Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Yan, pokoknya besok Minggu kamu nggak boleh ada acara, ya. Jadi sopir Mama seharian."

Gian yang sedang berlari di atas treadmill sepertinya tak mendengar ucapan Niken. Earphone yang tersumpal di telinga mengalunkan suara Bon Jovi dengan lagu Thank You jauh lebih lantang daripada suara sang mama.

"Gian! Diajak Mama bicara kok nggak dijawab."

Niken mendekat. Dari gerakan bibir Niken yang membuka lalu mengatup, Gian pun tahu ibunya lepas mengatakan sesuatu.

Gian mengerling ibunya lalu mengatur treadmill dalam mode cooling down. Setelah kecepatan lari yang dihasilkan alat olahraga itu melambat, ia melepas earphone. "Mama bilang apa? Gian nggak dengar."

"Besok Minggu antar Mama dan ibu-ibu arisan. Kita kekurangan sopir."

"Ke mana?" Gian berjalan di atas treadmill sebelum mematikannya.

"Ke Kotagede. Ibu-ibu mau kasih donasi."

"Hmmm...," gumam Gian tanda setuju. Kelompok arisan ibunya memang sering memberi santunan pada panti asuhan atau menjadi donatur acara-acara berorientasi amal. Setidaknya Gian dan papanya bisa merasa lega sebab acara kumpul-kumpul yang diikuti Niken punya tujuan positif yang jelas. Bukan arisan untuk patungan membeli perhiasan berlian,  tas import mahal atau yang paling parah, arisan berondong.

"Ada Nayla ikut juga," beritahu Niken.

Mendengar itu, Gian berdecak. Ia berjalan melewati ibunya dan menyambar botol air putih dingin yang sudah disiapkan di meja, lalu membuka pintu kaca geser yang menghubungkan ruang olah raga dengan teras samping. Sepasang burung lovebird peliharaan ayahnya berkicau nyaring, memenuhi udara.

"Mama masih berusaha ngejodohin Gian sama Nayla?" tanya Gian setelah menelan beberapa teguk air dan duduk di salah satu kursi rotan bundar dengan dudukan busa empuk.

"Bukan ngejodohin, kenalan aja kan nggak apa-apa kan? Siapa tahu bisa berteman." Niken ikut duduk di kursi yang lain.

"Teman Gian udah banyak." Cara ibunya berkilah membuat Gian geli. Memangnya ia anak kelompok bermain yang masih harus dicarikan teman?

"Tapi cowok semua." Niken mencebik.

Zaman sekarang ini apa-apa serba dicurigai. Lelaki yang sering jalan dengan sesama lelaki, disangka gay. Jika sering pergi dengan wanita, dicap playboy dan penjahat kelamin. Gian menghela napas dan kembali meletakkan botol minum ke atas meja. "Apa Mama maunya lihat Gian jalan sama cewek gonta-ganti gitu? Jadi playboy?"

"Pokoknya kalau kamu belum bawa calon istri ke hadapan Mama, Mama bakal desak kamu terus supaya jadian sama Nayla. Bayu yang lebih muda daripada kamu aja udah punya cewek. Pacarnya awet sejak zaman kuliah."

Pacar Bayu dikasih formalin, kayaknya. Jadi, awet. "Bayu jangan dijadiin panutan. Itu anak nggak ada benernya, Ma," debat Gian.

"Anaknya teman Mama, lebih muda daripada kamu, baru lulus S1 udah berani nikah. Masa kamu yang lebih tua, kalah?" Niken belum kehabisan amunisi untuk mendesak putranya.

"Ma, menikah itu bukan balapan. Bukan siapa cepat, dia menang."

"Iya Mama tau, tapi teman-teman Mama udah mulai sering tanya, kapan Mama mantu? Mama risih ditanya terus." Secara fisik, Gian punya ketampanan di atas rata-rata. Secara ekonomi juga sudah mapan. Tapi entah mengapa, Gian masih setia melajang. Ibu mana yang tidak kepikiran? 

"Mama juga kepengin lihat kamu berumah-tangga, punya anak," imbuh Niken dengan nada sendu.

"Nanti tiba saatnya, Ma. Dan Mama nggak perlu repot-repot ngejodohin. Gian udah ada pandangan calon menantu untuk Mama, tapi bukan Nayla." Tentu saja bukan Nayla. Bertemu Nayla saja Gian belum pernah.

"Kamu udah ada calon?" Air muka Niken mendadak semringah.

"Gebetan."

Gian benar-benar belum bisa mengenyahkan ketertarikannya pada Adisti. Gadis itu terlalu cantik untuk dilewatkan begitu saja. Terlebih, perasaan Gian mengatakan Adisti masih sendiri.

"Cantik?" selidik Niken.

Adisti? Beuh, bidadari aja kalah. "Cantik dong, kayak Mama."

"Kamu nih, paling bisa kalau merayu Mama. Mana fotonya, Mama mau lihat."

"Foto siapa?"

"Foto gebetanmu lah."

Gian mengulurkan tangan, menjangkau ponsel di meja. Ada foto Adisti yang ia ambil secara sembunyi-sembunyi. Foto Adisti yang sedang mengobrol dengan Arin, petugas front office di Prime English, setelah selesai melakukan presensi finger print.

Hari itu, Gian baru saja datang ke kantor dan melihat Adisti tertawa, entah lelucon apa yang dikatakan Arin. Tangan Gian bergerak begitu saja, mengambil ponsel dan menjepretkan kamera. Sosok Adisti yang sedang tertawa adalah yang paling Gian sukai. Tawa renyah gadis itu bahkan sudah memikatnya sejak jumpa pertama.

Gian menunjukkan foto itu pada ibunya. Niken memperhatikan sosok Adisti dengan serius, membuat Gian merasa ia sedang mengajukan proposal dan menanti ACC.

Niken melebarkan senyum. Soal selera, Gian memang punya standar yang tinggi. Gadis yang ada dalam foto berparas cantik, perawakannya ramping mirip seorang model.

"Lho, ini kan kantormu, Yan? Perempuan ini kerja di sana?" Niken tentu mengenali lobi gedung Prime English yang dihiasi panel dinding bermotif batik.

"Iya, dia karyawan baru. Tapi Gian udah pernah ketemu dia di Bali, satu tahun yang lalu. Sempat kenalan lalu hilang kontak. Cantik kan?"

"Cantik, tapi keluarganya gimana? Ingat ya, bibit, bebet, bobot harus baik semua."

"Iya, Mamaku tercinta." Gian tahu orangtuanya tidak memandang status ekonomi seseorang. Kaya atau miskin tidak menjadi masalah. Yang terpenting, calon istri Gian haruslah wanita dari keluarga baik-baik, seiman, dan bertingkah laku baik pula.

"Gian sedang pendekatan, Ma. Doain semoga lancar. Supaya bisa cepat nikah, lalu kasih Mama cucu yang imut-imut."

Niken tersenyum membayangkan bayi berpipi bulat yang cantik dan menggemaskan. Pasti menyenangkan sekali jika rumah ini ramai diisi celotehan bayi. Wanita itu terlalu larut dalam angan sampai tidak menyadari kehadiran suaminya di teras samping.

"Eh, Pak Burhan, nyariin istrinya ya? Baru juga ditinggal sebentar, udah kangen aja." Menggoda orangtuanya selalu memberikan kesenangan tersendiri bagi Gian.

"Lagi pada ngobrolin apa?" tanya Burhan. Lelaki itu bergerak menuju sangkar burung dan bersiul memancing kicauan yang lebih riuh dari burung-burungnya.

"Ini, Pa. Gian akhirnya naksir cewek," sahut Niken penuh kelegaan.

Gian memasang wajah masam. Ucapan Niken memberi kesan seolah Gian selama ini mengalami disorientasi seksual saja.

"Cewek mana?"

"Karyawan di kantornya, Pa. Cantik. Nih, fotonya."

Burhan mendekat, Niken dengan ceria menyodorkan ponsel Gian. "Udah jadian?" tanya Burhan.

"Belum, Pa. Masih pendekatan," jawab Gian.

Burhan memberikan kembali gawai itu pada Gian. "Kalau nanti pacaran, yang serius. Jangan buat main-main dan jangan sampai melanggar batas. Ingat, usiamu sudah sangat pantas untuk menikah," pesannya.

"Siap, Ndan!"

Gian juga tidak ada niat untuk berpacaran ala cinta monyet. Entah mengapa, sejak bertemu Adisti di Bali, niat Gian pada gadis itu hanya satu: menjadikan Adisti ibu dari anak-anaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro