[35] Surprise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mendapatkanmu bukanlah hal yang mudah, tetapi melepaskanmu itu jauh lebih susah."

☆☆☆

"Bener ini alamatnya?" tanya Razita setelah turun dari angkot bersama Zahra.

"Ini bener ini rumahnya," jawab Zahra sangat yakin. Ia akan menarik tangan Razita untuk segera masuk tetapi Razita masih bergeming di tempat. "Kenapa?"

"Kamu nggak ngrasa aneh, Ra? Harusnya kalau urusan pekerjaan atau pertemuan formal seenggaknya di tempat umumlah masak di rumah? kalau kita diapa-apain gimana?" Razita bahkan hendak pergi menjauh.

"Eh, mau kemana?" Zahra mencegahnya.

"Mau pergilah. Kalau kamu maksa masuk sendirian aja aku tunggu di sini!" tukas Razita tegas. Bulu kuduknya sudah merinding membayangkan bahaya yang akan mengintai. Sebab zaman sekarang, manusia lebih menakutkan dari setan. Razita merasa ditipu kalau sudah seperti ini. Tahu begitu ia tidak akan jauh-jauh ke Bandung untuk menghadiri workshop tidak jelas.

Zahra mengeluarkan hpnya dan menunjukkan ke hadapan Razita. Tertera nomor 022 di layar. "Kalau ada apa-apa aku langsung tekan panggil deh!"

Karena Razita masih bergeming dan tidak kunjung mengiyakan Zahra tanpa babibu menyeret tangan sahabatnya melewati pagar rumah.

"Ra, nggak mau ah! Lepas!" Razita baru tahu kalau kekuatan Zahra melebihi dirinya.

Terlambat. Zahra sudah menekan bel. Razita langsung menutup matanya dan berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa.

"Assalamualaikum, Tante," sapa Zahra setelah pintu terbuka.

"Waalaikumsalam. Eh kalian, kok cepet sampainya?"

Razita langsung membuka mata saat merasa familiar dengan suara wanita tersebut. "Tante Gayatri?" Janngan bilang ia sedang berada di rumah Ghazi sekarang?

Tidak mempedulikan keterkejutan Razita, Gayatri memeluknya begitu saja. "Tante kangen banget sama kamu, Sayang. Akhirnya kamu datang ke sini juga!"

Setelah pelukan mereka terlepas, Razita melempar pandangan tajam pada Zahra. "Aku nggak tahu apa-apa!" jawabnya dengan sedikit senyum yang disembunyikan.

"Masuk dulu, masuk dulu!" Gayatri langsung membawa keduanya masuk ke dalam. Sampai mereka duduk di kursi Razita masih mengincar jawaban dari Zahra karema tidak mungkin kalau sahabatnya itu tidak tahu apa-apa. Dia pasti ikut terlibat. Entah rencana apa yang sedang menantinya.

"Nah, itu orangnya," celetuk Gayatri. Razita dan Zahra langsung menoleh ke arah tangga. Mata Razita semakin melebar saat melihat pria itu berjalan ke arah mereka. kali ini ia sedang berhalusinasi seperti kemarin atau ini benar-benar nyata? Ghazi ada di depannya?

"Ehem," Ghazi berdehem.

Razita langsung tersadar sekaligus terkejut karena pria itu sudah duduk di sebelah mamanya. berhadapan dengan dirinya. Tunggu, Razita masih tidak paham dengan situasi ini!

"Tante, aku haus nih, aku ambil minum dulu ya," pamit Zahra tiba-tiba.

"Oh, ya Tante sampaai lupa gak bikinin kalian minum!" Gayatri ikut menyusul Zahra.

Meskipun keduanya berada di dapur dan masih bisa terlihat oleh kedua mata Razita, tetap saja ia merasa tidak enak kalau harus ditinggalkan berdua seperti ini. Apalagi bersama seseorang yang tidak pernah ia temui selama sepuluh bulan.

"Apa kabar?" Ghazi lebih dulu memulai pembicaraan. Sebab ia tahu Razita pasti sangat gugup sekarang.

"Alhamdulillah baik," jawab Razita sopan tapi matanya tetap menatap dua orang di dapur yang dari gelagatnya seperti sengaja melama-lamakan aksi membuat minuman. "Kak Ghazi gimana?" ia lalu menoleh sekilas.

"Masih sama gini-gini aja dari dulu," jawab Ghazi agak bervariatif. Padahal jika diamati banyak sekali hal yang berubah darinya. Mulai dari pawakannya, cara, berpakaiannya dan kac—

"Kak Ghazi dateng ke workshop di Hotel Marina?" celetuk Razita spontan ketika teringat dengan pria yang ia temui di lift. Tidak salah lagi, pria itu adalah Ghazi.

Ghazi sempat mengernyit. "Kok kamu tahu?"

"Lah, tujuan kakak nyuruh aku kesini kenapa? Jadi kakak pematerinya? CEO itu?" Razita memberondong Ghazi dengan banyak pertanyaan sekaligus. Kesimpulannya Razita sudah tahu kalau kejadian hari ini sudah direncanakan sejak kemarin.

Ghazi melepas kacamatanya dan menghembuskan napas kasar. "Susah ya mau ngasih kamu surprise," ujarnya kecewa.

"Maksudnya?" Razita masih tidak mengerti. Surprise apa yang dibuat Ghazi untuknya?

"Saya, em gue-" Ghazi mulai tergagap. Sedikit deg-degan kalau ditatap menyelidik oleh Razita. "Menurut kamu kenapa saya ngajak kamu di sini? Sekarang?" dalam hati Ghazi merunti dirinya sendiri. Pertanyaan maca apa itu?

Razita menggeleng polos. "Ya mana aku tahu. Aku aja baru tahu kalau ini rumah Kak Ghazi. Tapi dari kemarin aku udah curiga sebenarnya, mulai dari saat ketemu Kakak di lift, ngisi kuisioner aneh, terus barcode sama tempat ketemuan yang tiba-tiba diganti. Aku yakin itu semua rencana kakak kan? Tapi buat apa?"

Ghazi menahan tawanya dan mengeluarkan selembar kertas dari map yang ia bawa. "Kuisioner ini maksudnya?" ia menghadapkan kertas itu ke arah Razita.

"Nah, itu!" jawab Razita cepat. Raut wajahnya tiba-tiba menjadi kesal. "Kalau mau ketemu langsung aja sih Kak bilang ngapain coba ngrencanain sedetail ini?"

Ghazi mengengkat sebelah alisnya. "Memang kalau saya bilang mau ketemu kamu mau? Kamu udah nggak marah sama saya."

"Eh?" Razita mengerutkan keningnya. "Perasaan Kakak yang waktu di stasiun ngambek kok jadi aku?' tudingnya menunjuk diri sendiri.

Melihat reaksi Razita sekarang sama seperti Razita di awal mereka bertemu sebelum kejadian tabrak lari itu terungkap. Momen seperti ini sudah sejak lama Ghazi rindukan.

Ghazi mulai menegakkan punggungnya. Seolah bersiap untuk sesuatu yang serius. "Sebenarnya saya bukan pemateri atau CEO-nya loh, Ta. Itu temen saya. Saya cuma menenin dia kemarin." Ghazi melirik Razita sekilas lalu berdehem lagi. "Tapi soal kuisioner sama barcode itu saya yang kirim buat kamu."

Razita bukan tipe orang pelupa. Ia ingat betul soal-soal di kuisioner ini. "Apalagi saat Ghazi mulai membacanya. Rasanya Razita ingin meminjam pintu doraemon untuk pergi sekarang juga.

"Pertanyaan pertama, jika perusahaan diibaratkan seperti rumah tangga sosok CEO atau pemimpin seperti apakah yang kamu harapkan? Pertanyaan kedua, jika seorang CEO berbuat salah dan tidak sesuai dengan visi perusahaan apakah kamu akan berpindah tempat atau menegur CEO itu? pertanyaan ketiga, apabila suatu saat nanti kamu menemukan sosok pemimpin/CEO yang tepat perusahaan seperti apa yang ingin kamu bangun dengannya?"

Sementara Razita menunduk sambil menggigit bibirnya, Ghazi justru tertawa. "Dari tiga pertanyaan panjang itu kamu cuma jawab dengan satu kalimat, Anda mencari karyawan atau mencari jodoh?"

Razita memberanikan diri untuk menatap Ghazi. "Bener kan jawaban aku? Pertanyaanya aja yang aneh? Lagian buat apa juga Kak Ghazi buat kuisioner ngaco gitu? Mau cari jodoh?" Razita tampak tidak sadar dengan ucapannya barusan. Namun, karena Ghazi tidak kunjung menjawab dan situasi mendadak hening Razita langsung menyadari sesuatu.

"Menurut kamu untuk apa saya merencanakan semua ini?" suara Ghazi berubah lebih serius. "Kamu belum buka barcode-nya?"

Razita menggeleng pe;an. Tangannya mengeluarkan hp dengan sedikit gemetar. Razita bukan orang bodoh yang tidak bisa menyimpulkan hal sekecil ini. Setelah membuka aplikasi QR Code Reader dan mengscan barcode yang ia dapat semalam tubuh Razita membeku.

Dear, Razita Nirmala

Thanks for being my flashlight

Razita menatap Ghazi yang sempat menundukkan kepalanya sejenak. "Selama ini saya selalu menyangkal perasaan saya untuk kamu. Saya pikir saya hanya merasa tertarik dengan kamu karena kamu tidak pernah merespon saya. Tapi, setelah kejadian itu dan banyak pertengkaran yang kita lalui saya sadar kalau selama ini ketakutan terbesar saya adalah kehilangan kamu."

Razita masih terdiam karena jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

"Sepuluh bulan yang lalu, sejak semuanya selesai saya selalu berusaha melupakan kamu tapi semakin saya lupakan semakin saya ingat juga. Kata mama saya harus beristikharah. Alhamdulillah, sampai detik ini jawaban yang saya dapat tetap sama, yaitu kamu." Ghazi mengeluarkan sebuah kotak berisi cincin di sana.

"Bismillahirrahman nirrahim, Razita Nirmala maukah kamu menjadi pelengkap saya, menerima setiap kekurangan dan kelebihan saya, serta mendampingi saya sampai ke surga-Nya?"

Mata Razita mulai berkaca-kaca tapi jujur Razita bingung harus bereaksi apa. Semua ini terlalu mendadak untuknya. "Ak-aku terserah Budhe aja, Kak. Dia udah seperti orang tua aku. Harusnya Kakak tanya Budhe lebih dulu seb—"

"Budhe udah setuju kok." Seorang wanita paruh baya keluar dari arah kamar bersama dengan dua orang lain dari dapur. Razita spontan berdiri, kaget melihat Budhenya ada di tempat ini. Bukankah seharusnya Budhenya ada di Surabaya?

"Untuk restu Budhe sudah restui kamu sepenuhnya dengan Ghazi. Keputusan terakhir ada di tangan kamu!" ujar Mariani menegaskan sekali lagi. Razita melirik Gayatri dan Zahra yang berpegangan erat menanti jawaban dari mulutnya. Terutama pria yang berdiri di depannya.

"Razita ingin istikharah terlebih dahulu!" 

☆☆☆

Dari penulis

Siapa yang senyum-senyum baca part ini?

Aku yang nulis aja ikut baper:)

Perjuangan Ghazi gitu amat buat dapetin Razita. Kira-kira Razitanya mau gak ya?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro