BBB [25]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for typo
~Happy reading~

Dalam keadaan canggung seperti ini, Arusha tetap menjelaskan padaku. Meskipun matanya masih menatap tajam pada Anza.

Ini mereka ngapain pada main lirik-lirikkan kaya anak kecil yang lagi marahan sih!

Aku menggerutu sebal, belum lagi sakit perutku yang kembali terasa. Haduuh.

"Dalam kondisi terdesak seperti itu, para prajurit harus mampu mengatasi penderitaan, tidak boleh membocorkan informasi yang dimilikinya," tutur Arusha yang menjadi penutup pembahasan kali ini. Karena kami akan segera sampai di lokasi 'kamp tawanan' dengan Alvin yang sudah berada di lokasi lebih awal dan sedang menyiksa para prajurit.

Meski dalam keadaan perut yang melilit, aku masih sempat bingung dengan situasi ini. "Sha, bukannya tadi prajurit-prajurit itu pada lolos ya? Waktu itu aku lihat mereka lolos dari tantangan Anza, kan?" Aku menunjuk pada tiga orang taruna yang aku kenali wajahnya—tapi tidak dengan nama mereka—telah lolos saat Anza memberikan mereka tantangan sewaktu diperjalanan.

Arusha yang mengikuti arah tunjukku, terhadap para taruna yang sedang Alvin gempur mentalnya, kembali tersenyum.

Jenis senyuman jahat menurutku, alias tidak ikhlas!

"Jangan bilang kalau .... "

Ucapanku terpotong karena Arusha lebih dulu menyelanya. Bahkan tanpa aku minta pun, dia menjelaskan sukarela padaku.

"Mereka memang bukan prajurit yang tertangkap sewaktu Anza memberikan tantangan, tapi bukan berarti mereka lolos dari neraka."

Senyum menyeringai dari Arusha semakin terpatri pada wajahnya yang tidak lagi terlihat segar seperti pagi tadi.

Aku jadi merasa ngeri. Terlebih saat melihat mereka yang disiksa mendekati batas daya tahan manusia.

Seketika rasa sakit pada perutku semakin menjadi-jadi. "Berapa lama mereka akan menjalani siksaan ini? Kasihan tahu lihatnya," ujarku sambil menahan sakit pada perutku yang terus memberontak. Tapi ada rasa prihatin ketika aku melihat keadaan para taruna yang tidak terlihat kelelahan, malah terlihat semangat. Walaupun sebagian dari mereka menunjukkan gejala 5L : lemas, lelah, letih, lesu dan linglung.

Arusha mendengkus tidak suka, ketika aku menunjukkan wajah prihatinku terhadap mereka. "Bahkan dulu, saya di didik lebih dari ini," cibir Arusha, seperti anak kecil yang sedang merajuk saja.

Aku mendelik pada Arusha. Tanganku masih setia bersidekap. "Kok kamu malah sewot sih, aneh!"

Arusha berdecak, sebelum kembali menjelaskan padaku, "Selama tiga hari mereka akan menjalani latihan di kamp tawanan. Dalam ‘kamp tawanan’ semua siswa akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati batas daya tahan manusia."

Aku hanya meringis sambil menahan rasa ngeri. Membayangkannya saja membuat aku nyaliku menciut. Aku pun tidak tahan untuk tidak merintih kesakitan, akibat rasa mual karena perut yang melilit dan juga melihat siksaan yang diterima oleh para prajurit itu.

"Kamu kenapa? Kamu sakit lagi?" Arusha mencengkram bahuku erat.

Aku hanya mengangguk lemah, ternyata menahan rasa sakit akibat datang bulan bukanlah pilihan yang tepat.

Aku mencengkram lengan Arusha begitu kuat. Seolah-olah dengan itu akan membuatku mendapatkan kekuatan. "Aghhh ... perutku, Shaaa," rintihku sambil memegangi perut.

Arusha tampak terkejut dan panik. "Loh kamu kenapa lagi, katanya sakit gigi. Gak mungkin lagi ngidam, kan?" tanyanya hati-hati

Aku melotot tajam pada Arusha, sempat-sempatnya dia berpikir dangkal seperti itu. Aku mencubit lengannya. "KAMU JANGAN SEMBARANG NGOMONG DONG!" seruku tajam.

"Habis kamu aneh, duh ... sini duduk dulu." Arusha menuntunku menuju teras. "Mau saya ambilkan air hangat?" tawarnya kemudian, setelah aku duduk di teras dekat lapangan.

Karena gemas, aku pun mendesis sebal. "Malah nanya! Udah tolong ambilkan aja!" pintaku setengah membentak, yang mungkin terdengar seperti rengekan anak kecil.

Jika saja bukan di tempat umum seperti ini, aku sudah pasti guling-guling di atas kasur ketika sakit datang bulang tiba. Benar-benar menyiksa tahu!

Dengan cekatan, Arusha kembali dengan membawakanku dua botol air hangat. Lalu dia menyodorkan kedua botol itu padaku.

"Kok botol sih!" ucapku rada sewot.

Gimana gak sewot, orang aku dan botol adalah hal yang tidak bisa akur.

Aku pun mendengkus, walaupun tetap menerima botol itu. "Lalu apa lagi? Kamu bilang tidak mau saat saya ajak ke posko kesehatan kan?" keluh Arusha.

"Ck, sudahlah! Iya-iya aku terima, makasih," ucapku dengan cemberut.

"Saya ambil dua aja, satu untuk kamu peluk satu lagi untuk kamu minum. Karena saya tidak tahu pasti penyakit kamu apa." Kejujuran Arusha mau tidak mau membuatku terenyuh. Setidaknya dia telah berusaha membantuku. Maafkan aku ini, Sha.

Aku mengambil alih kedua botol itu dengan cepat, menyimpan satu botol yang aku letakan pada perut dan disangga oleh kedua kakiku, memeluknya. Lalu, aku berusaha membuka botol satunya lagi.

Sial! Ini botol kenapa susah banget dibukanya, sih!

Aku menepuk dahiku sendiri. Baru sadar kalau ternyata aku adalah orang yang memang ditakdirkan untuk tidak bisa membuka segala jenis perbotolan yang ada.

Melihat usahaku yang tidak juga membuahkan hasil, Arusha mengambil alih botol yang tadi sudah susah payah aku coba untuk membukanya.

Tidak butuh waktu hingga satu menit, aku dapat melihat botol itu sudah terbuka oleh Arusha dengan mudahnya. "Minumlah," titahnya yang langsung aku turuti tanpa protes sama sekali. "Lain kali kalau butuh bantuanku, jangan sungkan," sambungnya.

Aku tersenyum samar. Merasa malu sekaligus tersipu dengan perkataannya. "Sorry ya, aku memang gak bisa buka tutup botol," ujarku pada Arusha yang sekarang sudah duduk disampingku.

Dari tatapannya yang tampak seperti tidak percaya dengan ucapanku, aku pun menambahkan. "Aku emang gak bisa buka tutup botol dari kecil, makanya sampai sekarang aku gak suka sama jenis perbotolan."

Arusha henya meresponnya ber'oh'ria, lalu kembali diam lagi. Sesekali dia mengamatiku dari samping dan bergumam pelan. "Merepotkan."

Tapi karena telingaku cukup peka untuk mendengarkan gumamannya, aku spontan mencubit lengannya.

"Aduh ... Naura! Kamu kenapa lagi sih?" tanyanya dengan gusar.

Aku menghentakkan kakiku saking kesalnya. "Kamu nyebelin!" makiku terang-terangan.

Arusha terlihat menghela napasnya, mungkin dia emang dilatih untuk tidak memarahi seorang perempuan. Bagus kalau gitu. Aku aman.  "Kalau gak marah-marah main pukul, terus sekarang cubit orang," desis Arusha.

Aku mencebikan bibir, mengolok-oloknya dalam hati. "ISHH! GAK PEKA!" Aku pun memalingkan mukaku darinya. Sangat kentara sekali kalau aku sedang marah padanya.

Entah Arusha mengerti atau tidak.

Hening yang lama membuatku merasa aneh. Pikiranku mulai berkelana kemana-mana, bahkan berprasangka yang tidak baik pada Arusha. Maka saat aku palingkan wajahku untuk melihatnya, karena tidak mendengarkan suara apapun di sampingku. "Arush—"

Ucapanku terjeda, karena sekarang Arusha sedang berdiri dihadapanku.

Tangannya yang membawa sebuah jaket yang bercorak loreng—seperti baju tentara lainnya—dia pakaikan untuk menutupi bahuku dengan jaket miliknya.

"Maaf, tadi saya pergi tiba-tiba karena saya harus bawa ini," ujarnya sambil membetulkan letak jaketnya pada bahuku.

Dari jarak sedekat ini, aku dapat mencium aroma tubuh Arusha yang terkesan mainly oleh aroma perpaduan dari citrus dan kayu manis.

Segar sekaligus manis.

Karena mungkin aku yang sedang sensitif, jadi tindakan impulsif yang Arusha lakukan malah membuatku menangis.

Sebenarnya tidak ada yang pernah memperlakukanku manis seperti ini padaku—perhatian kecil yang selalu Arusha berikan padaku—biasanya hanya bisa aku dapatkan dari keluargaku saja. Aku pun diliputi oleh rasa haru karenanya. Mengingat betapa kejamnya teman-temanku dulu yang sangat suka merisakku sesuka mereka.

Arusha yang sepertinya panik karena melihat aku menangis, terus saja menyuruhku untuk diam. "Udah jangan nangis, saya ada salah ya sama kamu? Maaf, karena dari dulu saya kurang berinteraksi dengan perempuan. Jadi, saya kira tahu permasalahan ini."

Aku menggeleng lemah, aku saja yang mendengar perkataannya semakin menangis sejadi-jadinya. Duh, dasar sensitif!

"Maaf Naura jika saya tidak sopan, tapi saya benar-benar tidak tahu apakah ini akan sedikit membantu atau tidak."

GREP

Arusha yang memelukku dan aku yang termagu.

Bukannya berhenti menangis seperti yang Arusha katakan, tangisku semakin kencang dan membasahi seragam lorengnya.

Arusha yang aneh, pria bunglon yang aku temui ini malah semakin memelukku erat. Mungkin berharap agar tangisku segera berhenti, dia juga mengelus sayang punggungku yang masih bergetar.

Suaranya yang semakin lirih terdengar menjadi alasanku untuk tidak berhenti menangis. "Jangan nangis Naura, saya sakit sekaligus bingung melihatnya. Tolong jangan buat saya cemas seperti ini." 

Salahkan saja dia yang berbuat manis padaku dan aku yang sedang patah hati karena mantan laknat bernama Raka itu!

~tbc~
Revisi : 29/10/20

Terima kasih telah membaca
Bye-bye, black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 tinggalkan komentar dan share cerita ini ya 🤗
.
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro