[10] Mengapresiasi vs Mengasihani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tidak selamanya apa yang kita rasakan di awal akan bertahan seterusnya. Terkadang, takdir punya sejuta cara membolak-balikkan keadaan, sekaligus perasaan."

☆☆☆ 

Ghazi tengah bersantai di sofa ruang keluarga sambil menonton The Avangers: Infinity War di laptopnya. Sampai kemudian mamanya datang membawakan camilan dan duduk di sampingnya. Gayatri sampai geleng-geleng melihat putranya yang sudah hampir berumur seperempat abad tapi masih suka menonton serial marvel semacam ini.

"Kamu tuh ya, udah ada TV masih aja lihat laptop terus. Nggak sakit apa matanya?" Gayatri mengelus rambut putra tunggalnya.

Ghazi langsung mem-pause film tersebut dan menoleh ke arah mamanya. "Kan di TV nggak ada serial marvel sebagus ini, Ma!" Ujarnya tanpa dosa. Lalu, Ghazi mengubah posisinya untuk tiduran dengan paha Gayatri sebagai bantal kemudian memejamkam mata. Mengabaikan film yang baru saja dipujinya.

"Kamu tumben nggak keluar sama Ines kan ini malam minggu?" tanya Gayatri yang hafal dengan kebiasaan putranya.

Mendengar nama itu disebutkan Ghazi langsung merasa moodnya menurun. Bagaimana tidak, semenjak pulang dari Bangka ia belum sempat bertemu dengan Ines. Padahal Ghazi sudah membelikan sesuatu untuknya. Ines sendiri juga tidak berinisiatif menghubunginya atau sekadar menanyakan kabarnya. Ghazi pun kembali mengechek ponselnya. Pesan yang ia kirimkan untuk Ines tadi pagi juga masih belum dibaca.

Malah ada tiga pesan masuk dari nomer lain yang tidak dikenal. Kalau saja tidak ada nama Razita disitu Ghazi tidak akan membukanya.

085785××××××

Assalamualaikum, Kak Ghazi, ini aku Razita.

Jaketnya keburu dipakai gak?

Kalau iya aku balikin besok.

Ah, Ghazi sampai lupa jika jaketnya masih bersama Razita sekarang. Sebenarnya ia tidak terlalu butuh jaket itu tapi Ghazi malah membalas sebaliknya.

Ghazi

Waalaikumsalam, iya besok mau gue pakai. Jam 9 pagi bisa dateng ke Starbucks biasanya gak?

Tidak butuh waktu lama bagi ponselnya untuk berdering lagi.

Razita

Bisa.

"Lah!" tanpa sadar Ghazi langsung memekik kaget melihat balasan Razita yang begitu singkat.

"Ada apa, Zi?" tanya Gayatri yang masih ada di sampingnya.

Ghazi langsung menggeleng tapi kemudian tidak tahan untuk menyuarakan isi hatinya. "Menurut Mama ada nggak sih cewek yang emang bener-bener cuek gitu?"

Gayatri menegerutkan wajah. "Kamu dicuekin Ines?" tebaknya asal.

"Bukan, Ma. Maksud Ghazi ya emang dia biasanya dingin gitu."

"Dinginnya sama kamu aja apa sama semua orang?" sahut Gayatri cepat.

Jika diingat-ingat kembali, sejauh Ghazi mengenal Razita, perempuan itu tidak hanya membatasi diri dengan ia seorang. Razita hampir tidak pernah atau jarang sekali berbicara dengan lawan jenisnya. Hanya sesekali jika ada keperluan pekerjaan. Untuk ukuran wanita zaman sekarang bukankah ia terlalu kaku?

"Emang ada bedanya ya, Ma?" dan satu-satunya sumber terpercaya yang bisa diwawancarai hanya mamanya seorang.

Meskipun bingung dengan pertanyaan mendadak yang diajukan putranya Gayatri tetap berusaha menjawab sepenuh hati. "Perempuan itu beda-beda Zi. Gak semua perempuan ceria, humoris, terus lucu. Kadang ada beberapa yang lebih mirip laki-laki, lebih pendiam, lebih tegas gak suka rempong."

Artinya, Razita masuk kategori kedua, batin Ghazi. "Terus, Ma?"

"Ya, kalau emang dia dinginnya sama semua orang bisa jadi dia memang kalem. Kecuali kalau dinginnya cuma sama kamu-" Gayatri seolah sengaja menggantungkan kalimatnya. "Itu artinya ada sesuatu."

Ghazi menghela napas. Apa gunanyajuga ia bertanya hal demikian? Unfaedah sekali. Mungkin ini semata-mata karena ia penasarannya saja.

"Tapi kadang yang pendiem itu yang lebih menarik loh! Soalnya bikin penasaran!" celetuk Gayatri tiba-tiba lalu tersenyum jahil. "Kamu lagi suka sama seseorang?"

Spontan mata Ghazi melotot lebar. "Enggak!" menyadari reaksinya sedikit berlebihan Ghazi berusaha senetral mungkin. "Lagian buat apa juga suka sama yang lain kalau Ghazi masih punya Ines?"

Ada sedikit rasa lega di hati Gayatri saat mengetahui putranya ternyata masih setia dan tidak berniat mempermainkan hati anak orang. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau ia juga melihat sesuatu yang lain di mata anak semata wayangnya itu. "Tapi ada kalanya perasaan bisa berubah tanpa kita sadari sih!"

Merasa sedikit tersindir Ghazi balik bertanya. "Maksud Mama?"

Gayatri mengendikkan bahunya. "Yang tahu isi hati kamu ya cuma kamu sendiri."

☆☆☆

Razita melepas helm-nya untuk mengechek apakah lokasi yang ia tuju sudah tepat atau belum. Kemarin Ghazi bilang akan menunggunya di Starbucks, lalu tiba-tiba tadi pagi ia mengirim lokasi lain. Terserah apa maunya yang jelas Razita hanya ingin segera mengembalikan jaket pria itu lalu pulang secepat mungkin.

Ternyata tempat yang Ghazi pilih adalah kedai klasik yang lebih sederhana dan lebih ramai. Kebetulan juga Ghazi memilih tempat duduk di teras bukannya di dalam ruangan sehingga mereka masih bisa menikmati udara segar.

"Assalamualaikum, maaf Kak, telat," ujar Razita yang ingat kemarin bilang akan datang pukul sembilan dan ini sudah hampir pukul sepuluh. Semoga saja Ghazi tidak setepat waktu itu.

Ghazi langsung mengalihkan perhatiannya dari laptop sejenak, "Waalaikumsalam, gue juga baru nyampe kok."

Bohong! Jelas-jelas gelas kopi di sebelah laptopnya tersisa tinggal setengah.

Razita tidak mau ambil pusing dengan hal itu. ia langsung menyerahkan totebag berisi jaket itu di meja. "Udah aku cuci, Kak. Sekali lagi makasih."

Melihat Razita masih berdiri Ghazi menduga sesuatu. "Mau langsung pulang? Nggak mau duduk dulu?" tawarnya lugas tanpa basa-basi.

Tuh, kan sudah Razita duga ini akan terjadi. Karena tidak enak hati menolak Razita perlahan menarik kursi di depan Ghazi dan duduk disana dengan masih sedikit canggung. "Lagi ngerjain apa, Kak?"

"Hah?" giliran Ghazi yang terkejut. Tumben sekali Razita mau mengawali pembicaraan. "Iseng-iseng buat cover aja daripada nganggur."

"Bilangnya iseng tapi nanti hasilnya bagus," sindir Razita sambil membolak-balik buku menu hendak memesan sesuatu agak tidak berdiam diri saja.

Ghazi tertawa cukup keras. "Ya bagus dong artinya skill gue meningkat!" sedetik kemudian ia teringat sesuatu. "Gimana laptop lo udah dibawa ke tukang service?"

Wajah Razita langsung berubah murung. "Ya, masih dibenerin. Tapi kata orangnya lebih baik ganti baru sih, soalnya biayanya selisih dikit."

"Dikit versi lo dan versi dia sama nggak?" tanya Ghazi dan dijawab Razita dengan gelengan. "Sementara pakai komputer kantor aja dulu nggak perlu bawa ke rumah kerjaannya." Ghazi jelas tahu bagaimanya sulitnya tidak ada laptop, sebab meskipun sudah ada jam kerja terkadang sesekali memang ada yang harus dilanjutkan di rumah. apalagi seperti dirinya yang menjadi contect creator, ide bisa muncul tiba-tiba.

"Atau kalau lo mau lo bisa pinjem laptop gue," tawar Ghazi.

"Enggak usah, Kak." Sudah Ghazi duga Razita akan menolak.

Razita akhirnya memesan Cappucino, obrolan keduanya perlahan mulai mengalir begitu saja. Meskipun topiknya tidak jauh-jauh dari masalah pekerjaan kantor. Sampai kemudian seorang pengamen remaja datang ke kedai itu.

"Woy, sini!" panggil Ghazi pada pengamen itu. "Bisa nyanyiin lagu buat kita nggak?"

Bocah pengamen itu bertambah girang dan mulai menyenyikan beberapa lagu dengan suara yang... ya jelas lebih bagus dari Razita. Kurang lebih sekitar tiga lagu yang dia nyanyikan dan tidak ada satupun yang Razita kenali judulnya. Ghazi lantas memberikan selembar uang berwarna biru yang cukup membuat Razita kaget. Tidak sedang pencitraan kan?

Selepas anak itu pergi barulah Razita berani bertanya, "Kenapa nggak langsung dikasih aja sih Kak? Waktu di pelabuhan juga Kakak suruh mereka nyebur ke air cuma buat beberapa koin padahal kan udah melem, pasti dingin banget?!"

Ghazi menahan senyumnya saat tahu Razita ternyata memperhatikan hal-hal kecil yang dia lakukan. "Supaya mereka merasa lebih dihargai."

"Gimana gimana?" Razita tampak kurang puas dengan jawaban Ghazi.

"Mereka itu bukan pengemis, Ta." Ghazi menatap kearah lain dengan tatapan menerawang. "Kalau gue ngasih uang setelah mereka nunjukin bakatnya seenggaknya mereka merasa uang itu adalah hasil dari jerih payah keringat mereka sendiri, bukan dari belas kasihan," suaranya memelan di kalimat terakhir.

"Karena dikasihasi itu nggak enak. Bukan malah ngrasa kuat yang ada lo malah makin rendah diri. Mungkin itu bedanya mengapresiasi dengan mengasihani," lanjutnya setelah mengambil jeda cukup panjang.

Razita tertegun sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Selama ini ia selalu memberikan uang secepat mungkin dengan alasan supaya mereka tidak perlu susah-susah bernyanyi dan semacamnya. Dan hari ini, ia bisa melihat sisi lain yang belum pernah terpikirkan olehnya.

"Ghazi!" Panggil seseorang dari kejauhan. Keduanya menoleh ke sumber suara. Wajah Ghazi menegang seketika. Apalagi saat wanita itu langsung pergi tanpa sepatah kata. Buru-buru Ghazi membereskan barangnya di meja dan segera menyusul wanita itu.

Tanpa berpamitan. Tanpa sedikitpun menoleh ke arah Razita.

Jadi, seperti ini rasanya ditinggalkan secara tiba-tiba?

☆☆☆ 

Dari penulis

Assalamualaikum semuanya

Karena udah lama nggak update jadi sekalian tiga part ya hari ini. 

Aku mau ngucapin terima kasih banyak buat kalian yang masih setia baca, vote, dan komen cerita ini. 

Aku juga makasih banget buat kalian yang mau ngengetin aku semisal ada typo atau plot hole. Maaf kalau masih banyak kekurangannya. Semoga cerita ini tetap bermanfaat.

Jangan lupa follow wattpad aku _storyfadila

Jazakumullah khairan


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro