Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gian nyaris terlambat menangkap tubuh Adisti, jika tidak tubuh kekasihnya itu pasti sudah menghantam lantai marmer yang keras. Dengan dibantu beberapa pengunjung mall dan petugas sekuriti, Gian berhasil membawa Adisti ke mobilnya. Tak ingin membuang waktu lagi, Pajero Gian pun meluncur ke rumah sakit. Untunglah Galleria Mall hanya berseberangan letaknya dengan Rumah Sakit Bethesda. Kendati demikian, Gian tetap memerlukan waktu untuk memutar arah kendaraan di tengah lalu lintas yang padat.

Sesampainya di IGD, Adisti dipindahkan ke atas brankar oleh para perawat. Sambil mendorong brankar, seorang perawat bertanya pada Gian. "Mbak-nya kenapa?"

Seorang dokter pria dengan stetoskop mengalung di leher bergabung di sebelah brankar.

"Tadi mengeluh nyeri haid, lalu pingsan. Sepertinya sakit sekali," jawab Gian.

Dokter mengangguk. Adisti ditempatkan di sebuah bilik yang disekat dengan gorden. "Cek tensi pasien," perintah sang dokter.

"Baik, Dok." Salah satu perawat bergerak mengambil peralatan yang dibutuhkan.

"Nama pasien?" tanya dokter pada Gian.

"Adisti."

Dokter menepuk-nepuk perlahan pipi Adisti, sementara salah satu perawat mengukur tekanan darah Adisti dengan tensimeter digital. "Mbak Adisti, bisa dengar saya? Bangun, Mbak."

Perawat yang tadi kembali dengan membawa tensimeter digital dan memasangnya pada lengan kiri Adisti. "90/60, Dok," lapornya kemudian.

"Tolong pasang infus, Sus," perintah sang dokter. "Mbak Adisti, sadar, Mbak. Ayo, bangun." Dokter itu kembali mencoba membangunkan Adisti dari pingsannya.

Adisti menggerakkan kepala, merintih putus-putus, tetapi matanya tetap terpejam. Dokter memperhatikan perawat telah selesai memasang infus. "Siapkan injeksi spasminal, Sus."

"Baik, Dok." Perawat lain bergegas melaksanakan instruksi dan menyerahkan sebuah suntikan pada dokter.

Gian memperhatikan dokter itu menyuntikkan obat ke dalam selang infus. "Coba terus dibangunkan, Mas, supaya cepat sadar."

Gian mengangguk patuh. Pelan-pelan ditepuknya pipi Adisti, sambil berdoa semoga kekasihnya itu lekas siuman. "Dis, bangun," ujarnya lirih.

Adisti mulai membuka mata, mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali, lalu mencoba bangkit tetapi Gian dan dokter mencegahnya.

"Tetap berbaring saja, Mbak."

Adisti menoleh pada Gian lalu menebarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan ini sepenuhnya asing baginya. "Yan, aku di mana?"

"Bethesda. Tadi kamu pingsan di mall."

Jawaban Gian membuat Adisti menyadari pergelangan tangan kirinya terasa berat dan kaku lantaran dipasangi jarum infus. Lamat-lamat ingatannya mengulang saat ia digandeng Gian keluar dari toko sepatu.

Dokter memeriksa detak jantung Adisti dengan stetoskop. "Mbak Adisti, apa sering mengalami nyeri haid parah?"

"Dia selalu kesakitan setiap kali menstruasi, Dok. Pernah sampai muntah-muntah juga," serobot Gian.

Dokter mengangguk. "Darah yang keluar banyak?"

Adisti mengangguk lemah. Tatapannya terkunci pada wajah Gian. Hatinya tahu ia tidak bisa lari lagi. Gian akan tahu rahasia terbesarnya.

"Apa ada riwayat kista? Kista endometrosis atau kista ovarium?" tanya sang dokter lagi.

Mata Adisti kini berkaca-kaca. Tidak ada gunanya berbohong. "Ya, Endometrosis. Setahun yang lalu pernah dioperasi, Dok."

Sudah. Ia sudah mengatakannya. Adisti memalingkan wajah, terlalu takut untuk membaca air muka Gian. Apakah lelaki itu merasa iba padanya, atau kecewa?

"Mbak Adisti sebaiknya diperiksa USG, mengingat ada riwayat kista sebelumnya." Dokter lalu memerintahkan perawat untuk menghubungi bagian radiologi. "Sambil dibawa ke bagian radiologi, Mbak bisa sambil istirahat ya."

Brankar tempat Adisti berbaring kemudian didorong menyusuri lorong dan sepanjang perjalanan ke poli radiologi, Gian tidak berkomentar apa pun. Petugas radiografer menerima kedatangan Adisti dan dengan cekatan mengoperasikan alat USG, setelah membaca pengantar yang dibawa oleh perawat IGD.

Perawat mengoleskan ultrasound gel di perut Adisti, barulah kemudian petugas radiografer menempelkan transduser di permukaan perut bagian bawah. Petugas itu mencermati serius layar monitor. Adisti menanti dengan rasa takut dan gugup yang mengimpit.

"Kista setahun yang lalu di bagian mana, Mbak?" tanya sang petugas.

"Indung telur kanan."

Satu anggukan tanda sang radiografer telah paham. Transduser pun ditekan sedikit pada kulit perut Adisti. "Hasilnya bisa langsung dibawa, Mbak. Nanti akan dibacakan oleh dokter di IGD," ucapnya setelah beberapa saat.

Perjalanan kembali ke IGD pun terasa menyiksa. Mengapa Gian diam saja? Apa sekarang setelah tahu Adisti hanyalah seorang perempuan penyakitan, Gian berubah enggan menunjukkan perhatian?

Perawat menyerahkan amplop berisi hasil pemeriksaan radiologi Adisti kepada dokter yang tadi menanganinya. Raut muka sang dokter terlihat sangat serius.

"Saya melihat adanya kista endometrosis di indung telur kanan, ukurannya cukup besar."

Diagnosa itu menyambar jantung Adisti bagaikan petir. Bagaimana bisa kistanya tumbuh lagi, di bagian yang sama? Padahal Adisti sudah berhenti makan mi instan, sesuai saran dokter.

"Tetapi saya bukan spesialis obgyn. Untuk pastinya, Mbak Adisti silakan memeriksakan diri ke poli kandungan," lanjut sang dokter seraya memasukkan kembali foto hasil USG ke dalam amplop. "Dulu operasi di mana, Mbak?"

"JIH."

"Mbak bisa periksa lagi ke sana, yang sudah punya rekam medis Mbak Adisti. Atau mau langsung ke poli kandungan di sini juga bisa. Massa kistanya cukup besar, Mbak. Mungkin diperlukan tindakan operasi segera."

***

Kista endometrosis.
Endometriosis adalah penyakit inflamasi yang ditemukan adanya jaringan endometrium atau dinding dalam rahim di tempat yang tidak seharusnya.

Mata Gian membaca dengan cermat setiap kalimat artikel kesehatan yang sedang ia baca melalui ponsel pintar. Otaknya mencoba merangkai informasi yang disajikan dengan sikap Adisti yang berusaha menyembunyikan penyakit tersebut.

Kista bukanlah HIV/AIDS yang rawan menular pada pasangan, juga bukan kanker yang sering membuat harapan hidup pengidapnya surut. Mengapa Adisti begitu takut mengakuinya? Bahkan sampai repot-repot menyembunyikan fakta itu dari Gian? Endometrosis bersifat kambuhan, tetapi ada cara untuk mengatasinya. Ilmu kedokteran terus berkembang dan sudah demikian canggih. Mengapa Adisti harus berkecil hati dan bersikap seolah ini adalah akhir dunia?

Selepas mendengar diagnosa dokter di IGD tempo hari, Adisti minta diantarkan pulang, dan sepanjang perjalanan gadis itu hanya membisu. Bodohnya, Gian pun tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ia hanya berpesan agar Adisti mengabarinya lagi dan dibalas dengan anggukan lemah dari sang kekasih.

Gian bahkan harus mengarang alasan atas ketidakhadiran Adisti di acara ulang tahun Niken, hari berikutnya. Ketika mamanya bertanya di mana Adisti, Gian beralasan gadis itu sedang among tamu di acara pernikahan saudaranya. Gian pikir, jika Adisti menyembunyikan penyakitnya darinya, tentu gadis itu pun tidak ingin keluarga Gian tahu.

Sekarang sudah tiga hari berlalu, dan sampai detik ini masih tidak ada kabar apa pun dari Adisti. Gian merasa seperti deja vu. Sama seperti setahun kemarin, puluhan panggilan telepon darinya, sukses diabaikan Adisti.

Tak tahan dengan semua sikap menarik diri dari kekasihnya, Gian pun memutuskan untuk menghubungi Kartika. Bukan seperti ini seharusnya sikap dari dua orang dewasa yang sepakat untuk menjalin hubungan. Mereka seharusnya saling bahu membahu, mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka, senang ataupun susah. Gian telah bertekad, tak peduli meskipun Adisti mengabaikannya, Gian akan hadir di sisi kekasihnya, memberi dukungan moril.

Sebuah pesan pendahulu Gian kirimkan sebelum menelepon ibunda Adisti.

Tante, saya mau telepon. Boleh ya? Adisti nggak jawab telepon saya.

Setelah mendapat balasan dari Kartika, Gian pun memencet ikon bergambar telepon.

"Halo, Tante."

"Iya, Nak Gian. Apa kabar?" Suara Kartika terdengar pelan dan sengau, seperti tengah menahan isak tangis.

"Saya baik, Tante. Adisti bagaimana?"

"Adisti sudah mulai opname, Nak. Mungkin dia jadi lupa memberitahu Nak Gian."

Gian terkejut. Adisti luput memberitahu hal sepenting itu? Tidak, Adisti bukan lupa, tetapi sengaja.

"Opname di mana, Tante?"

"Di JIH. Operasinya dijadwalkan besok. Dokter bilang indung telur kanan Adisti harus diangkat."

-----

JIH = Jogja Internasional Hospital



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro