kemaren lo ditawarin ngajar bimbel, nolak setengah mati. Gue yang cuma tukang ojek online dan tukan galon—tadi lo nggak nyebutin itu—bisa ngasih kerjaan apa coba? Lo berharap gue ngasih kata-kata motivasi apa gimana?"

"Menurut lo?"

Naka mengembuskan napas panjang tiga kali, seolah ia siap berubah menjadi apa saja setelah embusan yang ketiga. "Heh, Nu, orang kayak kita ini nggak bisa langsung ngarep kerjaan keren, jabatan tinggi, level bergengsi. Kudu mau mulai dari nol, dari bawah, dari yang paling rendah asal tetap halal. Lo mau nggak kayak gitu?"

"Kayaknya emang gue kelewat terpaku sama janji soal kerjaan bergengsi habis lulus itu, ya."

"Nah. Sadar, kan, lo? Terus, memang menurut lo bergengsi itu apa, sih? Kerja di gedung-gedung tinggi di ujung sono? Percuma, Nu, kalo isinya orang korup semua, mah."

"Mulut lo licin banget. Jangan gitu kalo di tempat umum. Bisa digebukin lo."

Naka terkekeh. "Ya, intinya itu. Kalo lo mau, peluang sebenernya udah dateng ke lo dari kemaren-kemaren onoh. Bangun relasi dulu. Lama-lama, lo juga bakal punya koneksi selain koneksi sama tukang ojek dan tukang galon kayak gue."

"Eh, soal itu, gue ngomong bukan maksud ngeremehin lo, ya. Tanpa lo, hidup anak-anak kos yang butuh galon dan tebengan siap siaga kayaknya bakal ancur."

"Gue anggep itu pujian."

Wisnu tersenyum. "Thanks."

"Jadi, lo mau ngajar?"

Wisnu menarik napas panjang dan menatap langit yang mulai gelap dengan semburat oranye, pink, dan biru. "Maybe, yes. Maybe, no. Kita liat nanti."

"Set, dah! Lo jawab kayak jawaban orang yang ditanya kapan nikah aja. Percuma gue ngomong sampe berbusa juga. Untung kagak sampe muntah-muntah."

Belum sempat Wisnu merespons kalimat Naka, bunyi notifikasi di ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia menggulirkan panel notifikasi dan melihat beberapa surel masuk.

"Heh, Nakamurah ...."

"Apa lagi?"

"Ini!"

Kedua sahabat itu saling memandang dengan mata yang membelalak lebar, lalu bersorak kencang di tengah taman berselimut senja yang semakin menggelap.

***

~1707 words~
.
.
.

Kangen Wisnu. Ada yang kangen juga?

Kalo ini kagak usah dikangenin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro