Sudut Pandang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga puluh menit sudah, berulang kali Ilhoon memanjangkan kepala demi melongok ke dalam gedung besar di depannya. Sementara Hyunsik yang sudah berada dalam mobil bersama Peniel memerhatikan gerak saudaranya itu.

Beberapa saat, karena mata Hyunsik lelah melihat Ilhoon, ditambah tidak ingin keluar lagi dari mobil segera menekan nomor Ilhoon dari ponsel yang kebetulan dirinya pegang.

"Ya, Hyung?" Ilhoon menerima telepon seraya menoleh ke arah mobil van di tempat parkir sudut. Baru hendak bertanya 'ada apa', Hyunsik sudah menyembur kalimat duluan.

"Hoon cepat masuk mobil, kalau tidak angin yang akan memasuki tubuhmu!"

"Sebentar lagi. Tunggu Sungjae," balas Ilhoon. Kepalanya kembali melongok ke dalam gedung.

"Tunggunya di dalam mobil saja." Nada bicara Hyunsik ini terdengar membujuk, tetapi seseorang yang tengah dibujuk berkepala batu.

"Tidak, aku mau menunggu di sini." Ilhoon menaikkan tangan kirinya sejenak guna melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Katanya hanya sebentar ke toilet, tapi ini sudah terlalu lama. Apa jangan-jangan... Sungjae jatuh di kamar mandi? Atau, tidak ada tisu, dan Sungjae tidak bisa membasuh...."

Ilhoon seakan tidak sanggup melanjutkan kalimat sendiri. Hyunsik geleng-geleng kepala, matanya fokus menatap punggung Ilhoon.

"Jika kau amat cemas, kenapa tidak menyusul saja?"

"Benar juga!" Ilhoon menampilkan seringai lebar seiring Hyunsik yang segera mengimbuh kalimatnya.

"Tapi menurutku Sungjae tidak seperti yang kau pikirkan."

Betul.

Sungjae terlihat baik-baik saja. Tubuh tinggi itu keluar dari balik dinding—hanya wajah diturunkan, entah apa bagusnya keramik gedung tempat dia dan tiga anggota lain mengisi acara.

"Cepat suruh Sungjae masuk mobil."

Itu perintah Hyunsik sebelum mematikan sambungan telepon. Meski sudah tak tersambung, Hyunsik tetap memerhatikan adik-adiknya di sana.

Ilhoon memasukkan benda pipihnya ke dalam saku celana. Tepat di hadapan Ilhoon, Sungjae berhenti lalu mendongak—memandang Ilhoon tanpa tersirat apa-apa dari sinar matanya.

"Sungjae kau—"

"Hyung...." Sungjae bersuara, membuat Ilhoon menahan kalimat belum tuntas; menunggu apa selanjutnya yang akan dikatakan laki-laki muda ini.

"Aku mulai berpikir, kalau dunia berbentuk kotak, apa tidak akan berputar?"

"Hah?" Ilhoon langsung bereaksi. Alih-alih memikirkan pertanyaan Sungjae, Ilhoon justru berpikir bahwa wajah ceria pemuda yang sempat bertahan selama sepuluh jam itu tidak lagi tampak.

Tidak biasa, tentu. Setelah melihat lautan manusia berwarna biru, mendengar jerit Melody yang seakan menyuarakan rasa rindu mereka, tidak berarti membuat Sungjae lelah. Anak itu hanya menampilkan wajah tak biasa jika merasa lelah, atau wajah menekuk ketika marah. Ilhoon jelas mengenal Yook Sungjae.

"Jika dunia tidak berputar, masalah tidak akan ada bukan?" kemudian hela napas keluar, seolah Sungjae sedang menetralkan sesak.

"Kau ini kenapa? Ayo masuk mobil, sudah terlampau malam." Ilhoon mengajak, justru dapat tatapan sedih dari Sungjae yang Ilhoon tidak tahu apa sebabnya.

"Hyung tidak mengerti apa yang aku ucapkan, ya?"

Ingin membenarkan, aura Sungjae sedang tidak baik saat ini; takut akan mengecewakan. Di sini Ilhoon baru menyadari, kalau menjaga perasaan seseorang terkadang sulit dan serba salah.

Ponsel Ilhoon sekali lagi bergetar, membuat si pemilik langsung mengeluarkan benda persegi itu.

"Cepat masuk mobil!"

Suara merdu Hyunsik berubah menjadi teriakan yang tidak enak didengar. Ilhoon bahkan sampai meringis.

"Ayo!" intonasi tinggi Ilhoon kepada Sungjae, tetapi Hyunsik merasa tersindir, terlebih sambungan telepon masih terhubung. Pikir Hyunsik, Ilhoon sengaja berteriak untuk balik meneriaki dirinya.

Tanpa penolakan, Sungjae berjalan, tidak lupa tangan kanannya ditarik oleh Ilhoon. Yakin kalau keadaan Sungjae sekarang tidak akan beres cepat apalagi jika Ilhoon terus meladeni.

Lampu-lampu jalan trotoar menjadi perhatian Sungjae sejak beberapa menit mobil van itu berangkat dari tempat parkir gedung diselenggaranya konser. Empat anggota yang memilih duduk berdampingan di jok belakang itu diam tanpa suara, terlihat hanyut oleh kegiatan masing-masing; Peniel fokus pada layar laptop, Ilhoon tidak tahu apa yang dilihat dari ponselnya, dan Hyunsik menikmati lagu menggunakan earphone yang tersambung pada mp3.

Sementara manajer mereka yang duduk di depan sebelah sopir sudah ketiduran, dengkuran halus mendominasi bersama bunyi ketik keyboard dari laptop yang tengah Peniel gunakan.

Merasa telah selesai, Peniel menutup komputer jinjingnya terlalu keras sehingga tiga orang lain menoleh Peniel yang kini menyengir. Sungguh, ia tidak sengaja, apalagi memosisikan diri menjadi pusat perhatian.

Sebelum kembali melihat keluar jendela, Sungjae mengeluarkan suara pertama kalinya dalam mobil. "Kita pulang ke dorm, ya?"

"Pulang ke rumah saja." Hyunsik menanggapi, seraya melepas sebelah earphonenya dari telinga. "Aku belum membersihkan akuarium ikanku, nanti kita berpisah di depan rumah masing-masing."

Belum Ilhoon dan Peniel menyetujui, Sungjae berkata, "Aku akan sendirian di rumah."

Perhatian ketiganya jelas tertuju kepada Sungjae yang mempertahankan pandangan—menatap lampu-lampu jalan.

"Kakakku pergi, begitu juga ibu dan ayah. Sami sedang tidak bisa kuajak bicara. Jika aku pulang, aku sendiran."

Aku sendirian.

Kata itu paling ajaib membuat hati siapapun tidak tega. Tanpa perlu berkata banyak untuk mengetahui apa keputusan sekarang, Hyunsik memajukan duduknya guna berbicara kepada pengemudi.

"Ke dorm ya, Ahjussi. Kami akan menginap di sana."

•••

Baru masuk ke dalam asrama, Sungjae sudah diserbu pertanyaan sekalipun belum duduk; Ilhoon tidak terlalu menyukai basa-basi, apa-apa yang ingin diketahui, segera ditanyakan secara lugas.

"Sungjae sedang ada masalah?"

"Ceritakan saja, apa yang membebani pikiranmu?" Hyunsik juga turut andil bertanya.

Dengan satu gerakan Sungjae duduk di sofa, sementara Peniel sudah berbaring di karpet bawah melepas lelah.

"Mengapa pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai? Bukankah mereka menikah karena cinta? Apa mungkin, cinta itu tidak bisa bertahan selamanya? Lalu untuk apa ada kata 'cinta sejati', itu tak masuk akal, 'kan?"

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu?" Hyunsik lebih penasaran penyebab Sungjae bertanya demikian. Dia mengambil posisi duduk di sebelah Sungjae dengan sedikit berjarak.

Berbeda Hyunsik, beda pula reaksi dua orang lain; Ilhoon justru memikirkan jawaban dari pertanyaan laki-laki yang lebih muda itu. Peniel yang biasa menyimak sebelum memutuskan menanggapi, memilih bungkam dulu.

"Tadi aku tidak sengaja mendengar pertengkaran suami pada orang yang kuyakin istrinya melalui telepon. Dari balik pintu, aku mendengar laki-laki itu meminta tanda tangan secepatnya atas surat cerai yang sudah dia kirim. Kotoranku bahkan tidak jadi keluar karena mendengar itu." Sungjae berbicara cepat, sampai Hyunsik tidak dapat menangkap pergerakan bibirnya.

Pipi Peniel berkedut, menahan tawa akibat kalimat akhir si maknae. Entah, itu terdengar lucu bagi Peniel yang hanya menyimak.

"Di drama-drama, pasangan akan hidup bahagia setelah menikah. Tapi kenapa kenyataan tidak seperti apa yang digambarkan drama?" Sungjae jadi percaya sekarang, kalau drama itu benar-benar cerita fiksi yang tidak bisa menjadi fakta.

"Dari sudut pandang Hyunsik Hyung, bagaimana?" kemudian Sungjae ingin tahu apa pendapat kepala lain; meminta hal sama kepada Ilhoon dan Peniel.

"Jika kau menyamakan drama dan kenyataan, tentu akan berbeda. Drama dibuat dari tangan manusia, pengaturan manusia. Kalau kenyataan dibuat dari tangan Tuhan." Ilhoon yang duduk berseberangan dengan Sungjae menanggapi pertama.

"Mungkin sudah takdir. Suratan Tuhan tidak pernah bisa ditebak." Bergantian Peniel berbicara, agak masuk akal dan cepat tercerna oleh pola pikir Sungjae.

Saat giliran Hyunsik, dirinya menampilkan senyum tiada arti sesaat.

"Itu karena kau tidak tahu apa yang ada di balik pernikahan, Sungjae. Cinta tidak pernah salah. Cinta bisa sejati bagaimana orang yang memilikinya." Hyunsik memandang Sungjae, iris mata hitam laki-laki muda itu tidak kelam, justru bersinar apa adanya. "Yang menikah belum tentu bahagia. Yang meninggal belum tentu berduka."

"Ani, tunggu." Sungjae menjeda demi memikirkan sejenak kalimat Hyunsik. "Yang meninggal belum tentu berduka, maksud Hyung?" tanya Sungjae, sampai duduknya menjadi tegak—pemikirannya ternyata belum bisa menyerap makna apa pun.

"Mangga kulitnya hijau menawan, mana tahu jika dalamnya busuk, 'kan?"

"Eihh... serius, Hyung. Aku seperti berbicara pada ahli filsafat ini. Selain jadi penyanyi Hyung mau menjadi filsuf?"

Jika Ilhoon tidak menyukai basa-basi, Sungjae tidak suka kalau penjelasan seseorang lama dijabarkan. Sungjae ingin yang sederhana dan instan, sehingga dirinya mudah mengerti.

"Aku berkata begini karena kau mempertanyakan sudut pandangku. Seperti pernikahan, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di baliknya. Apa menurutmu pernikahan selalu dilatar belakangi kebahagiaan? Lalu orang yang meninggal, mungkin orang meninggal itu bahagia karena bisa melepas rasa sakit semasa hidup. Contoh paling mudah, coba lihat anggota kita."

Sungjae sungguhan melihat anggota Beat satu per satu; dari Ilhoon, Peniel, kemudian Hyunsik kembali. Andai ada tiga anggota lain yang sekarang tengah melaksanakan militer, mungkin pandangan Sungjae juga akan mengarah kepada mereka, meski sebetulnya bukan 'melihat' begitu yang dimaksud Hyunsik.

"Selaku publik figur, kita dituntut untuk tampil ceria, tampak kompak, selalu bersama-sama. Meski tiap kesempatan kita juga selalu kompak, ada masanya kita seperti orang asing, berada di satu ruangan namun sibuk bermain ponsel sendiri-sendiri. Ada kalanya kita bertengkar dan saling diam. Benar, 'kan? Lalu, apa kau yakin kalau di antara anggota kita tidak ada yang iri?"

Sungjae tidak menjawab. Ilhoon jelas memilih diam, dan Peniel semakin tidak bersuara karena kegemarannya menyimak.

"Ada kalanya juga, di antara kita merasa iri," tambah Hyunsik. "Kau ingat? Kau iri saat mengetahui Ilhoon buang air besar dua kali secara teratur dalam sehari, sementara kau tidak bisa sehingga tidak mau melihat Ilhoon seharian. Eunkwang Hyung iri pada tinggi tubuhmu, Eunkwang Hyung pernah mengatakannya. Aku iri pada Changsub Hyung karena dia berhasil diet padahal Changsub Hyung tetap memakan apa pun yang ingin dimakan. Kita juga pernah iri karena Minhyuk Hyung menjadi model utama musik video comeback kita tiga tahun lalu."

Tanpa tahu apa penyebab pastinya, hati Hyunsik bergejolak riuh. Hal-hal yang tidak pernah tersinggung sedikit pun itu kini diurai secara gamblang.

"Beruntungnya, walau begitu kita tetap saling memahami satu sama lain, rasa iri itu tergantikan oleh energi positif. Depan kamera, meski kita sedang masa tidak baik di belakang layar, kita tetap mampu kompak lalu melupakan amarah kita. Intinya, tidak ada yang sempurna di balik layar. Jika orang-orang melihat kebahagiaan dari luar, mereka hanya menemukan bahagia yang tidak nyata. Pada akhirnya orang-orang itu mengeluh kalau dunia tak adil membagi kebahagiaan. Begitu juga masalah, jika hanya dilihat dari luar tanpa tahu apa yang terjadi, itu tidak adil, orang-orang akan selalu menganggap masalah adalah bencana dunia."

Peniel mengucek sebelah matanya, kemudian beranjak dari karpet cokelat yang biasa Sami tempati jika berada dalam asrama.

"Aku mau ke kamar mandi dulu." Peniel sudah tidak tahan, perasaannya menjadi sensitif.

Ilhoon tak kalah terenyuh, tapi ia pandai menyembunyikan perasaan. Sementara Sungjae sedang memikirkan kalimat-kalimat Hyunsik.

"Jadi... bercerai adalah hal baik? Maksudku yang Hyung jelaskan...."

"Ya! Aku tidak pernah membenarkan jika perceraian adalah hal baik." Hyunsik jelas menyangkal kalimat Sungjae. "Mungkin itu cara mereka untuk bahagia."

Dahi Sungjae mengerut. "Bagaimana bisa cara bahagia adalah perceraian? Cerai berarti pisah, dan pisah menyedihkan, bukannya begitu?"

"Sebagian orang menganggap perpisahan itu lebih baik daripada harus bersama," sahut Hyunsik cepat. "Kita juga punya cara sendiri untuk bahagia, 'kan? Saat orang-orang yang tidak menyukai kita merendahkan secara terang-terangan, kita tetap tertawa bersama, karena kebersamaan adalah cara kita untuk bahagia dan bertahan di tengah terjalnya dunia. Jika mereka adalah perpisahan. Kau belum paham?"

Hyunsik mulai lelah, tenggorokannya sudah kering karena bicara terus. Ini menjadi penyebab terkadang Hyunsik pelit berkata-kata; terkadang, kalau tidak ada yang memancing pemikiran radikalnya.

"Aku belum paham karena perpisahan identik dengan sedih, jadi mana mungkin bahagia...." di akhir kalimat, Sungjae merendahkan suara.

"Dengar, dari setiap kejadian buruk ada hal baik di dalamnya menurutku. Mungkin benar perpisahan adalah kesedihan, dan itu hal buruk. Tapi lihat baiknya, mungkin perpisahan membuat mereka belajar lagi untuk membangun hubungan yang lebih baik di masa mendatang bersama orang baru."

Sejenak Sungjae mengangguk-angguk, bukan berarti membiarkan kalimat panjang lebar Hyunsik yang langka itu menjadi angin lalu. Sungjae hanya sedang menyimpan kalimat-kalimat tersebut dalam sudut memorinya.

"Aku tidak berpikir sepertimu, yang aku pikirkan jika bumi berbentuk kotak tidak akan ada masalah. Dunia berhenti, selesai." Sungjae sungguh berpikir sederhana.

"Dan kau lenyap, baru selesai." sambung Ilhoon yang baru terdengar suaranya. "Karena pasangan asing yang mau bercerai, kau sampai mempertanyakan hal konyol tentang dunia kotak?"

"Dia mempertanyakannya?" Hyunsik hampir tertawa.

"Iya, saat sebelum masuk mobil," sahut Ilhoon, rautnya menjadi kesal melirik Sungjae.

"Imajinatif sekali." Akhirnya Hyunsik benar-benar tertawa disusul Ilhoon yang hanya tertawa kecil untuk semata-mata menghargai Hyunsik. Bukan apa-apa, hanya bagi Ilhoon itu sama sekali bukan hal lucu.

Sungjae menatap mereka berdua sambil berpikir tidak heran jika banyak perbedaan di antara manusia, baik buruknya tergantung cara berpikir dan bagaimana sudut pandang masing-masing orang. Seperti Hyunsik yang tertawa karena menganggap kalimat Sungjae lucu, lalu Ilhoon, terlihat jelas bahwa tawanya dibuat-buat. Tetapi mereka tetap cocok karena tak ada yang menghakimi.

"Aku mau tidur di kamar Eunkwang Hyung. Ada yang mau?"

Hyunsik bersama Ilhoon beralih kepada Sungjae lagi. "Sebetulnya, kakakku tidak pergi. Kalau dia pergi siapa yang membantu menjaga Sami. Hehe. Aku hanya merindukan Eunkwang Hyung, Minhyuk Hyung juga."

Pemuda itu terkekeh-kekeh tanpa dosa, dan kedua kakak tertuanya memaklumi alih-alih marah. Tidak ada yang salah ketika merindu.

"Boleh. Kita sama-sama tidur di kamar Eunkwang Hyung." Hyunsik menyetujui, langsung beranjak.

Ilhoon berkomentar. "Kau tidak menyebut Changsub Hyung?"

"Tanpa disebut hatiku sudah berisik mengucap namanya berulang kali. Jika disebut menggunakan mulut, lidahku kaku, mataku membengkak. Aku tidak mau."

Kedua alis Ilhoon bertaut otomatis mendengar pemilihan kata Sungjae. Bukan hanya itu, mengapa mata Sungjae bisa bengkak jika hanya menyebut 'merindukan Changsub Hyung' menggunakan lidahnya?

"Sekalian jadi pengarang saja kau," gumam Ilhoon, mengikuti Sungjae ke kamar yang ditempati Eunkwang.

Lama, Peniel keluar dari kamar mandi setelah melampiaskan emosinya membuang air ke kloset. Dilihatnya tidak ada siapa-siapa di ruang tengah.

"Kemana perginya...." baru hendak memanggil, tahu-tahu Sungjae sudah ada di hadapan Peniel. Tanpa izin, dia merangkul bahu laki-laki kekar itu.

"Kita akan tidur di kamar Eunkwang Hyung malam ini. Ramai-ramai," bisiknya. Peniel hanya mengikuti ke mana kaki Sungjae pergi. Kehangatan itu melingkupi perasaan tanpa ada yang menyadari.

Waktu malam kian larut, samar terdengar suara Hyunsik dari balik kamar yang pintunya sudah tertutup rapat.

"Haruskah kita merilis lagu tentang dunia kotak?"

"Jangan. Nanti Cube kita penuh." Suara Ilhoon menanggapi. "Bayangkan jika semua orang tinggal di Cube. Kalau Cube penuh, kita sempit. Atau bahkan tidak kebagian tempat."

"Astaga, Ilhoon-ah. Kau bicara apa, sih?" terdengar suara tawa Hyunsik di tengah kesunyian.

"Bukankah cube itu kubus alias kotak?" Ilhoon semakin menjadi, membuat Hyunsik menambah intensitas tawanya.

Tidak ada suara Sungjae maupun Peniel, sepertinya dua laki-laki itu sudah lebih dulu terlelap. Bertemu penggemar mereka hari ini mungkin akan menjadi mimpi indah yang mengisi ruang tidur, atau jika tidak, kalimat Hyunsik yang membayang.

Yang menikah belum tentu bahagia. Yang meninggal belum tentu berduka.

Mangga kulitnya hijau menawan, mana tahu jika dalamnya busuk, 'kan?

Apa menurutmu pernikahan selalu dilatar belakangi kebahagiaan? Lalu orang yang meninggal, mungkin orang meninggal itu bahagia karena bisa melepas rasa sakit semasa hidup.

.
.
.

Selesai~


BtoB Squad: MELODY!!

Melody: BTOB!!

All: FOREVER!!

Dan saat itulah daku nangis-nangis kejer minta dipeluk anggota BTOB 😭😭

TITIK PALING MEMBUAT HATI MELODIES MEMBERONTAK.


Masih sangat setia menunggu abang-abang yang lagi berjuang di sana :v

Hai, haii~
Umm, apa ya, mau menyapa tapi rasa gimana gituu. Ini efek udah lama nggak bikin one shoot Bitubi kayaknya 😂😂

Btw ya, Sudut Pandang ini ditulis bulan lalu waktu wattyku nggak bisa dibuka karena lupa sandi. Jadi, haruskah lupa sandi lagi supaya bisa menulis dengan penuh emosi? :"


Bang Kwang matanya kenapa? 😂
Bye, sampai jumpa di one shoot Bitubi lainnya, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro