13 || Dengan Membaca Bismillah...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mulai dari ketiduran di kamar Naka, mendengarkan curhatan manusia yang habis tumbang itu, sampai azan magrib berkumandang, belum juga Wisnu mendapatkan kabar dari Raka. Memang, sih, temannya itu tidak bilang akan datang ke kos di jam berapa. Hanya saja, Wisnu tidak tenang jika harus menunggu tanpa kepastian. Ia sudah menetapkan pilihan. Kalau Raka tidak kunjung datang dan membuatnya tanda tangan kontrak saat itu juga, bisa-bisa ego Wisnu kembali meninggi dan berubah pikiran.

Setelah menyiapkan makan malam dan memastikan Naka minum obat lagi, Wisnu pamit ke kamarnya. Ia mengetuk-ngetuk ponsel menunggu balasan dari Raka. Terakhir, ia mengirim pesan pada temannya untuk mengabari kalau sudah dalam perjalanan. Pesan itu terkirim di jam 12 siang dan belum ada tanda-tanda akan dibalas-Wisnu mematikan centang biru sehingga tidak tahu apakah pesannya sudah dibaca atau belum. Sebenarnya, ia bisa memastikan dengan mengirim pesan lagi atau menelepon Raka. Hanya saja, gengsinya membuat lelaki berkaus putih itu mengurungkan niat. Ia tidak mau terlihat memburu-buru, terlebih sebelumnya menolak dengan keras tawaran untuk kerja di bimbingan belajar.

Bosan menunggu, Wisnu pun mulai menyalakan laptop dan menjelajah internet. Ia mencari segala referensi tentang kurikulum pendidikan SMP sampai SMA, khususnya untuk pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kuliah di jurusan sastra bukan berarti memberinya kemudahan dalam menjadi seorang pengajar. Menjadi pengajar untuk remaja memiliki tantangannya sendiri. Kalau tantangan saat cari kerja di kantor adalah soal kesesuaian CV, keterampilan, dan saingan dengan orang dalam, tantangan menjadi pengajar siswa-siswi di usia remaja adalah kreativitas dalam mengajar materi-materi yang dianggap remeh oleh mereka.

Wisnu tidak pernah menganggap pelajaran bahasa sebagai pelajaran remeh dan mudah. Justru baginya, pelajaran bahasa apa pun, termasuk Bahasa Indonesia, lebih rumit dibandingkan pelajaran MIPA yang penuh dengan logika kepastian atau IPS yang bisa diakali dengan bacotan. Hanya saja, ia mulai menyadari bahwa dirinya adalah satu dari dua puluh sembilan yang berpikir demikian saat menyadari kalau tidak ada teman-temannya yang belajar sekeras itu untuk ulangan bahasa. Mungkin karena itu juga banyak orang yang meremehkan jurusan pilihannya di saat ia termasuk siswa yang memiliki nilai memuaskan dalam bidang MIPA.

Keputusan Wisnu untuk menerima tawaran menjadi pengajar bahasa di bimbingan belajar milik Raka hadir sesaat setelah muncul pikiran, "Gue harus bikin anak-anak paham kalau pelajaran bahasa sangat penting dan bisa jadi salah satu cara membuka masa depan yang cerah supaya nggak ada yang ngeremehin lagi!"-di samping karena ia tersadar kalau perlu segera mengisi kembali tabungannya saat melihat Naka tumbang.

Menyajikan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan menjadi PR bagi Wisnu yang tidak suka basa-basi dan sok asyik. Selama berkuliah pun, ia tidak pernah memikirkan cara supaya teman-temannya fokus dan memerhatikan dirinya saat presentasi di depan kelas. Toh, teman-temannya sudah pasti paham. Pun kalau tidak paham, itu urusan mereka masing-masing. Berbeda dengan mengajar anak sekolah. Ia punya tanggung jawab lebih untuk membuat mereka paham, terlebih dengan tujuannya untuk memunculkan rasa butuh dan penting terhadap pelajaran bahasa.

Kalau Naka yang sok asyik mungkin bisa. Dirinya? Sepertinya perlu menimbun pundi-pundi energi dan memutus urat malu dulu.

Azan isya berkumandang dan masih belum ada tanda-tanda kabar dari Raka. Wisnu yang awalnya bersemangat, mulai melemas. Ia berulang kali menarik napas dan mengajak dirinya untuk menurunkan ekspektasi sedikit demi sedikit. Setidaknya, ia bisa berusaha mengontrol ekspektasinya sendiri daripada harus meminta orang tua atau lingkungan yang menurunkan ekspektasi terhadap dirinya.

Sepanjang langkah ke kamar mandi-untuk mengambil air wudu-Wisnu merapal mantra, tenang, sabar, tahan, semua ada jalannya, semua ada waktunya, berulang kali. Ia sempatkan untuk mengecek kamar Naka dan mendapati lelaki yang tumbang itu tertidur dengan nyaman. Setelah memastikan kalau Naka masih bernapas, ia kembali ke kamar dan salat isya.

Mungkin Tuhan mendengar doa dan melihat kepasrahan Wisnu, beberapa saat setelah mengakhiri salat dengan salam, ponselnya berdering. Lelaki yang rambutnya masih basah itu menarik napas panjang sebelum menjawab panggilan dari Raka.

"Halo, Ka."

"Gue di depan. Bener, kan, ya tempatnya? Gue kirim foto tadi."

Wisnu mengecek pesan dari Raka dan mendapati kiriman gambar one-time-see. "Iya. Masuk aja ke ruang tamu. Gue baru selesai sholat."

"Eh, numpang sholat juga."

"Ya, bentar."

Wisnu menutup telepon dan menghampiri Raka yang ada di luar kos. Ia membiarkan sajadahnya tak dilipat karena akan dipakai oleh Raka. Setelah urusan wajib dengan Tuhan terselesaikan, barulah kedua bujang ini membahas urusan wajib duniawi di ruang tamu kos.

"Jadi, lo oke? Udah gue samperin nyampe sini, lho." Raka langsung memulai sesaat setelah keduanya duduk.

"Setdah. Pakai prolog dulu napa. Kaget gue tiba-tiba ditodong gitu."

Raka terkekeh. "Lo kan nggak suka basa-basi."

"Lo tau gitu tapi minta gue buat ngajar. Ngajar itu butuh skill basa-basi. Kok lo percaya sama gue."

"Darurat soalnya. Nggak ada yang lain. Kelas udah mulai minggu depan. Tadi udah proses atur-atur jadwal ngajar dan butuh kepastian lo buat bisa selesai semuanya di minggu ini. At least, pekan pertama aman dulu buat anak-anak yang sudah daftar bimbel."

"Berapa siswa?"

"Total ada 23. Kebagi jadi dua kelas buat SMP, dua kelas buat SMA."

"Wah, banyak juga," sahut Wisnu dengan alis terangkat.

"Lo ngeledek apa beneran?"

"Kenapa lo pikir itu ngeledek?"

Raka bergumam dan menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. "Nada bicara lo kayak ngeledek."

"Asumsi aja, lo. Beneran. Gue pikir bimbel yang baru buka gitu paling cuma punya dua kelas aja. Terus, siswanya nggak lebih dari sepuluh."

"Ya, alhamdulillah. Lo juga terlibat jadi bagian yang bikin banyak siswa mau daftar."

"Maksud lo?"

Raka tersenyum. "Sebenernya, yang mau daftar lebih dari itu. Tapi, kelas udah full jadi gue nggak bisa nerima lebih dari jumlah tadi. Kecuali, gue cari pengajar tambahan dan tempat baru biar kelasnya bisa lebih gede. Lo liat, kan, kemarin ruang kelasnya cukup buat maksimal 6 orang. Itu pun engap. Jadi-"

"Bukan. Maksud lo gue terlibat apa? Karena gue ikut bantuin video promosi?" Wisnu tidak peduli dengan urusan berapa kelas dan berapa maksimal siswa yang bisa diterima oleh bimbingan belajar milik Raka. Hatinya hanya tergugah dengan keterlibatan yang disampaikan oleh Raka.

"Ah, elah. Lo peduli sama itu doang."

"Ya, siapa tau bisa jadi alasan buat gue beneran nerima tawaran lo."

"Pride lo tinggi, ya?"

"Nyadar juga."

Keduanya tertawa ringan. Mungkin tawa itulah yang membangunkan si lelaki tumbang dari kamar nomor enam.

"Ngapain, Nu?"

Wisnu tersentak dengan kehadiran Naka. Bukan karena suara serak Naka yang seperti motor soak, tetapi karena saat Wisnu menengok ke sumber suara dan mendapati seorang lelaki jangkung dengan rambut gondrong yang menutupi seluruh wajah.

"Gila lu, Ka!" Wisnu meneriaki Naka, tetapi Raka ikut menoleh. Maklum, keduanya punya suku kata yang sama di akhir namanya. "Lo bisa kena gampar Ayu kalo jalan dengan rambut kek gitu. Muka lo mana, heh?"

Naka mengusap rambutnya ke belakang dan nyengir. "Sori. Masih ngumpulin nyawa."

"Ngumpulin nyawa tuh di kamar. Jangan sambil jalan."

Kaki Raka menyenggol kaki Wisnu. Raka bertanya dengan menggerakkan bibirnya tanpa suara, Itu siapa?

"Naka, ini Raka. Raka ini Naka. Gue bingung kenapa nama kalian beda di huruf pertama doang, tapi silakan kenalan. Naka ini kuncen kos sini. Raka ini teman gue yang nawarin kerjaan di bimbel."

"Lo jadi ngajar di bimbel?" Naka melotot dan terlihat girang.

"Lo duduk dulu. Gue belum selesai negosiasi sama CEO-nya."

"Anjir, CEO banget nggak, tuh?" celetuk Raka dengan tawa senang.

Setelah Naka duduk dan kesadarannya pulih sepenuhnya, Wisnu mengembalikan topik pembicaraan tadi. "Jadi, keterlibatan gue maksudnya apa, Ka?"

Dua orang di samping Wisnu sama-sama ber-hah ria.

"Raka maksudnya. Lo diem aja, Naka. Gue nggak lagi ngomong sama elo."

"Bentar, gue ketawa dulu 10 detik," sahut Raka sebelum akhirnya melanjutkan. "Iya. Jadi, pertanyaan pertama mayoritas pendaftar bimbel itu nanyain yang namanya Kak Wisnu bakal ngajar atau enggak. Pas gue bilang kalo lo nanti ada jadwal khusus, nggak jadi pengajar utama, mereka pada rekues buat lo ngajar. Dan gue heran, kayaknya anak jaman sekarang mulai blak-blakan, ya."

"Blak-blakan gimana?"

"Ya, pas gue tanya kenapa pengen lo ngajar, katanya Kalo pengajarnya ganteng dan asyik, jadi semangat buat belajar."

"Anah, kayak gini ganteng?" Naka mencibir.

"Gue juga bingung, gantengnya dari mana. Masih mending gue." Raka menimpali.

"Gue doang yang dibilang ganteng?"

"Kagak, sih. Pengajar gue, kan, masih muda-muda. Cuma, mereka udah tertulis sebagai pengajar tetap di video promosi. Beda sama elo yang tulisannya Guest Teacher."

Wisnu mengangguk-angguk.

"Jadi, deal nggak, nih? Lo udah punya modal buat narik siswa. Tinggal upgrade skill ngajar lo aja biar nggak modal tampang sama otak doang."

"Pedes juga omongan lo. Tapi bener, sih. Wisnu ini otaknya oke, tapi gue nggak yakin dia bisa sabar kalo ngajar anak sekolah. Kesabarannya setipis debu," cerocos Naka.

"Tenang. Akhir pekan ini gue mau ngadain pelatihan micro-teaching. Semua pengajar wajib ikut sebelum mulai kelas pertama di hari Selasa."

Wisnu mengerutkan dahi. "Lho, bukan Senin?"

"Nggak ada yang mau hari Senin. Katanya, biar hari Senin nggak semakin jadi momok menyeramkan. Jadi gue mulai pilihan hari les di hari Selasa."

"Oh, gitu."

"Nu, lo deal dulu baru gue jelasin lengkapnya."

"Bayaran aman nggak?" Akhirnya Wisnu sampai pada pertanyaan ini.

Raka mengeluarkan surat kontrak pengajar. Di sana sudah tercantum hak dan kewajiban dari pengajar, serta hal-hal khusus yang perlu diperhatikan berkaitan dengan perizinan dan cuti. Wisnu membacanya dengan seksama, terutama bagian hak yang mencantumkan honorarium pengajar.

"Honornya bukan bulanan, tapi per jam ngajar. Karena masih baru, gue matok di angka 35ribu per sesi ngajar atau konsultasi pelajaran. Satu sesi 60 menit, sehari maksimal ada tiga sesi. Tinggal lo itung saja perkiraan pendapatan bulanan lo berapa."

Kerutan di dahi Wisnu semakin banyak. Berkat kemampuan kalkulasinya yang cepat, ia langsung melotot dan berseru, "Buset, tujuh jutaan buat sebulan. Ini mah namanya gue lebih kaya daripada budak korporat!"

"Tujuh jutaan dibagi dua. Sekitar tiga setengah, lah." Raka meralat hitungan Wisnu.

"Lho kok gitu?"

"Ya, tujuh jutaan kalo dalam sebulan lo ngajar tiap hari. Kan, mata pelajaran nggak lo doang. Ada gilirannya. Tapi lumayan, lah. Lo nggak kerja from eight to five, tapi dapet gaji kayak budak korporat yang from eight to five."

"Hm, iya, sih."

"So? Deal?"

Wisnu tidak langsung menjawab dan masih membaca ulang klausa-klausa dari surat kontrak. Ia mencari klausa yang mungkin dapat merugikannya supaya bisa jadi alasan menolak, tetapi sungguh, semuanya menarik sebagai pekerjaan pertama. Bayaran sesuai jam kerja pun, menurutnya, sangat menghargai pengajar karena dibayar sesuai bebannya. Mungkin, satu klausa yang membuat Wisnu ragu untuk segera menjawab adalah klausa tentang larangan bekerja di lembaga bimbingan belajar lain dan kewajiban untuk ikut dalam pengembangan modul pembelajaran.

"Boi, lama banget lo mikir. Langsung terima aja. Kapan lagi lo dapet kontrak kerja semanusiawi ini?" Naka menepuk pundak Wisnu.

Wisnu mengetuk-ngetuk jarinya di lembaran surat kontrak itu. Sebenarnya, ia paham alasan dilarangnya bekerja di bimbingan belajar lain. Mungkin, supaya fokus untuk pengembangan bimbingan belajar milik Raka yang masih baru ini. Atau bisa juga berkaitan dengan larangan menggunakan modul belajar di luar bimbingan belajar ini. Pun terkait pengembangan modul, ya, karena masih baru dan pengajarnya belum banyak jadi perlu bantuan dengan sumber daya yang ada dulu.

Wisnu paham. Hanya, ia ragu bisa benar-benar membantu. Skill mengajarnya saja belum tentu bisa menaikkan kualitas bimbingan belajar. Malah ditambah kewajiban dalam hal pengembangan modul juga.

Tapi, kalo belum dicoba nggak bakal tau ujungnya, kan? bisik hati Wisnu menguatkan.

"Butuh waktu mikir dulu, Nu? Kalo butuh, lo bisa-"

"Ada pulpen?" potong Wisnu.

Raka mengambil pulpen di saku kemejanya dan menyerahkan pada Wisnu.

Wisnu meletakkan surat kontrak itu dan membuka lembar terakhir. Sudah ada tanda tangan Raka di sisi kiri. Sudah tertempel pula materai sepuluh ribu sehingga Wisnu tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli materai dulu. Tanpa ragu, lelaki berkaus putih ini langsung menggerakkan tangannya untuk tanda tangan di atas materai, tetapi Naka menahan tangannya.

"Gue pernah denger, katanya, jangan lupa baca doa sebelum memulai sesuatu."

"Apa? Bismillah?"

"Nah. Jangan lupa baca bismillah biar Tuhan berkatin elo dan kerjaan baru lo."

Wisnu tertawa. "Udah. Dalam hati."

Naka pun mengangguk dengan wajah serius dan melepaskan tangan Wisnu.

Malam itu, dengan membaca basmallah, resmi sudah Wisnu mendapatkan pekerjaan pertamanya tanpa harus mengantre wawancara apalagi disuruh membayar uang muka supaya diterima kerja.

"Semoga kita bisa kerja sama dengan baik. Nanti gue masukin grup pengajar buat info lebih lanjut terkait pelatihan micro-teaching dan info lainnya. Thanks a lot, Wisnu." Raka mengulurkan tangan kanannya.

Wisnu menjabat tangan itu. "Gue yang makasih banyak. Makasih, Ka. Kali ini buat kalian berdua, Raka dan Naka."

***

~2034 words~

Akhirnya kerja juga ya, Bang :")
.
.
.

Jadi, ini Raka. Gantengan Raka atau Wisnu, ya?

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro