[33] Berpisah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ada yang memiliki perasaan yang sama namun tidak ditakdikan untuk bersama. Ada juga yang tidak memiliki rasa yang sama namun diizinkan untuk saling bersama. Kenapa bisa terjadi? Karena dunia ini adalah bagian dari skenario indah Allah yang tidak mungkin bisa kita tebak bagaimana alur dan endingnya."

☆☆☆

"Razita nggak mau ikut sekalian ke Bandung? Barangkali mau liburan?" Tawar Gayatri saat mereka semua tengah berada di sebuah rumah makan. Kemarin rombongan mereka tidak bisa pulang karena jadwal tiket ke Bandung baru tersedia siang ini.

"Iya, Zit kita kangen sama lo. Nanti nginep rumah gue aja." Mesya menyahuti dengan semangat.

"Nginep rumah gue juga boleh," sahut Lita sama antusiasnya. "Nanti kita bertiga bisa nginep bareng terus besoknya jalan-jalan bareng, pasti seru! Udah lama loh kita gak ketemu."

"Waduh, gue gak diajak nih?" Sahut Yudha iri karena perbincangan para perempuan itu terasa sangat seru namun mengabaikan dirinya.

"Just girl!" Sahut Mesya sewot.

"Eh, emang lo gak mau liburan sama Daniel juga, Sya?" Yudha balik menggoda sambil menepuk bahu Daniel di sebelahnya. Yang disebut namanya hanya melirik sekilas lalu melanjutkan aksi makannya lagi. Entah tidak tertarik atau malah sebaliknya.

"Kenapa kita nggak liburan berenam aja?" Usul Lita asal. Namun, Mesya dan Yudha langsung bersorak girang. Bahkan mereka langsung berhigh-five.

"Setuju banget!"

Tunggu, bukankah tadinya pertanyaan ini diajukan pada Razita. Tapi kenapa malah yang lain yang menjawab? Sementara yang ditanya masih belum buka suara sejak tadi. Hingga akhirnya semua mata tertuju padanya. "Gimana, Zita?"

Jujur sejak tadi Razita ingin buka suara tetapi orang lain selalu mendahuluinya. "Em, lain kali ya Tante Zita main ke sana," tolaknya halus. Kali ini bukan karena Razita ingin menghindar. Sudah tidak ada lagi yang perlu ia hindari. Razita hanya merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bersenang-senang. Mungkin lain kali.

"Yahh, Zit, kok gitu?" Lita mendesah kecewa. "Tante ngizinin Razita ke Bandung kan?" Ia beralih bertanya pada Budhe Mar.

"Terserah Razita aja kalau saya," balas Budhe Mar kemudian menoleh ke arah Razita di sebelahnya. "Kamu mau berangkat bareng mereka nanti? Budhe izinin."

"Iya, kamu nginep di rumah Tante juga gak masalah," sahut Gayatri membuat Ghazi tersedak. Kemudian beberapa orang terlihat saling melempar pandang sambil tersenyum jahil.

"Pelan-pelan aja Gaz minumnya! Keretanya masih lama!" Sindir Yudha sambil menyerahkan segelas air.

Sekar tertawa pelan. "Udah Zit ikut aja, daripada kamu diculik sama mereka!"

Razita sekali lagi hanya tersenyum samar. "Maaf Tante, tapi Razita masih mau di Surabaya dulu nemenin Budhe." Melihat sorot mata kecewa dari Gayatri membuat Razita tidak enak hati. "Razita janji deh pasti kapan-kapan Zita main ke sana," pungkasnya melegakan hati wanita paruh baya itu.

"Tante tagih lo janji kamu!"

Ghazi yang diam-diam memperhatikan interaksi antara ibunya dan Razita merasakan hatinya menghangat. Padahal mereka sangat jarang sekali bertemu, hanya beberapa kali saja tapi kenapa bisa sedekat itu? Mantra apa yang Razita berikan pada mamanya?

☆☆☆

Setelah selesai mengisi perut kini mereka sudah berkumpul di ruang tunggu stasiun. Sekitar dua puluh menit lagi kereta jurusan ke Bandung akan segera melintas. Razita sengaja ingin menghabiskan sisa waktu yang singkat ini dengan mengobrol bersama Mesya, Lita, dan Sekar. Karena entah kapan lagi mereka bisa seperti ini.

Di sisi lain, tak banyak yang bisa ketiga laki-laki itu lakukan. Mereka hanya sibuk dengan ponselnya masing-masing. Namun sebenarnya pandangan Ghazi tidak sepenuhnya berfokus pada satu arah. Sesekali dia juga melirik ke arah lain, ke arah seseorang yang tak lama kemudian meninggalkan ruang tunggu untuk pergi ke suatu tempat.

Karena penasaran Ghazi diam-diam mengikutinya dari belakang. Dan ternyata perempuan itu sedang memesan sesuatu di toko roti yang hampir di setiap stasiun ada. Hanya dengan mencium aromanya saja, semua orang pasti tahu namanya.

"Hot Americano satu!" Ucap Ghazi tiba-tiba. Mengejutkan seseorang di sampingnya.

"Maaf, Mbak rotinya masih proses pengovenan. Mau ditunggu atau ganti menu lain?" Tanya pegawai perempuan itu pada orang di sebelah Ghazi.

"Oh, yaudah saya tunggu aja, Mbak," jawab Razita setelah berpikir sejenak.

Kemudian ia mengambil duduk di sebuah kursi panjang bersama beberapa orang lain yang sepertinya juga menunggu roti mereka matang. Kalau saja roti ini bukan favorit Razita ia pasti tidak mau antri sepanjang ini. Untunglah jadwal kereta masih agak lama.

Ghazi yang selesai memesan Americano kebingungan mencari tempat duduk karena hampir penuh. Hanya ada sisa muat sekitar dua orang di sebelah Razita. Karena kebetulan ada yang ingin dia bicarakan Ghazi akhirnya duduk di sana.

"Mau kopi?" Tawarnya pertama kali untuk basa-basi. Razita menggeleng sembari tersenyum kecil. Syukurlah suasananya cukup ramai sehingga bisa menutupi keheningan keduanya.

"Kak Ghazi beneran nggak papa?"

Ghazi hampir tersedak karena tidak menyangka Razita akan mengajaknya berbicara. "Maksud kamu?"

"Ah itu-" Razita mengarahkan telunjuknya ke ujung kepala hingga kaki Ghazi secara cepat. "Beneran nggak ada yang luka parah? Kan habis kecelakaan, barangkali ada yang kesleo?"

Melihat wajah terkejut Ghazi membuat Razita ragu, apakah topik yang buat sangat ketara kalau itu hanya basa-basi. Sebenarnya Razita hanya ingin meluruskan kesalahpahaman. Dia benar-benar sudah ikhlas dengan semuanya dan memaafkan Ghazi setulus hati. Tapi kenapa sulit sekali untuk mengatakannya secara langsung?

"Alhamdulillah gak sampai patah tulang," jawab Ghazi jenaka. Sengaja untuk mencairkan suasana. Dan tanpa sengaja ia menangkap Razita tersenyum kecil. "Kamu sendiri kenapa sampai bisa ada disini? Bukannya di Surabaya?" Meskipun deg-degan setengah mati akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutnya.

"Mbak Sekar sama Tante Gayatri yang nelpon kemarin. Mereka khawatir sama Kakak dan karena aku yang paling dekat jaraknya aku kesini dulu buat memastikan."

Ada rasa kurang puas dari lubuk hati terdalam Ghazi saat mendengar jawaban Razita yang begitu rasional. "Oh, jadi bukan kamu yang khawatir?" Kepalang tanggung, sekalian saja Ghazi tercebur.

"Eh?" Razita mulai menangkap sinyal-sinyal aneh di kepalanya. Namun bukan Razita namanya kalau tidak tetap tenang di saat seperti ini. Mimik wajahnya sama sekali tidak berubah tetapi kata-katanya mampu membuat Ghazi terbungkam beberapa saat. "Kalau aku nggak khawatir ngapain juga jauh-jauh buang tenaga sama bensin ke sini?"

Apa maksudnya? Seseorang tolong jelaskan pada Ghazi!

Sampai detik ini pun hanya Razita seorang, perempuan yang di balik sikap tenangnya selalu berhasil membuat irama jantung Ghazi berubah-ubah. Dia selalu gagal menebak apa yang ada di pikiran Razita. Apa yang sebenarnya perempuan itu rasakan?

Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ, ketika pegawai toko menyerahkan belanjaan Razita. Untuk apa dia memesan roti sebanyak itu?

"Ini, buat Kakak sama yang lainnya," ujar Razita menjawab kebingungannya.

"Buat apa? Kita semua udah makan tadi," sangkal Ghazi tetapi tangannya sudah menerima kantong tersebut dari tangan Razita.

"Ya nggak papa. Buat camilan di jalan aja. Bandung kan jauh," jawab Razita santai. Padahal kata 'jauh' yang ia ucapkan juga sedikit mengusik hatinya. Ia seolah tidak rela kalau semua teman-temannya harus kembali saat ini juga. Perpisahan lagi dan lagi. Sebanyak apapun Razita mengalaminya ia tidak akan terbiasa dengan kata yang menimbulkan sesak di dada itu.

"Terlalu jauh ya sampai kamu bersikeras menolak kembali ke sana?" Dan tanpa diduga Ghazi mengatakan kalimat tersebut dengan wajah letihnya. Iya, ia letih berpura-pura baik ketika kondisi hatinya tidak sebaik yang terlihat. Ia letih dengan perasaannya saat ini.

"Kenapa lo gak mau kesana? Lo bilang udah maafin gue sepenuhnya?"

Sekeras apapun Ghazi mencoba terbiasa dengan kata 'aku-kamu' saat berbicara dengan Razita rasanya tetap saja tidak nyaman. Seperti bukan dia yang bicara. Untuk kali ini saja, Ghazi ingin menjadi dirinya yang sesungguhnya.

"Tapi aku emang udah maafin, Kak Ghazi. Demi Allah!" Razita sampai membawa kata tersebut dalam kalimatnya. Berharap Ghazi mengerti kalau ia tidak sedang berbohong.

"Kalau masalah ke Bandung aku emang gak mau kesana sekarang. Pertama, aku belum dapat cuti aku harus tetep kerja gak bisa kesana sekarang. Kedua, rasanya aneh aja kalau kemarin aku habis nangis-nangis terus besoknya aku ketawa-ketawa. Membalikkan hati gak semudah membalikkan telapak tangan, Kak."

Ghazi membuang napas kasar. Kenapa sulit sekali membuat Razita mengatakan yang sebenarnya. "Terus ngapain lo harus nangisin gue di saat kita bukan siapa-siapa?"

Skak mat. Razita langsung terbungkam seketika. Dia harus menjawab apa? Bohong kalau Razita bilang ia tidak punya rasa apa-apa pada pria di depannya sekarang. Nyatanya sejak dulu dia selalu senang ketika Ghazi berhasil mencapai sesuatu begitu pula ketika mendengar kabar buruk tentang Ghazi, hatinya akan merasa cemas. Sekuat apapun dia menyangkal, perasaan itu benar adanya. Namun, bukan cara seperti ini yang Razita inginkan sebagai penyampainnya.

"Jawab, Zit! Kenapa lo diem aja? Lo selalu punya jawaban atas semua pertanyaan kan?" Desak Ghazi sedikit memaksa.

Bukannya menjawab Razita malah membalikkan badan dan menjauh. Sayangnya baru beberapa langkah dia berhenti.

"Gue suka sama lo, Ta. Gue cinta sama lo!" Ucap Ghazi pelan tapi mampu terdengar oleh telinga Razita. "Gue tahu mungkin cara gue sekarang emang salah. Tapi gue cuma mau lo tahu gimana perasaan gue yang sebenarnya. Gue gak mau Ta mengikat lo lebih jauh kalau ternyata lo gak punya perasaan yang sama ke gue." Ghazi maju dua langkah ke depan sehingga menyisakan jarak selangkah dari punggung Razita.

"Pernikahan bukan hanya tentang satu orang, Ta tapi dua orang. Gue tahu apa yang lo mau. Gue tahu lo gak mau pacaran. Tapi gue juga gak mau lo merasa bersalah seandainya gue udah melamar tapi ada orang lain di hati lo dan itu bukan gue." Ghazi tidak pernah membayangkan akan mengatakan hal seperti ini di keramaian seperti ini. Walaupun tidak ada yang mendengar tetap saja rasanya aneh.

Namun, apa boleh buat. Sebagai seorang pria sudah menjadi tugasnya untuk memberi kepastian. Bukan hanya sekedar janji manis. "Gak cuma perempuan, Ta yang butuh kepastian. Laki-laki juga butuh."

Melihat tidak ada reaksi sama sekali dari Razita membuat mata Ghazi mulai memanas. "Kalau emang lo gak mau ngomong ke gue sekarang gak masalah, Ta. Tapi setidaknya kasih gue jawaban suatu saat nanti. Supaya gue bisa melangkah dan gak terus-terusan singgah di rumah yang bukan milik gue."

Setelah mengutarakan semua isi hatinya Ghazi kembali ke tempat semula, melewati Razita yang masih membeku di tempatnya dengan mata berkaca-kaca. Lima menit kemudian kereta sampai. Razita menghapus air matanya dan menyusul Ghazi.

Di depan semua orang, keduanya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Razita bahkan sempat melambaikan tangan dan tersenyum kepada teman-temannya juga Tante Gayatri. Pada detik terakhir, sebelum pintu kereta tertutup matanya sempat bersitatap dengan Ghazi.

Razita akhirnya benar-benar bisa melihat sorot mata itu. Sorot mata yang mengatakan bahwa hanya dia yang ada di dalamnya bukan orang lain. Sayangnya waktu lebih dulu membawa kereta itu pergi. Meskipun ada perasaan yang tertinggal.

Hari ini, stasiun dan kereta mengajarkan Razita sesuatu. Bahwa kita manusia hanyalah kereta yang terus berjalan lalu berhenti dari stasiun satu ke stasiun yang lainnya. Tidak peenah benar-benar menetap untuk waktu yang lama.

Lalu, apakah ini saatnya bagi Razita untuk memilih kemana keretanya akan berhenti? Benarkah Ghazi adalah stasiun yang tepat? Ataukah keretanya masih harus melaju untuk beberapa waktu lagi? 

☆☆☆

Dari Penulis

Pisah lagi pisah lagi

Sabar dulu yaa

Kalau mau bersatu emang mesti banyak rintangannya. Tapi kalau kebanyakan rintangan bisa jadi tanda gak bersatu juga kan?

Semakin mendekati ending, mana dukungannya?

Sama seperti kehidupan kita berada di tangan Allah, ending cerita ini juga berada di tangan author jadi terserah author mau gimana😂😂



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro