[1] Bumi Pasundan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bismillah, jangan lupa tekan vote dan comment juga yaa

selamat membaca:)

---

"Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum."
M. A. W. Brouwer

☆☆☆

Rona kemerahan sang fajar yang perlahan mengabur menandakan pergantian dari malam menuju pagi. Tidak seperti sebelumnya, fajar kali ini terlihat begitu menawan. Mungkin karena perempuan berjilbab pashmina abu-abu itu sedang memandangnya dari sudut bumi yang berbeda. Walau hanya sedikit ke barat dari tempat kelahirannya, harus Razita akui kalau fajar pertamanya di Bandung sangat mengesankan.

Akhirnya, niat yang tertancap di hati mampu menggerakkan kaki Razita sampai di tempat ini. Sebuah kota yang mendapat begitu banyak julukan. Mulai dari Paris van Java karena konstruksi beberapa bangunannya yang bergaya Eropa dan toko pakaian yang katanya dulu buka di malam hari. Lalu, berganti menjadi Lautan Api yang membakar hampir 200.000 ribu nyawa mulai dari yang berdosa sampai yang tidak tahu apa-apa.

Oh ya! Jangan lupakan juga julukan kota kembang yang disematkan, entah karena Bandung memang ditumbuhi banyak bunga-bunga cantik dan pepohonan yang rindang atau karena 'bunga' lain yang dirias lalu bertebaran hanya saat malam tiba.

Apapun itu, yang jelas tujuan Razita kemari bukan semata-mata untuk menikmati keindahan kota. Melainkan bertahan hidup sampai tujuan utamanya tercapai.

"Assalamualaikum, Pak permisi!" Razita menghampiri petugas satpam berdiri paling dekat dengannya.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Pak satpam.

"Kalau mau ke Kantor Redaksi Beauty Media naik apa ya, Pak?"

"Dari sini naik angkot warna biru aja Neng, nanti bilang ke sopirnya turun halte lama aja, kantornya di depan halte itu." Razita mengangguk beberapa kali tanda bahwa dirinya mengerti.

"Neng-nya merantau ya?" tanya satpam tersebut setelah melirik koper di sebelah Razita.

"Iya Pak dari Surabaya," Razita turut menjawab sopan karena Bapak satpam itu juga sopan kepadanya.

Ibunya pernah bilang kalau bertemu orang baik di tempat baru tandanya dia akan beruntung ke depannya. Entah ini mitos atau fakta, tidak ada salahnya kan mengaminkan sesuatu yang baik sebagaimana ucapan adalah doa. Bukan begitu?

"Jauh amat, Neng. Kesini cari kerjaan atau cari jodoh?"

"Eh?" Razita sedikit terkejut.

Kenapa jodoh dibawa-bawa? Sudah jelas kan kalau ia tadi bertanya tempat kantor redaksi bukan alamat rumah mertua!

"Cari kerjaan, Pak."

Kebetulan setelah menjawab pertanyaan aneh itu ada sebuah angkot berwarna biru melintas sehingga Razita tidak perlu takut akan ada pertanyaan aneh sesi kedua. Sebelum masuk ke dalam angkot, ia sempat mengucapkan salam dan terima kasih.

Butuh waktu hampir tiga puluh menit untuk sampai di tempat tujuan. Ternyata jaraknya lebih jauh dari yang Razita perkirakan. Dan saat tiba di depan kantor redaksi, pagarnya masih tertutup rapat. Sepertinya karena terlalu bersemangat Razita lupa kalau ini masih jam 06.00 pagi. Beginilah jadinya kalau dia sedang udhur lalu tidak shalat subuh. Suka lupa waktu.

Sambil menunggu, Razita pergi ke masjid terdekat untuk menumpang mandi sekaligus mengganti bajunya ntuk interview. Semesta seolah mendukung rencananya. Dua minggu setelah insiden itu terjadi, surat lamaran yang ia ajukan ke BeautyMedia diterima.

Razita butuh pekerjaan ini karena ia akan menetap sampai batas waku yang tidak ditentukan. Tidak enak rasanya jika harus bergantung pada uang kiriman Budhe Mar.

Tepat pukul 09.00 Razita memasuki gedung dua lantai itu dengan semangat. Siapa yang tidak kenal BeautyMedia? Sebuah redaksi yang sering muncul di saluran televisi dan top pencarian google itu selalu up-to-date mengenai berita lifestyle, fashoin, dan make-up.

Sebetulnya Razita ingin melamar di bagian redaktur atau editor namun karena lowongan yang kosong hanya bagian reporter alhasil sekarang ia harus mengantri bersama puluhan pelamar lainnya. Melihat para pesaingnya rata-rata berpenampilan modis dan jauh lebih cantik darinya, jiwa insecure Razita mendadak muncul.

"Semangat Razita! Rejeki nggak bakal kemana," monolognya menyemangati diri sendiri.

Sudah dua jam berlalu. Padahal Razita datang lebih awal tapi namanya belum juga dipanggil malahan beberapa orang yang datang setelahnya sudah keluar sejak tadi. sesuai dugaan ternyata Razita menjadi yang terakhi kali dipanggil.

"Huh, sabar Razita! Orang sabar rejekinya lebar. Bismillahi-rahmani-rahim."

Setelah memasuki ruangan sudah ada tiga orang wanita yang siap menunggu di dalam. Proses wawancara berlangsung lancar pada awalnya sampai Razita optimis akan diterima.

Namun, sebelum ia keluar ruangan salah seorang wanita menghentikannya.

"Jika seandainya kamu diterima apa kamu mau melepas hijabmu?"

Pegangan tangan Razita dari pintu perlahan mengendur seraya memutar badan. "Maaf, tapi saya tidak melihat ada syarat 'reporter dilarang berjilbab' dalam website?" tanyanya dengan kening berkerut.

Ketiga wanita itu tertawa pelan. "Kamu tidak melihat bagaimana penampilan pelamar lainnya?" Razita masih terdiam. Berusaha mencerna situasi.

"Kamu tahu kan kalau redaksi ini bergerak di bidang kecantikan?" sarkas HRD tersebut.

Razita mengangguk. "Saya mengerti hal itu, tapi setahu saya tidak ada definisi yang mengatakan kalau cantik itu harus tidak berhijab. Setahu saya cantik itu relatif."

Entah mendapat keberanian dari mana Razita berani berkata seperti itu. Jenis perkataan yang bisa membuat usahanya sejak pagi tadi sia-sia.

"Iya memang relatif. Tapi media kami juga punya standar. Menjadi reporter yang tampil di layar sama seperti mewakili citra redaksi. Kalau penampilan kamu menarik, pasti penonton juga lebih tertarik alih-alih bosan," tutur wanita yang duduk di tengah.

Razita terdiam cukup lama. Sempat ada rasa sesak di dada. Setidaknya kalau tidak suka tutup mulut saja daripada mengutarakan perkataan yang bisa menyakiti hati orang lain. Namun, jika dipikir-pikir ulang Razita membutuhkan pekerjaan ini. Mau bayar makan dan tempat tinggal dimana dia kalau tidak ada uang?

"Jangan lupa kalau satu langkah yang kamu ambil sekarang akan mempengaruhi masa depan kamu selanjutnya!"

Ya, wanita itu benar. Razita tidak boleh salah langkah. Setelah memejamkan mata dan berpikir ulang, Razita yakin ini adalah keputusan yang sangat tepat.

"Apa saya akan diterima kalau saya mau melepas hijab saya?"

***

Dari penulis

Assalamualaikum, gimana part satunya?

Ada orang Bandung di sini? Kalian dari daerah mana aja?

Ada yang pernah ngalamin kaya Razita mau kerja tapi disuruh lepas jilbab? Gimana tindakan kalian waktu itu?

Boleh di share juga ke teman-temannya. Jangan lupa follow wattpad dan instagram aku juga!

Sampai ketemu di part dua❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro