Bagian XII : Sick

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jungkook melangkah dengan cepat memasuki kantornya. Ia sudah rapi dengan setelah jas berwarna abu-abu bersama Dohyun yang mengekor di belakang—terlihat frustrasi karena Jungkook yang seperti pribadi yang berbeda. Jika Dohyun merasa seperti itu, maka Jungkook mengiyakannya. Pikirannya benar-benar berkecamuk—penuh dan berputar tentang Shin Jihyo.

Walau mereka tidak melakukannya ketahap lebih jauh, entah apa yang Jihyo lakukan tetapi Jungkook merasa tidak nyaman. Ia sangat gelisah. Lebih mengarah pada suasana hatinya sebenarnya tidak terlalu membaik.

"Dohyun, apa agenda hari ini?" Jungkook mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Sedikit sulit, tetapi ia ingin keluar dari bayang-bayang itu untuk sementara waktu.

Dohyun lekas menyalakan IPad. "Ada rapat dengan beberapa petinggi sebelum melanjukkan proyek dengan mengadakan pertemuan penting dengan masing-masing perwakilan divisi," ucap Dohyun yang membaca keseluruhan agenda hari ini.

Jungkook mengangguk paham. Ya, ia merasa harus fokus dengan garapan proyek besar yang akan dilakukannya. Hanya saja, kenapa ia merasa jika nanti terasa cukup berat untuk di lalui? Apa karena pikirannya yang masih bertanya-tanya soal Jihyo? Atau tentang sang ayah yang mendesak melakukan pertunangan juga pernikahan dengan Hyena? Seperti memang begitu.

Di dalam lift, Jungkook menghembuskan napas. Ia mengamati pantofel miliknya. "Dohyun, bagaimana data yang kuperlukan tentang Jihyo? Bagaimana dia bisa keluar dari panti asuhan dan merubah marga hingga data-data lainnya?" tanya Jungkook begitu saja. Tiba-tiba, ia ingin tahu dan memang benar begitu.

"Hm ... saya masih berusaha melakukan pencarian terkait itu. Orang yang saya kirim masih menelusuri ke instansi kependudukan," ucap Dohyun yang membuat Jungkook mengangguk.

"Kerja bagus. Beli semua data yang diperlukan." Bagi Jungkook, tidak masalah mengeluarkan banyak uang jika itu terkait dengan apa yang ia cari. Bagaimana pun caranya, ia harus tahu tanpa bertanya pada Jihyo. Mengingat, Jihyo yang bahkan tidak mengaku tentang jati dirinya. Mana mungkin secara suka rela membagi informasi dengan musuh?

Musuh? Jungkook tersenyum miring. Ia merasa tidak memiliki kesalahan. Malah, Jihyo yang pergi saat berjanji mereka akan bertemu. Bukankah seharusnya ialah yang merasa kesal dan marah? Jika pun begitu, Jungkook tidak akan sampai melayangkan tatapan permusuhan hingga ingin melakukan balas dendam. Jelas, masalah ini begitu berbeda dan Jungkook berusaha untuk mencari informasi—sekecil apapun itu.

Perlahan, pintu lift terbuka. Langsung menuju di area lantai kekuasaannya. Dohyun masih senantiasa mengekor bagai anak ayam pada induknya.

"Presdir ...." Sang empu hanya membalas dengan sapaan seraya membuka pintu ruangannya dengan pin akses. Walau terlihat tidak peduli, tetapi ia menantikan kelanjutan dari perkataan Dohyun.

"Nona Hyena selalu menghubungi saya terkait anda yang memblokir akses pertemuan. Jika anda tetap seperti itu, ia tidak akan segan-segan melapor kepada Tuan Minhyuk," ucap Dohyun yang mengamati sang atasan yang tengah berdiri di sisi dinding berbahan full kaca yang bisa dengan jelas mengamati pemandangan kota Seoul yang mulai padat akan aktivitas masyarakat.

Jungkook yang mendengar informasi itu dibuat sebal. Ya, Hyena memang salah satu gadis tidak tahu diri. Entah apa yang ia inginkan sehingga begitu gencar mendekati untuk masalah pernikahan. Hei, Jungkook sudah menetapkan jika tidak ada pernikahan di antara mereka dan nyatanya memang seperti—sampai kapan pun.

"Katakan aku tidak takut. Terserah dia ingin melakukan apapun," ucap Jungkook yang melihat Dohyun menghela napas, tetapi mengangguk menandakan ia akan melakukan perintah itu. Jungkook diam mengamati Dohyun. Kembali, ia malah mengingat Jihyo setelah gadis itu pergi begitu saja. Bahkan tak mengirimkan pesan apapun.

"Dohyun!" Jungkook memanggil yang membuat sang empu mengerjapkan mata, menantikan perkataan Jungkook selanjutnya. "Suruh Shin Jihyo ke ruanganku! Aku harus berbicara beberapa hal dengannya!"

Walau tidak masuk akal karena menyuruh staf yang masih baru dengan skandal yang menyeret mereka, tetapi Jungkook tidak peduli. Ia ingin melihat Jihyo, sampai mana dia melakukan perannya.

"Tetapi Presdir, hari ini, Nona Shin Jihyo tidak masuk. Saya baru saja mendapatkan kiriman data para pekerja yang tidak masuk dan tertera nama Nona Shin Jihyo yang sedang sakit," ucap Dohyun terlihat bingung akan perintah yang Jungkook berikan tetapi kembali, ia berusaha netral—tidak ingin keluar dari batasannya. Masalah data-data itu, Dohyun memang bekerja sama dengan Ketua HRD untuk kepentingan perusahaan karena secara langsung dan setiap pekan, Dohyun akan membuat laporan mengenai kinerja seluruh pekerja yang ada.

Jungkook yang hendak melangkah ke kursi kebasarannya dibuat menaikkan sebelah alis. Langkah dan keinginannya tertahan. Ia jelas bingung. Jihyo sakit? Apa yang terjadi pada dirinya? Bukankah semalam mereka tidak melakukan hal itu? Jungkook sendiri bisa yakin walau merasa aneh pada bagian itunya sendiri.

Kali ini, apa yang kau rencanakan Jihyo? Apa kau benar-benar sakit?

Jungkook kebingungan, tetapi langsung menoleh ke arah Dohyun. "Setelah rapat dengan petinggi, kosongkan waktuku selama beberapa jam ke depan dan buat pertemuan antar perwakilan divisi saat sore nanti. Aku akan ke suatu tempat sebelum makan siang."

***

Ringisan lolos begitu saja dibibir Jihyo saat ia duduk di atas sofa kamarnya. Rasanya bahkan ia ingin mengumpat karena merasakan nyeri pada area paha dengan selangkang juga sedikit bagian pantat karena terjatuh dari kamar mandi, saat ia bersiap-siap untuk menyapa dunia dengan pergi bekerja. Alhasil, ia tidak masuk ke kantor. Lagipula, rasanya tidak akan begitu nyaman. Selain susah untuk bekerja karena jelas ia merasak nyeri saat duduk, Jihyo juga menghadapi fakta bahwa dirinya berjalan sedikit mengangkang. Seakan ia sudah melakukan itu padahal semalam tidak ada yang terjadi.

"Ini mungkin karma, tetapi siapa yang peduli? Anggap saja Tuhan berpihak kepadaku dan seakan membuatku sulit berjalan karena itu. Setidaknya, aku tidak perlu akting karena memang benar-benar sakit."

Ia sebenarnya tidak percaya saja. Hal seperti ini terjadi kepadanya. Bayangkan, bagaimana Hera menertawainya. Anak itu memang sangat menyebalkan. Hanya saja, Jihyo merasa bosan jika tidak melakukan apapun. Ia sudah mengajukan surat sakit dan tidak membantu Hera di toko membuat Jihyo tidak tenang, tetapi dengan kondisi seperti ini? Memangnya apa yang bisa ia lakukan?

"Sudahlah, aku lebih baik beristirahat saja." Jihyo bergumam seraya bangkit. Ringisan  itu kembali lolos di mulutnya. Perlahan, ia berjalan ke arah kasur. Ia memilih untuk memejamkan mata, tetapi tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu kamarnya.

"Kak Jihyo, ini aku!"

"Masuklah, Hera. Aku lupa menguncinya," ucap Jihyo sembari memegangi pinggul. Ia menoleh ke arah pintu kamar dan mendapati eksistensi Hera yang tersenyum canggung. Awalnya Jihyo ingin mengatakan beberapa hal, tetapi melihat sosok di belakang Hera membuat Jihyo mengerjapkan mata tidak percaya. Bibirnya tiba-tiba saja terkunci.

"Pres—presdir ada di sini? Maksud saya ...." Jihyo tidak melanjutkan perkataannya. Sungguh, tidak menyangka dan tidak membayangkan jika Jungkook benar-benar datang ke tempatnya.

Hera yang langsung Jihyo tatap tersenyum canggung. "Aku harus ke lantai bawah. Banyak hal harus di kerjakan. Aku juga akan membawa beberapa camilan," ucap Hera yang langsung pergi tanpa menantikan balasan Jihyo. Seakan ia paham jika tak masalah Jihyo ditinggalkan—hanya berdua dengan seorang pria dewasa tatkala Hera mengenal Jihyo'lah yang mengambil peran.

Jihyo mendengus sebal. Memanggil juga tidak ada gunanya karena Hera langsung pergi, bahkan sambil menutup pintu. Sialan, dia memang menjengkelkan!

"Hm, aku hanya mampir sebentar sambil membawa ini. Ada pertemuan di dekat sini," ucap Jungkook yang memecah lamunan Jihyo yang masih mengarah pada pintu. Jihyo mendadak mati kuku, dengan spontan mengusap lehernya untuk melampiaskan dirinya yang entah kenapa salah tingkah.

"Seharusnya Presdir tidak perlu repot-repot. Saya baik-baik saja. Ya, hanya sedikit sakit," ucap Jihyo yang mengamati Jungkook menaruh bingkisan buah di atas meja. Seakan yakin jika Jihyo memang tidak bisa menerimanya. Ia seperti titisan nenek bungkuk.

Jungkook lantas kembali pada posisinya, mengamati Jihyo dengan lekat. Keduanya saling melempar tatapan, masih berdiri dengan sesekali Jihyo meringis kesakitan. Seharusnya dia tidak datang! Bagaimana bisa dia berpikir melakukannya? Jihyo tidak paham, tetapi ia memilih berusaha untuk tenang. Menyuruh Jungkook untuk duduk di sofa sebagai bentuk kesopanannya walau hanya berdua di kamar ini juga terasa menegangkan.

"Soal dirimu. Maksudku, hanya ingin memastikan, apa aku benar-benar melakukan itu? Aku sama sekali tidak mengingat satupun," tanya Jungkook langsung yang membuat Jihyo memalingkan tubuh. Akan tetapi, Jihyo merasa Jungkook melangkah—mendekat ke arahnya. "Katakan, apa kesakitanmu ini karena semalam? Ya, aku memang melihat cairan merah. Jelas itu milikmu, bukan?"

Jihyo masih memalingkan wajah, tetapi langsung saja menoleh ke arah Jungkook. Senyum sontak terbit di wajah manisnya yang begitu natural—tanpa menggunakan riasan dan ia bahkan memilih mengenakan piyama. "Lupakan saja soal semalam, Presdir. Tenang, saya tidak akan melakukan apapun atau bahkan menuntut Presdir. Semalam adalah kesalahan dan saya tidak lupa jika Presdir adalah calon suami seseorang," ucap Jihyo terlihat berusaha tegar menerima sebuah fakta yang bagi beberapa orang di posisinya akan memberontak.

Keduanya masih saling bersitatap. Jihyo dapat melihat kerutan di dahi Jungkook, seakan memiliki pemikiran sendiri hingga Jihyo melihat Jungkook tertawa seraya memberikan tepukan pelan pada dahinya. "Ini kesan pertama bagimu dan itu juga pertama bagiku, Nona Jihyo. Kita melakukannya tanpa pengaman, bukan? Bagaimana jika kalau kau hamil."

Jihyo mengerjapkan mata. Sedikit merasakan aura intimidasi Jungkook yang seketika menghentikan tawa. Sorot matanya begitu tajam, seakan menyayat seluruh tubuh Jihyo. Dalam situasi sekarang, Jihyo merasa dirinya membeku, tetapi berusaha agar tetap tenang—senyum ia terbitkan walau begitu tipis. "Hamil, ya? Jika pun iya, itu akan menjadi urusan saya, Presdir. Seperti yang saya katakan, Presdir tidak perlu berpikir sampai sana—"

"Bagaimana bisa aku tidak berpikir sampai sana jika kau selalu saja menari di kepalaku, Jihyo?" Sembari jemari kekar Jungkook terulur, mengusap pipi Jihyo dengan lembut. Jemari dingin itu, membuat Jihyo tersengat. Matanya spontan terpejam—seolah-olah menikmati sentuhan yang dibuat oleh Jungkook. "Dengarkan aku, kau tidak perlu memikirkan soal rumor pernikahan mengenai diriku karena itu tidak akan terjadi. Dan mengenai jika kau tiba-tiba hamil, bukankah sebagai pria sejati perlu bertanggung jawab?"

Jihyo spontan membuka mata. Ternyata, Jungkook semakin dekat dengannya. Pantas saja, helaan napas Jungkook terasa menerpa wajahnya. Tatapan itu pun saat ini seakan menelan Jihyo bulat-bulat. "Presdir ..."

"Apa yang terjadi bukanlah kesalahanmu. Ini salahku dan aku akan melakukan hal yang memang seharusnya. Aku membuatmu hancur, bukan? Jadi, izinkan aku memperbaiki semua kesalahan itu karena kau memang berhak mendapatkannya. Kebahagiaan dan kedamaian hidup ...."

Mendengarnya, membuat Jihyo tidak bisa berkata-kata. Seluruh kinerja sarafnya seakan dipaksa berhenti. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Jungkook katakan. Bahkan, tatapan itu, Jihyo tidak mengerti maksudnya. Apa dia benar ingin melakukan hal itu? Tetapi kenapa?

Hola, aku update 💃 Senang banget sih karena aku ternyata bisa produktif, mau cepat tamatin ini biar bisa gas nulis yg lain 💃

Sabar yang nunggu mereka nganu🌚🤣

See u pokoknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro