16 || Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa kali Wisnu menguap. Meski kedua matanya terus menerus berair, ia tetap menyibukkan lensa matanya untuk menangkap tulisan-tulisan dalam buku yang ada di atas meja. Jemarinya memijit-mijit pangkal hidung, dekat mata, dengan harapan rasa kantuk dan pusing yang mulai datang segera hilang. Dua puluh menit lagi ia harus masuk kelas dan mengajar sesi pertama kelasnya hari ini.

"Kopi, Nu?"

Raka, pemilik suara yang dikenal Wisnu itu duduk di hadapannya. Wisnu menutup buku yang sedari tadi dibaca dan tersenyum tipis. "Gue belum sarapan. Takut sakit perut kalo ngopi sekarang."

"Kayaknya lo lemes banget hari ini. Sakit?"

Wisnu menggeleng. "Habis bantuin Naka nggambar semaleman. Pagi ini dia seminar proposal buat skripsinya."

"Oh! Naka temen kosan lo itu. Gue kira udah lulus kuliah. Terus itu pipi lo aman?"

"Pipi gue kenapa?"

"Kayak orang sakit gigi."

Wisnu tertawa. "Aman. Gue merem bentar, ya. Tolong bangunin 10 menit lagi."

Setelah mendapat anggukan dari Raka, Wisnu pun memejamkan matanya sejenak dan meletakkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja, berharap bisa tidur barang sebentar saja. Namun, ia tahu bahwa pikirannya terus menerus berisik. Terlebih kata-kata Bapak yang terus terngiang di telinga, diiringi suara berdenging pasca pipinya kena tampar.

Dahi Wisnu berkerut. Ia tetap kesulitan menenangkan pikiran yang semakin tidak keruan itu. Alhasil, dengan posisi yang tidak berubah, ia pun membuka mata dan menghela napas panjang.

"Heh, belum ada tiga menit."

"Pikiran sama kuping gue berasa berisik banget," lirih Wisnu samar-samar.

"Hah? Nggak denger." Raka memajukan tubuhnya. "Eh buset, lo jangan bangun tiba-tiba gitu napa. Hampir aja dagu gue kena."

Wisnu mengedipkan matanya beberapa kali. "Sorry."

"Lo beneran nggak apa-apa?"

Wisnu terdiam. Meski ia sebenarnya ingin menceritakan semuanya—tentang pertengkarannya dengan bapaknya, tentang tamparan itu, dan tentang keputusannya mengajar di bimbingan belajar—ia tidak bisa. Salah satunya karena ia merasa tidak enak dengan Raka yang sudah dengan baik hati menerimanya bekerja di bimbingan belajar ini. Kalau bukan karena temannya itu, mungkin ia akan lebih merasa tidak berguna karena tidak memiliki pemasukan sama sekali dan Bapak tentu akan semakin malu dengan dirinya. Maka, ia hanya mengangguk pelan, mencoba mengakhiri percakapan itu. "Makasih, Ka. Tapi nggak apa-apa. Gue kecapekan aja. Mending langsung masuk kelas, deh. Gue ke kelas, ya. Sekalian nyiapin materi."

Tanpa menatap Raka, lelaki yang pipinya sedikit bengkak karena tamparan bapaknya itu bergegas mengambil tas, presensi siswa, dan masuk kelas.

Usai membuka laptop dan mengecek ulang materi belajar hari ini, Wisnu kembali melamun, menanggapi segala tanya yang muncul, dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ia lakukan ke depannya. Wisnu memejamkan mata sejenak, dan kembali melihat kejadian kemarin sore. Dadanya kembali sesak, pipinya kembali terasa panas. Berulang kali ia mencoba meredakan rasa sesak di dadanya dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan, tetapi tidak kunjung berkurang.

"Wah, Kak Wisnu lagi ngapain? Kelas belum mulai, kan?"

Suara salah satu siswanya yang baru datang membuat Wisnu membuka mata. Tanpa ia sadari, senyumnya lantas hadir di wajah yang sendu sejak awal hari. Di hadapannya, duduk seorang siswa kelas 7 SMP yang dengan semangat mengeluarkan buku pelajaran dan mengerjakan soal dengan wajah riang.

"Wah, Dian rajin banget baru nyampe udah ngerjain soal aja. Ada PR?" tanya Wisnu merespons sapaan siswanya tadi.

Siswa berambut pendek itu menggeleng. "Enggak. Aku lagi suka ngerjain matema—eh, Kak, nggak apa-apa, kan, ya, aku ngerjain matematika dulu?"

Wisnu tertawa pelan. "Ya, nggak apa-apa, dong. Seneng, deh, lihatnya. Biasanya temen-temenmu paling nggak suka, kan, belajar matematika. Apa yang asyik dari matematika?"

"Hmm, asyik aja. Aku suka ngitung aja, Kak. Kayak, penasaran gitu setelah ini akan ada soal yang kayak gimana lagi. Caranya bisa pakai cara yang sama atau enggak. Cuma, yang aku suka, jawabannya pasti ada dua."

"Dua?"

"Iya. Kalo nggak bener, pasti salah. Nggak ada di tengah-tengah gitu. Jadi, aku tau mana yang perlu dibenerin."

Entah mengapa Wisnu merasa seperti ada yang mencubit hatinya. Nyelekit, tetapi tidak sakit. Justru rasa sesak di dadanya tiba-tiba menghilang. Ia tertegun.

Ah... Gue tau...

Mungkin karena dalam hidup ini jawaban benar atau salah tidak ada yang pasti, semuanya bisa menjadi benar dan bisa menjadi salah tergantung pada cara dirinya memandang jawaban itu. Selama ini, Wisnu mudah untuk kembali bingung karena ia masih mudah terpengaruh pada jawaban benar dan salah atas pandangan orang tuanya. Ketakutannya dipandang salah pun membuat lelaki beralis tebal ini tidak berani tegas mengatakan keputusan pilihan hidupnya pada orang tuanya. Termasuk memilih mengajar bimbingan belajar sebagai salah satu batu loncatan untuk hal-hal lain yang sudah ia rencanakan.

Bagaimanapun juga, Wisnu tetap perlu untuk terus maju dan yakin dengan pilihan yang ia rasa benar. Toh, pilihan itu akan terus benar selama ia tidak melenceng dari tujuan hidupnya. Ia sudah berkomitmen untuk bekerja di bimbel ini, dan setidaknya ia merasa damai saat mengajar. Belum lagi kesempatan menjadi penerjemah di tempat kerja Icha. Masih banyak kesempatan dan masih banyak kemungkinan jawaban benar untuk dirinya.

Wajah Wisnu kembali menemukan cahayanya. Ia memandang Dian, dan siswa-siswinya yang mulai berdatangan. Dalam hati kecilnya, ia sangat berterima kasih pada Tuhan karena bertemu dengan para siswa dan bekerja di bimbingan belajar membuatnya mendapat sentilan-sentilan tak terduga yang dibutuhkannya untuk kembali meyakini pilihan hidupnya.

Selalu ada jalan, Wisnu. Tenang. Ada Allah, batin Wisnu sambil mengelus dada, lalu memulai sesi mengajarnya dengan senyum lebar.

***

Wisnu merasa energi dan semangatnya kembali terisi pasca mengajar dua sesi. Dengan mata yang berbinar, ia kembali ke ruang pengajar dan melihat Raka yang sedang menatap layar laptop dengan dahi berkerut. "Serius amat, Bro!"

"Ngerapiin presentasi buat pitching ke sponsor, nih. Lo tau, kan, kita masih kudu narik sponsor biar bisa ngegaji kalian semua."

"Taulah. Lagian, lo baik banget ngasih harga bimbel di bawah harga normal bimbel lain. Judulnya beramal, tapi, baguslah, Ka. Lo kan emang passion banget di sini, gue paham banget lo lebih prioritasin benefit buat siswa, kan, daripada untungnya buat lo."

"Nggak salah, sih," ujar Raka sambil tertawa. Ia lantas menatap Wisnu yang sedang fokus ke layar ponsel. "Ngomong-ngomong, kesambet apa, lo? Tadi kayak orang patah hati, sekarang kayak lamaran habis diterima."

"No problem. Semua ada jalan, Raka. Semangat pitching-nya besok. Gue balik dulu buat ngerayain sohib kelar seminar proposal!"

Wisnu langsung meninggalkan ruang pengajar setelah menerima balasan pesan dari Naka. Sebenarnya, ia juga terpikir untuk mengadakan kejutan perayaan kecil-kecilan untuk mengapresiasi usaha teman-rasa-sahabatnya itu yang, akhirnya, bisa menyelesaikan seminar proposal. Meskipun perjalanan Naka masih (agak) panjang, setidaknya ada angin segar untuk teman-rasa-sahabatnya itu.

Sepanjang perjalanan, di atas motor ojek online yang mengantar tentunya, jari-jari Wisnu sibuk mengetik dan membalas pesan-pesan dari Bu Endang, Bang Ilham, dan beberapa anak kos yang ia buatkan grup khusus membuat kejutan untuk Naka. Namun, sesampainya di depan kos, ia justru melihat salah satu penghuni kos keluar membawa koper dan tas besar.

"Iqbal? Mau pulang kampung?"

Lelaki dengan rambut berantakan itu berhenti dan menatap Wisnu lama. Tatapannya hangat, tetapi terasa menyakitkan untuk dipandang.

"Bal, kamu nggak apa-apa?"

"Mas, makasih, ya, buat semuanya. Titip salam buat penghuni kos lain. Iqbal pamit dulu," ucapnya lembut dengan senyuman khas yang bisa membuat hati bergetar.

"Hah? Pamit?"

"Iya. Iqbal pulang kampung, tapi nggak akan ke sini lagi. Maaf, ya, Mas, kalo selama ini banyak salah. Semoga Mas Wisnu dan semua anak kos Bu Endang sehat-sehat." Iqbal kembali menarik kopernya keluar halaman kos, tetapi berhenti dan berbalik. "Oh, iya. Titip ucapin selamat buat Bang Naka. Semoga cepet lulus biar nggak jadi mahasiswa tua abadi, ya!"

Wisnu telanjur shock dan tubuhnya kaku. Ia hanya bisa memandang punggung salah satu adik kos-nya, yang sudah seperti adik sendiri itu, berlalu dan menghilang dari pandangan. Ketika kesadarannya kembali, lelaki yang mulutnya menganga beberapa detik itu sudah tidak memiliki kesempatan untuk memanggil Iqbal dan menanyakan sebab sebenarnya Iqbal pulang kampung tiba-tiba. Tidak. Hari macam apa ini?

Sontak Wisnu mengetik pesan ke Naka, memintanya segera kembali ke kos apabila sudah tidak mengantar pelanggan ojek. Persetan kejutan-kejutan. Sejak beberapa waktu lalu ia sudah merasa ada yang tidak beres dengan penghuni kos dan Naka pun seperti ragu untuk menyampaikan sesuatu padanya. Rasa bersalah Wisnu kembali hadir. Dalam pikirannya saat ini hanyalah menginterogasi Naka tentang semua hal yang sedari kemarin seperti disembunyikan darinya. Apakah kepergian Iqbal termasuk di dalamnya?

Awas aja, lo nggak cerita semuanya ke gue, Ka.

***

~1341 words~

Haii... Apa kabar?

Akhirnya setelah sekian lama, Wisnu balik beneran waaa!! Jujurly, aku kangen banget nulis cerita ini dan alhamdulillah bisa balik lagi ><

Sebagai hadiah kembalinya Wisnu, mari kita lihat ketampanan Wisnu walau mukanya capek bin pusing bin bingung aja terus wkwkwk

Wisnu menatap masa depan. Semoga secerah bintang yang selalu ada bersama bulan 💙

Terima kasih sudah mampir. Dukung terus cerita Bunga Ilalang dan cerita penghuni Kos Bu Endang lainnya, ya!

luv,
anisaanza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro