11 || Nekat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sehabis subuh, Wisnu mondar-mandir di kamarnya. Rencananya utamanya hari ini adalah mengikuti salah satu saran Bapak yang masuk akal, yaitu mencoba menghampiri langsung beberapa perusahaan atau badan swasta yang mungkin membutuhkan pekerja dengan kualifikasi lulusan Sastra Inggris. Targetnya bukan untuk langsung melamar pekerjaan, tetapi memastikan kembali kualifikasi yang dibutuhkan termasuk kemungkinan keharusan untuk memiliki sertifikasi bahasa atau keahlian lainnya. Namun, rencana cadanganlah yang justru membuatnya tak henti mondar-mandir di kamar berukuran 3x4 itu. Akhirnya, Wisnu memutuskan untuk keluar kamar dan mengetok kamar nomor 6 dengan pelan.

Wisnu yang berkacak pinggang menunggu pintu kamar dibuka langsung menghela napas panjang saat melihat sesosok lelaki dengan rambut gondrong yang memenuhi wajah.

"Anjir, kayak setan, lo!" refleks Wisnu.

"'Nah, pagi-pagi ngapain, geh?" jawab penghuni kamar nomor 6 dengan suara serak.

"Mau bantuin gue nggak, Ka?"

"Apaan?"

Kalau biasanya Naka yang nyelonong masuk ke kamar Wisnu, kali ini sebaliknya. Wisnu menyingkirkan kaus kutang yang tergeletak di pinggir kasur, lalu duduk di sana. Ia memerhatikan dengan seksama dan mengira-ngira apakah kesadaran teman-rasa-sahabatnya itu sudah seratus persen ada.

"Ngomong aja, jangan ngeliatin gue. Ntar suka," seru Naka yang masih berdiri dengan mata terpejam dan bersandar di pintu.

"Dih, amit-amit," jawab Wisnu refleks sambil berdecak. Ia pun menarik napas panjang sebelum mulai menyampaikan maksudnya. "Kemaren, Bapak nelpon. Nyuruh gue dateng ke suatu tempat yang katanya buka lowongan kerja. Posisinya sebagai manajer pabrik. Gaji 12,5 juta buat lulusan fresh graduate. Menurut lo gimana?"

Naka langsung melotot. "Yang bener lo?"

"Apanya?"

"Itu, duitnya."

"Ya, nggak ngerti. Kata Bapak, sih, bener. Menurut lo?"

"Agak nggak masuk akal, ye, baru lulus dihargain segitu. Kecuali, emang butuh keahlian khusus. Syaratnya apa lagi selain itu?"

"Nggak ada."

"Sumpah?"

Wisnu berdeham mengiyakan.

"Penipuan kali, noh!"

"Gue juga mikir gitu. Mana kemarin habis baca berita lagi banyak penipuan berkedok lowongan kerja. Tapi, kalo gue nggak coba ke sana, mau bilang apa ke Bapak? Bisa-bisa gue dimaki lagi dibilang pilih-pilih kerjaan. Belum lagi kemarin diungkit soal jurusan gue yang nggak berprospek kerja bagus."

Naka menarik kursi dan duduk menghadap Wisnu tanpa membalik kursinya. "Lo nggak mungkin mau ke sana tanpa rencana, kan?"

"Nah, itu. Lo mau bantuin, nggak?"

"Jangan bilang lo nyuruh gue nyamar jadi pelamar kerja dan jadi kelinci percobaan lo buat ngadepin itu penipuan atau bukan."

"Ye, tega banget kalo gue gitu."

"Lah, lo kan tegaan."

"Asem!" Wisnu menendang kursi yang diduduki Naka, tetapi Naka berhasil menghindar dan mengangkat kursinya ke samping kiri. "Stand by deket sana biar gue bisa kabur kalo beneran penipuan."

"Kalo bukan penipuan?"

"Ya, alhamdulillah."

"Bukan. Maksudnya, kalo bukan penipuan, rugi dong gue nungguin lo dan nggak narik."

"Jadi, lo lebih milih duit daripada keselamatan gue?"

"Jelaslah!"

Lagi-lagi Wisnu menendang kursi yang diduduki Naka. Mau menjanjikan uang ganti rugi pun kali ini Wisnu agak mikir-mikir karena tabungannya mulai menipis. Sebenarnya, ada celengan babi yang ada isinya khusus untuk Naka. Namun, itu dana darurat, bukan dana ganti rugi. Toh, hidup Naka belum darurat amat kalau tidak ambil pelanggan selama beberapa jam.

Hal darurat saat ini adalah jika Wisnu tidak segera mendapat pemasukan, bisa-bisa uang pegangannya habis dan harus membongkar celengan yang sebenarnya sudah ia sisihkan untuk hal darurat lain. Ya, tidak ada pemasukan memang hal darurat, sih. Namun, Wisnu merasa hal itu masih bisa diantisipasi dengan segera mendapatkan pekerjaan baik nan halal.

"Jadi, mau bantuin gue nggak? Kalo enggak, ya, paling gue cancel aja dan mutus kontak sama ortu untuk sementara." Benar. Menuruti kemauan Bapak bukanlah hal darurat. Lagi pula, itu kan hanya rencana cadangan esok hari. Ia masih bisa memutar otak untuk dapat pemasukan kecil-kecilan.

Naka bangkit dari kursi dan berjalan seperti setrikaan di depan Wisnu. Kedua lengannya dilipat di depan dada dan sesekali menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.

"Coba aja, geh, Nu. Siapa tahu kerjaan beneran."

"Lo gimana?"

"Gampanglah. Dari pada lo mutus kontak sama keluarga. Janganlah. Bapak lo itu sebenernya peduli dan pengen lo sukses. Caranya mungkin dengan cara yang nggak lo suka. Ya, masih mending, kan, daripada lo diabaikan apalagi dianggep udah mati."

Wisnu tertegun. Ia bangkit dan menghampiri Naka yang saat ini memandang ke luar jendela kamar. "Ka, ada sesuatu? Dari kemaren ada yang aneh. Lo nyembunyii apa dari gue?"

Naka hanya tersenyum dengan senyum yang membuat Wisnu mengernyitkan dahi. Demi langit dan bumi, baru kali ini Wisnu melihat senyum Naka yang tidak biasa. Entah bagaimana mendeskripsikannya, senyuman itu seolah menyimpan rasa rindu, sakit, dan kepasrahan di mata Wisnu yang melihatnya. Rasanya, lelaki berpipi gembil ini ingin mengorek-ngorek segala hal yang terjadi pada teman-rasa-sahabat-nya karena sepertinya beberapa hari terakhir ia benar-benar lost in touch dari semua penghuni kos, termasuk Naka.

"Boi, serem kali lo ngeliatin gue. Mending gue diliatin kayak gitu sama Ayu kekasih hati," celetuk Naka sambil menoyor kepala Wisnu.

"Anjir."

"Udah sana! Gue mau tidur lagi." Naka berjalan ke kasur dan mengambil posisi tidur yang paling enak.

"Jadi, bantuin gue, kan, ya?"

"Iya, berisik. Sana!"

Wisnu tertawa kecil saat melihat kaki Naka yang terangkat untuk menanggapi kalimat terakhirnya. Ia pun keluar dari kamar kuncen kosnya itu untuk mempersiapkan diri.

Pukul sembilan kurang dua puluh menit, Wisnu sudah siap dengan baju batik biru dan celana kain berwarna hitam. Tas ransel bertengger di bahu kanan dan ia berjalan ke kamar nomor 6 untuk mengecek keberadaan penghuninya—masih tidur atau sudah berangkat narik ojek.

"Ka, udah berangkat?" teriak Wisnu sambil mengetuk kamar nomor 6. Saat ketukannya tak berbalas jawaban, ia pun membuka pintu, tetapi terkunci. "Oh, udah berangkat duluan."

Saat Wisnu keluar, langit Jakarta tampak mendung. Sudah lama ia tidak mencium bau pertrikor di kota yang polusi udaranya semakin menjadi-jadi itu. Sesaat ia melihat sepatunya dan sempat ragu, perlu membawa sendal sebagai cadangan alas kaki atau tidak. Namun, ojek online pesanannya—yang pasti bukan Naka—sudah datang. Ia sengaja hanya meminta Naka stand by dan tidak mengantarkan dari awal supaya temannya itu bisa mengumpulkan pundi-pundi poin sebelum berhenti sejenak karena menemaninya nanti.

Rintik air mulai terasa saat Wisnu hampir tiba di tempat tujuan. Alamat perusahaan itu membawanya dan abang ojek ke sebuah gang sempit di pinggir kota. Mereka juga melewati jembatan di atas sungai dan entah masuk ke gang kecil berikutnya.

"Mas, ini bener ke arah sini?" tanya abang ojek.

Wisnu mengerutkan dahi. "Saya nggak tahu juga, Bang. Ini alamatnya dikasih dari sananya. Diikutin aja kali, ya?"

"Kok rasa-rasanya saya pernah ke arah sini, ya?"

"Oh, ya? Nganter pelamar kerja kayak saya juga, Bang?"

"Kayaknya gitu, ya. Saya lupa-lupa inget. Mas yakin ini tempat cari kerjaan? Bukan tempat pinjol atau semacamnya?"

Dada Wisnu terasa menyempit. "Maksud Abang, penipuan gitu?"

"Iya. Hati-hati aja, Mas. Saya jarang banget anter orang mau ngelamar kerja ke tempat rada terpencil gini. Biasanya, di kota itu yang gedungnya tinggi-tinggi, kan. Ini kayaknya kedua kali, ya."

"Pertama kali kapan?"

"Udah lama. Tahun lalu? Nggak tau, Mas, saya lupa." Abang ojek itu tertawa kecil. "Di sini, Mas? Lokasinya udah bener kalau dari aplikasi."

Wisnu mengecek lokasi di peta aplikasi. Seharusnya memang benar sudah sampai. Ia melihat sebuah gedung bertingkat tiga yang tampaknya sudah tua. Awalnya, ia ragu. Namun, ada beberapa orang berbaju formal yang membawa map terlihat menunggu dan mengobrol di depan gedung itu. Mungkin, mereka pun pelamar kerja seperti dirinya.

"Kayaknya bener, Bang. Itu ada yang antri di sana. Antri wawancara mungkin, ya. Makasih banyak, Bang." Wisnu pun mengembalikan helm pada abang ojek yang mengantarnya. Sebelum masuk, tak lupa Wisnu mengirim pesan pada Naka bersamaan dengan foto dari gedung yang akan ia masuki. Ia tiba tepat saat pintu gedung dibuka dan orang-orang yang menunggu di depan gedung mulai masuk satu per satu. Dua orang menggunakan setelan jas menjaga di dalam pintu masuk gedung dan menyambut mereka dengan senyum. Masih aman, sepertinya, batin Wisnu.

Rasa aman yang sesaat dirasakan Wisnu mulai memudar saat ia tidak di aula tengah gedung dan mendengar sambutan dari seorang laki-laki yang mengaku penanggung jawab rekrutmen pegawai hari itu.

"Selamat pagi dan selamat datang. Kami harap, rekan-rekan semua mengikuti seleksi dan wawancara sampai selesai sebelum meninggalkan tempat ini agar kami bisa mendapatkan pegawai terbaik dari rekan-rekan semua. Tenang saja. Dengan hadir di sini, rekan-rekan pasti akan mendapat pekerjaan. Seleksi dan wawancara hanyalah formalitas untuk menentukan posisi terbaik bagi rekan-rekan."

Wisnu melihat ke sekeliling dan mendapati wajah-wajah yang tadinya tampak lesu mulai berbinar. Namun, ada juga beberapa yang mengerutkan dahi seperti dirinya. Sebagian besar pelamar kerja mengikuti si lelaki penanggung jawab rekrutmen ke lantai dua, tetapi ada tiga orang yang berjalan berlawanan arah dan kembali ke pintu masuk.

Wisnu diam di tempat dan memerhatikan tiga orang di depan pintu masuk yang sepertinya sedang berdebat dengan penjaga pintu. Entah apa yang didebatkan, tetapi sepertinya mereka kalah suara karena saat ini tiga orang itu berjalan ke arah Wisnu.

"Ada apa, Mas, Mbak?" tanya Wisnu pada mereka.

"Mas, ngerasa aneh dengan suasananya nggak?" ujar perempuan berbaju krem.

"Hm, belum terlalu. Memang ada apa?"

"Masa kami dilarang keluar? Padahal kami sudah bilang kalau tidak jadi ikut seleksi." Perempuan berbaju krem itu mendengkus.

"Harusnya, mah, nggak apa-apa dong, ya? Kan nggak merugikan mereka juga." Seorang laki-laki berbaju dongker menanggapi.

"Loh, kenapa nggak boleh?" Wisnu penasaran.

"Nggak tau. Katanya harus wawancara dulu baru boleh keluar. Di mana-mana kalo seleksi kerja terus pelamarnya nggak jadi ngelamar, nggak ada larangan pergi kayak gini nggak, sih? Aneh."

"Mas mau coba keluar? Bilang mau ambil pesenan makanan gitu?" usul lelaki berbaju dongker pada Wisnu.

Belum sempat Wisnu menjawab, ponselnya bergetar. Telepon dari Naka. Ia mohon izin menepi sejenak dan membiarkan tiga orang pelamar tadi akhirnya naik ke lantai dua.

"Kenapa, Ka?"

"Sumpah, Nu. Lo nggak masuk ke gedung itu, kan?"

"Gue di dalem. Kenapa emang?"

"Sial! Lo cari cara buat keluar. Gue ke situ dalam 5 menit."

"Ka? Woi!"

Sayangnya, sambungan telepon Naka sudah terputus. Bulu kuduk Wisnu mulai meremang. Sepertinya memang ada yang tidak beres di sini. Wisnu pun mencoba menghampiri dua penjaga pintu itu pelan-pelan.

"Permisi, Mas. Saya izin ikut nunggu di sini, ya," ujar Wisnu dengan senyum termanisnya.

"Kenapa nggak naik?" tanya penjaga pintu yang rambutnya dikucir.

"Oh, saya nunggu pesenan makanan ini. Tadi sempet diminta sama bapak yang pidato pembukaan itu." Wisnu sangat berharap kebohongannya ini tidak menjadi dosa karena ia hanya ingin mencoba menyelamatkan diri.

Penjaga yang berjenggot mengerutkan dahi. "Pak Puri? Kenapa ke kamu? Biasanya kalo ada apa-apa nitip ke kami."

"Wah, saya nggak tau, ya, Mas."

"Udah, sana naik. Biar kami aja yang nunggu."

Wisnu memutar otak. "Nggak bisa, Mas. Kata bapaknya, siapa tadi? Pak Puri, ya? Iya, itu minta saya aja yang ambil sekalian anter ke atas."

Kedua penjaga bertatapan dan salah satunya mengangguk. Penjaga berkucir mengeluarkan ponsel. Tampaknya ia akan mengonfirmasi kebenaran perkataan Wisnu.

"Eh, Mas, nggak usah ditelpon Pak Puri-nya. Kan, lagi nyeleksi pelamar kerja. Nanti ganggu." Sejujurnya, suara Wisnu mulai sedikit bergetar karena tatapan kedua penjaga itu seperti sudah siap menerkamnya kapan pun.

Benar saja. Setelah dua penjaga itu kembali saling bertatapan dan menangguk, mereka mencengkeram tangan Wisnu. "Kurang pinter kamu kalo mau bohong. Ikut sini!"

Insting Wisnu untuk menyelamatkan diri membuatnya mengerahkan seluruh tenaga untuk melepaskan diri dari cengkeraman dua lelaki yang cukup kuat dengan postur tubuh yang hampir sama dengan Wisnu. Ia mensyukuri ilmu dasar taekwondo yang sempat dipelajarinya saat tahun pertama kuliah dulu—tidak dilanjutkan karena Wisnu terlalu malas berolahraga—sepertinya akan terpakai di saat-saat darurat seperti ini.

Sekilas Wisnu melihat jaket hijau dan motor yang sangat dikenalnya berhenti di depan pintu. "Santai, Mas. Bohong apa maksudnya? Itu pesenannya dateng, tuh."

"Kamu diem di sini."

"Eh, Pak Puri!" Teriakan Wisnu sukses membuat dua penjaga melihat ke arah tangga dan Wisnu memanfaatkan celah itu untuk mengeluarkan beberapa jurus taekwondo-nya. Menendang kaki, menepis tangan, dan tentu saja berlari sekuat tenaga untuk keluar dari gedung.

"Buruan! Gas dulu. Pergi dulu dari sini!" seru Wisnu pada Naka yang tiba tepat pada waktunya dan langsung tancap gas menjauhi gedung tua di gang sempit pinggiran Jakarta.

***

~1981 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro