[19] Berakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Assalamualaikum, happy reading

____

"Luka yang kamu rasakan adalah sebuah pesan. Dengarkanlah mereka." (Jalaludin Rumi)

☆☆☆

Sudah menjadi kodrat bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan setidaknya satu kesalahan di dunia ini. Entah itu kesalahan kecil atau besar. Namun, manusia yang bijak adalah dia yang belajar dari kesalahan, lalu memperbaiki dirinya untuk menjadi lebih baik.

Ada juga pepatah yang berkata bahwa jangan pernah menilai seseorang dari kesalahannya, tapi lihat juga kebaikannya. Mungkin hal ini yang menyebab Ghazi tidak pernah menduga bahwa wanita yang sedang menangis di depannya sekarang bisa berbuat sekeji itu.

Perbuatannya kali ini tidak bisa disebut sebagai kesalahan tapi sebuah kejahatan. Setelah pukang dari toko Rasya, Ghazi langsung bergegas kemari untuk mencari jawaban yang sesungguhnya.

Awalnya, Ines mengelak ketika Ghazi bertanya perihal kecelakaan dan menyodorkan gelang putih bernoda darah itu. Tetapi ketika Ghazi berkata kalau ia akan melindungi Ines asalkan dia mau jujur, Ines akhirnya menceritakan semuanya.

"Waktu itu gue lagi buru-buru balik ke Bandung. Saking paniknya gue beneran gak lihat kalau waktu itu ada orang lagi nyebrang di depan gue. Mereka-" Ines menutup mulutnya tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa lo nggak langsung bawa mereka ke rumah sakit?" tanya Ghazi.

Ines menggeleng. "Gue takut, Gaz, gue panik. Waktu gue turun untuk ngechek kondisi mereka detak jantungnya udah lemah." Tubuh Ines bergetar kalau harus mengingat tragedi itu. "Saat gue mau pergi, tangan gue ditahan sama Ibu itu dan gue gak sadar kalau gelang gue lepas."

Ghazi mengulurkan segelas air karena Ines benar-benar terisak. Sebisa mungkin ia harus menahan emosinya. Ghazi sungguh tidak habis pikir bagaimana Ines bisa menyembunyikan hal sebesar ini darinya.

Setelah meneguk sedikit air, Ines langsung menggenggam tangan Ghazi erat. "Lo janji bakal bantuin gue kan? Gue gak mau masuk polisi. Gue belum siap Gaz!" ujarnya memohon. "Gue janji gue bakal minta maaf ke Razita tapi tolong jangan laporin gue ke polisi!"

Ghazi dilema. Dia sudah berjanji kepada Ines kalau ia akan menolongnya. Anggap saja ini sebagai tebusan atas waktu yang telah mereka habiskan bersama. Sebelum ini, Ines juga banyak membantu dirinya. akan tetapi, bukankah ini berarti Ghazi juga penjahat karena melindungi orang berbuat jahat?

Di saat Ghazi sedang berperang dengan batinnya sendiri. Ines menundukkan kepalanya di kedua tangan mereka. "Pliss jangan tinggalin gue, Gaz. Gue gak mau kehilangan lo!"

Pikiran Ghazi saat ini hanya tertuju pada satu orang, meski Ines yang ada di hadapannya. Ghazi tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kepada Razita kalau Ines adalah pelakunya. Ghazi ingat jika Razita pernah bilang Ines sudah seperti kakaknya sendiri hanya karena kebaikan Ines mengantarnya ke toko milik Rasya.

Lantas, bagaimana perasaan Razita jika tahu semua kebaikan itu hanyalah alasan Ines untuk menjebak Ghazi dan menyelamatkan dirinya sendiri?

"Gue kira hubungan kita lebih dari ini, Nes," Ghazi ikut berkaca-kaca mentap Ines. "Lo satu-satunya orang yang gue percaya lebih dari kedua sahabat gue setelah mama." Hati Ghazi juga masih teriris kala mengingat orang yang ia sayangi justru tega menjebaknya.

"Maafin gue, Gaz. Gue bener-bener gak bermaksud nuduh lo. Gue kira kalau gue ngomong ke Razita lo pernah punya gelang yang sama Razita gak akan menyelidiki masalah ini lagi," ujar Ines.

"Kenapa lo berpikir kalau gue orangnya Razita gak akan meneruskan masalah ini?" Ghazi masih tidak habis pikir dengan isi kepala Ines.

"Karena gue perempuan, Gaz!" jawab Ines sedikit meninggi. "Hanya dari cara dia ngelihat lo gue bisa tahu kalau Razita suka sama lo, Gaz dan lo juga-"

"Gue juga apa? Suka sama dia?" Ghazi menyela lebih dulu karena merasa ucapan Ines sudah melewati batas. "Kalau gue suka sama Razita udah dari dulu gue minta putus sama lo!" Ghazi melepas genggaman tangan mereka.

"Apa gunanya gue mempertahankan hubungan ini kalau dari awal lo sendiri yang udah nggak percaya sama gue. Bahkan, hal sebesar ini pun lo nggak cerita ke gue sementara Rasya tahu semuanya!"

Gimana gue bisa cerita ke lo, Gaz di saat gue tahu lo akan tetap berujung membela Razita, batin Ines pedih. 

Namun, ini bukan saatnya membahas masalah hati. Keselamatannya jauh lebih penting dan hanya Ghazi yang bisa membantunya. "Plis, maafin gue Gaz! Gue beneran bingung waktu itu. Gue gak tahu lagi harus cerita ke siapa."

Ghazi mendudukkan dirinya di sofa dengan kedua tangan menyangga kepala.

Kenapa situasinya menjadi serumit ini? Apa yang harus ia lakukan? Rasanya jalan apapun yang akan dipilihnya mengandung resiko yang sama besarnya. Ya Allah, berilah hamba petunjuk!

Keheningan yang cukup lama terjadi akhirnya membuahkan sebuah solusi. Ghazi langsung berdiri, mengulurkan tangannya pada Ines yang masih tersimpuh di lantai. "Gue bakalan nolongin lo, asalkan lo lakuin apa yang gue minta."

Ines menyambut uluran tangan itu dengan mata berbinar. "Gue harus apa?"

"Kemasi barang-barang lo! Kita pergi sekarang!" tukas Ghazi tegas.

Senyuman Ines mendadak pudar. Ingin bertanya lebih lanjut tentang alasan kenapa Ghazi menyuruhnya pergi dan kemana mereka akan pergi tetapi bibirnya terlalu takut untuk terbuka. Sembari berjalan ke arah kamar, Ines memaksakan senyumnya. Setidaknya ia percaya jika Ghazi pasti akan menepati ucapannya untuk melindunginya.

Selesai berkemas mereka masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan dua puluh menit tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan. Keheningan itu terus berlanjut sampai mereka tiba di Bandara Husein Sastranegara. Setelah tiba di depan pintu keberangkatan, langkah Ghazi terhenti. Ines menoleh ke belakang dan mata mereka bertemu. Ines mencengkram koper di tangannya seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Hati-hati di jalan! kabari gue kalau udah sampai tujuan," Ghazi menepuk sebelah bahu Ines.

"Lo mau apa setelah ini?" Ines sedikit khawatir dengan keputusan yang dibuat Ghazi sekarang. Ghazi yang ada di depannya seperti bukan Ghazi yang ia kenal dulu. Ines tahu ia belum siap untuk menyerahkan diri pada polisi tetapi dia juga tidak ingin melarikan diri dari masalah.

Sementara Ghazi menggeleng pelan. Ia tidak tahu akan berbuat apalagi setelah ini. Orang yang paling ia percaya sudah mengkhianatinya dan yang satu lagi menuduhnya sebagai penjahat.

"Thanks atas bantuan lo, gue janji setelah gue siap dengan segala konsekuensinya gue akan balik lagi secepatnya," ujar Ines yang terakhir kalinya.

Sebelum Ines pergi, Ghazi sempat menahan kopernya. "Nes!" sejak tadi Ghazi sudah menahan untuk mengatakan hal ini. "Kita berhenti sampai di sini ya."

Akhirnya, kalimat yang sangat Ines takutkan keluar dari mulut Ghazi. Rasanya egois kalau ia meminta Ghazi untuk bertahan di saat dirinya sendiri sebenarnya juga lelah dengan hubungan mereka. Sekuat apapun Ines menggenggam tali itu akhirnya putus juga. Ines juga sudah merasa pantas lagi. Ghazi berhak mendapatkan orang lain yang jauh lebih baik darinya.

Meskipun dengan dada yang sesak dan mata memerah Ines tetap memaksakan senyumnya. Setidaknya anggaplah ini sebagai kata perpisahan terakhir sekaligus rasa terima kasihnya untuk Ghazi selama ini. 

"Gue harap lo bisa mendapatkan yang terbaik."

☆☆☆

Dari penulis

Tim Ghazi Razita pasti senyum-senyum nih tahu Ines udah putus sama Ghazi😂

Yang mau marah sama Ines boleh banget, tapi gimana perasaan Razita yaa?

Jangan lupa follow ig dan wattpad aku _storyfadila yaa

Wassalamualaikum

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro