17. Peringatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Del, gue nggak kuat banget! Lo duluan aja ke kantin. Pesenin mi ayam! Entar gue nyusul."

Rafi yang baru muncul dari pintu kelas langsung berseru pada Delta sambil menunjukkan sabun cair, kemudian lari terbirit-birit menuju toilet. Kedua tangannya di simpan di atas perut, memperjelas kondisinya ke orang-orang. Delta menyahut "oke" sambil melambaikan tangan, mengabaikan beberapa teman sekelasnya yang terkekeh. Selepas kepergian sohib beda kelasnya itu, dia menyimpan pulpen dan buku tulis ke kolong meja. Kelas yang beberapa menit lalu sepi karena fokus pada proses pembelajaran kini ramai seperti pasar. Anak cewek sibuk membuat kerumunan gosip dan sebagian lainnya pergi ke kantin, sementara anak cowok langsung mojok di sudut kelas untuk bermain online game dan sebagian lainnya pergi ke luar kelas.

Delta melirik ke belakang kelas. Jejen, Alex, Levi dan Fauzi ada di sana, duduk di dekat rak buku bacaan literasi sekolah. Mereka sedang tertawa entah untuk alasan apa. Tawanya mengisi ruang kelas dan mendominasi keramaian. Empat sekawan itu tidak terpisahkan. Kalau bolos, pasti semua ikut meski waktu bolos dan alasannya berbeda-beda. Alasan klise andalan mereka adalah pergi ke toilet tetapi malah menghilang sampai pembelajaran berakhir. Walaupun mereka dicap nakal dan sering dibilang menyebalkan oleh anak-anak cewek, Delta merasa kenakalan mereka tidak parah-parah amat. Mereka hanya sering iseng, membuat kegaduhan di kelas, dan bolos pelajaran. Beberapa kelakuan mereka adalah menggoda Tati yang baru putus dengan pacarnya, menjahili Yayan kalau sedang tidur di kelas, dan yang paling parah sejauh ini adalah mengempeskan bas mobil Pak Dodi.

Delta menghela napas berat. Jika di antara mereka ada pelaku pencurian ponsel Lika, siapa yang paling mungkin? Jejen si ketua empat sekawan, Alex si kocak, Levi si keras kepala, atau Fauzi si lamban?

"Del!" Tepukan di bahu membuat Delta terlonjak dan menoleh ke arah si pelaku. Akibatnya, pemetaan di kepalanya hancur berkeping-kepeing. Kai muncul dengan senyum lebar. "Kenapa?" tanya cowok itu sambil ikut melihat ke arah Jejen dan kawan-kawan.

Delta menggeleng. Harusnya dia yang bertanya seperti itu. "Ada apa?" tanyanya.

Bukannya menjawab, Kai balik bertanya sambil menunjuk empat sekawan dengan dagu. "Menurut lo, di antara mereka siapa yang memiliki kemungkinan jadi si pelaku?"

Kedua bola mata Delta melebar. Kai tahu?

Kai menatapnya bingung. "Lo belum tahu kalau mereka mungkin aja pelakunya?"

"Lo...?"

"Gue ada di tempat kejadian perkara, sama mereka," jelas Kai. "Lo belum tahu? Gue kira lo udah tahu, makanya waktu itu nanya soal Resya dan Julian. Gue pikir lo mau tanya-tanya mereka buat referensi siapa yang mungkin jadi pelakunya."

Delta mengangkat bahu muram. "Waktu itu gue salah langkah," akunya.

Jelas saja. Delta tidak berpengalaman membongkar kasus pencurian. Bahkan tidak pernah berpikir untuk melakukan hal itu sebelumnya. Ini adalah kali pertama dan semoga saja terakhir. Delta menatap Kai lalu menyadari kesempatan ini bisa dipakai untuk bertanya kondisi tempat kejadian perkara dari sudut pandang cowok itu. Delta segera bertanya, "Lo bisa cerita saat kejadian gimana kondisi sekitar?"

"Tentu," jawab Kai lalu mulai berpikir. "Waktu itu kelas kita baru beres olahraga dan anak-anak pada mencar. Ada yang masih di lapangan, ada yang langsung mandi atau ganti baju, dan ada yang pergi ke kantin. Gue lapar dan mau ke kantin, tapi uang gue ada di tas. Jadi gue ke kelas dulu. Di sana gue ketemu Jejen, Alex, Levi dan Fauzi. Karena mereka mau ke kantin juga, gue jadi bareng mereka. Saat itu kondisi koridor rame soalnya pergantian pelajaran. Banyak anak kelas lain yang berkeliaran di luar kelas pas jam segitu. Gue merasa nggak ada yang aneh di koridor dekat toilet. Empat sekawan itu juga biasa aja. Mungkin, karena gue nggak terlalu peka sama sekitar. Yang gue ingat, waktu di kantin, Jejen balik ke kelas duluan. Itu lumayan janggal. Biasanya mereka selalu balik bareng dari kantin."

Delta setuju dengan pendapat Kai. "Apa ada hal atau yang menurut lo mencurigakan?"

Kai menggeleng. "Gue nggak terlalu yakin ada hal mencurigakan. Gue hanya tahu mereka berempat aja yang ada di sana, orang-orang lainnya gue nggak kenal," tambahnya.

Delta mengangguk paham, menyimpan informasi tersebut di kepala. Meski sering membuat ulah, empat sekawan itu kalah nakal dibandingkan Yuda. Mereka masih berada ditaraf sedang, sedangkan Yuda sudah masuk jajaran anak nakal di sekolah. Walaupun begitu, kemungkinan mereka mencuri selalu ada, kan?

"Gue penasaran," kata Delta. "Kenapa lo terlihat penasaran sama kasus ini? Lo jadi banyak ngobrol sama gue padahal sebelumnya kita nggak terlalu bercakap-cakap sesering ini."

Kai tertawa hambar, seolah malu karena pernyataan Delta benar. "Sori kalau dulu lo merasa gue menjaga jarak," katanya. "Saat tahu kasus Lika melibatkan lo, gue hanya merasa lo akan bisa memecahkan kasus ini."

Satu alis Delta terangkat. "Hubungannya?"

"Kalau pelaku pencuri ponsel Lika adalah komplotan Thi dan dia berhasil lo tangkap, gue bisa tanya ke mana komplotan Thi menjual jam tangan gue. Gue harus dapat jam tangan itu."

"Lo mau membelinya balik?"

"Kurang lebih kayak gitu."

"Jam tangan itu penting banget, kayaknya."

Kai mengangguk. "Pencuri seringnya mencuri barang tanpa mikir panjang seberarti apa barang itu bagi si korban."

"Betul."

Kai menghela napas berat. "Gue merasa sekolah kita terlalu banyak masalah," jelasnya. "Komplotan Thi hanya salah satunya."

Delta berpikir keras. Masalah sekolah ini selain komplotan Thi adalah ... kabar burung soal korupsi pembangunan laboratorium. Mungkinkah itu yang dimaksud Kai? Kabar burung itu mulai beredar seminggu yang lalu. Katanya, uang dari siswa untuk pembangunan laboratorium kimia dan laboratorium bahasa dikorupsi pihak sekolah. Namun, belum ada konfirmasi atau kejelasan sampai sekarang.

"Kai!" seruan Yuda membuat dua orang itu menoleh ke arah pintu. Cowok yang dikenal nakal itu memasang muka masam. "Lo dipanggil Pak Bagus, tuh. Disuruh ke ruang guru. Kayaknya dia mau bahas soal kabar burung korupsi pembangunan lab." Nada suara Yuda terdengar tidak suka. "Palingan mereka bakal nyuruh lo buat bilang ke seluruh siswa kalau itu cuma gosip dan mewanti-wanti mereka nggak usah sebar berita itu keluar sekolah. Ck! Klise."

Delta meringis saat mendengar omelan dan sindiran Yuda untuk pihak sekolah. Sementara Kai berhasil mengendalikan ekspresi dan tetap menampilkan senyum bersahabat.

"Oke, Yud. Thanks infonya." Yuda langsung melesat pergi. Kai menatap Delta. "Gue duluan. Good luck, ya."

Sebelum Kai pergi, Delta memanggilnya, "Kai. Gue penasaran. Kenapa lo yakin gue akan bisa menangkap pelakunya?"

Kai menyeringai. "Dilihat dari sikap lo pada kasus ini, gue merasa akan ada hal buruk terjadi sama lo kalau lo nggak berhasil nangkap si pelaku." Delta mengernyit dan Kai terkekeh. "Del, gue ini lumayan memperhatikan temen-temen sekelas, jadi gue tahu gimana sikap mereka saat normal. Dan sekarang gue merasa sikap lo lagi nggak normal."

Apa sejelas itu?  Rafi juga menyadari hal serupa.

Delta mengangguk dan membiarkan Kai berlalu pergi. Dia lantas berjalan menuju kantin sesuai perjanjiannya dengan Rafi; mencari tempat duduk kosong dan memesankan mi ayam untuk cowok itu. Delta memilih berbelok ke koridor laboratorium fisika yang biasa menjadi jalur sepi menuju kantin. Di sebelah laboratorium itu, sedang ada pembangunan laboratorium kimia dan laboratorium bahasa. Bangunan itu baru setengah jadi, padahal sudah satu tahun berlalu sejak dimulai pembangunan. Ini yang tadi diungkit Yuda.

Tahu tidak akan ada pekerja di kawasan pembangunan tersebut, Delta memilih jalan ini. Dia sedang butuh berpikir keras untuk mengevaluasi semua infromasi yang didapatkannya. Setelah berbicara dengan Kai barusan, Delta merasa benar-benar kosong. Dia tidak mempunyai petunjuk apa pun meski sudah mengetahui siapa yang mungkin menjadi si pelaku. Dia jadi ingat sikap Lika kemarin. Cewek itu tahu sesuatu dan bahkan mungkin tahu siapa si pelaku. Delta harus mengawasinya lebih lanjut.

"Delta?"

Panggilan itu membuat langkah Delta berhenti. Sial. Dia mengenali suara itu. Cowok itu mengatur emosi dan berbalik. Sosok Pak Dodi muncul di depan muka dengan senyum yang—sumpah—terlihat menyebalkan. Delta memamerkan senyum paksa dan etika sopan santun  dasar. "Siang, Pak."

Pak Dodi mengibaskan tangan. "Nggak perlu basa-basi. Gimana? Sudah dapat petunjuk atau mungkin sudah tahu siapa pelakunya?"

Delta menggeleng. "Belum, Pak."

Raut wajah Pak Dodi mengeras. "Sekarang tanggal berapa? Kalau saya nggak salah hitung, sesuai perjanjian, waktu kamu tinggal seminggu lagi."

Delta mengetatkan rahang dan mengangguk. "Benar, Pak."

"Oke," katanya. "Saya tunggu kabar dari kamu secepatnya." Pak Dodi berjalan pergi. Delta tidak merespons perkataan terakhirnya itu. Kedua tangan cowok itu mengepal dan urat lehernya terlihat. "

Kemudian, dia teringat sesuatu. "Tunggu, Pak."

Pak Dodi berbalik dan mengangkat satu alis. "Bagaimana kalau pelakunya bukan komplotan Thi, Pak?"

Pak Dodi tersenyum sinis. "Maka dia harus membongkar komplotan Thi. Salah siapa mencuri sambil mencatut nama komplotan Thi?"

Bukan mencatut, jelas Delta, Pak Dodi sendiri yang menyimpulkan hal itu.

"Kenapa Bapak sangat mau komplotan Thi tertangkap?"

"Kenapa? Tentu saja saya ingin sekolah ini bebas dari kejahatan di sekolah."

"Kalau begitu, apa Bapak juga akan mengungkap kejahatan lain di sekolah, misalnya kabar burung tentang kasus korupsi pembangunan laboratorium?" Entah kenapa, Delta keceplosan mengatakan hak itu. Mungkin karena sindiran Yuda tadi. Dia jadi ingin ikut menyampaikan unek-uneknya.

Sudut bibir Pak Dodi berdenyut. "Itu hanya gosip."

Delta tersenyum sinis. Gosip. 

Pak Dodi kembali berjalan. Delta menyadari satu hal. Kalau komplotan Thi tertangkap, maka citra sekolah tetap bagus dan akan ada banyak siswa yang mendaftar ke  sekolah sehingga pembangunan tetap lancar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro