Empat Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bekerja kantoran sebenarnya tidak pernah menjadi passion Adisti, meskipun ia lulusan S1 Jurusan Ilmu Komunikasi. Adisti lebih suka menggambar di laptopnya, mengirimkan ilustrasi buatannya ke berbagai macam platform dan penerbit buku anak. Salah satu alasannya tak menyukai kantor adalah keharusan lembur di waktu-waktu tertentu seperti saat ini.

"Ilustrasimu pecah, Dis."

Bara, staf IT yang sedang bekerja sama dengannya memperbaiki website Prime English, bukan tengah menyanjung hasil karya Adisti. Pria itu sedang mengeluhkan kualitas vektor buatan Adisti.

"Eh, masa sih?" Adisti berpindah ke sebelah Bara. Gambar Miss Kepo buatannya ternyata tidak bisa high definition ketika diubah skalanya jadi lebih besar.  "Iya ya. Terus gimana, Mas?"

"Coba kamu save lagi tapi dalam bentuk SVG."

Adisti menuruti instruksi Bara. Gadis itu membuka program Corel Draw, mengeklik Save as dan menyimpan pekerjaannya dalam format SVG.

"Aku udah ngira gambarnya bakal pecah. Gambar PNG atau JPG itu dimensinya tetap, Dis. Jadi ketika diskalakan, hasilnya pecah, nge-blur. Kalau SVG, dipakai di skala apa pun aman, resolusi tetep bagus," papar Bara menjelaskan keunggulan format Scalable Vector Graphics.

Adisti mengangguk tanpa melihat ke arah Bara. "Aku baru tahu, Mas. Aku belum pernah bikin gambar buat web, sih."

"Omong-omong, Mister Gian kok ngotot banget, web baru harus pakai gambarmu. Aku denger-denger kalian ada hubungan spesial."

"Nggak, Mas," bantah Adisti cepat. Gosip iseng-iseng berhadiah yang dibuat Anggun ternyata sudah menyebar jauh.  "Dia cuma mau memanfaatkanku sebagai content creator secara maksimal. Takut aku magabut kali ya." Itu bukan sekedar dalih. Jauh dalam hatinya Adisti berharap pembelaannya benar, bahwa Gian tidak sedang menaruh hati padanya.

Pintu ruangan IT diketuk dan tanpa menunggu dipersilakan, si pengetuk pintu langsung menguak daun pintu. Di antara celah pintu yang telah terbuka lebar, berdirilah Gian dengan tas kerja tersandang di bahu kanan.

Saat hendak pulang, Gian melintas di depan ruang kerja Bara dan melihat dari jendela ada Adisti di sana. Hari sudah sore, padahal jam kerja karyawan non teacher hanya sampai pukul dua siang.

"Kalian belum pulang? Lembur?"

"Wah, kebetulan Bos ke sini. Sekalian cekin desain website hasil duetku dan Adisti udah oke belum." Bara menggerakkan mouse dan menempelkan vector berformat SVG yang baru saja dikirimkan Adisti. Gian berdiri di sebelah Bara. Staf IT itu lalu menjelaskan konsep blue print website sembari menunjukkan sketsa coretan tangan setiap page yang sudah didesain Adisti. 

"Saya suka konsep kalian. Lanjutkan saja," respons Gian setelah Bara menyudahi penjelasannya.

"Siap, Bos." Bara membuat gestur gerakan memberi hormat. Lalu pria itu menoleh pada Adisti. "Dis, gambar lainnya langsung kamu save as SVG juga, lalu kirim ke email-ku. Nanti aku tinggal tempel sesuai sketsa."

Tatapan Gian menelisik wajah letih Adisti, lalu beralih menyapu meja, pada lembar-lembar kertas yang berserakan di sana. Sketsa-sketsa halaman website yang di bagian kanan atas setiap lembarnya tertera nama halaman: Home, About Prime English, Curriculum, Teacher Profile, English is Fun, Register.

Gian mengambil gawai, menghubungi Bu Yanti kantin dan memesan tiga porsi Indomie rebus. Terbayang betapa Adisti akan gembira mendapati makanan kesukaannya tersaji. Tak perlu waktu lama, Mas Wawan, salah satu office boy, datang mengantarkan makanan yang dipesan Gian lengkap dengan tiga botol air mineral.

"Bos, tau aja kalau kita lapar. Iya nggak, Dis?" oceh Bara riang. Ia langsung mengambil satu mangkuk dan segera menyantapnya.

Namun, Adisti tidak melakukan hal yang sama. Gadis itu hanya menatap mangkuk mi tanpa menyentuhnya sedikit pun.

"Kamu nggak makan?" selidik Gian.

"Masih kenyang, Pak. Terima kasih. Ini buat Mas Bara saja."

Gian merasa jengah dengan penolakan Adisti. Apa semua hal yang ia tawarkan akan selalu ditolak Adisti? "Saya nggak sempat kasih racun atau pelet. Nggak usah takut. Mi ini aman."

"Saya nggak makan mi instan, Pak." Adisti mendorong mangkuknya ke arah Bara.

Gian mengernyit dalam. "Sejak kapan? Dulu kamu suka sekali makan mi instan."

Bara terbatuk, entah karena tersedak atau kaget mendengar kata-kata Gian. Secara tak langsung, Gian telah mengungkapkan bahwa ia dan Adisti pernah bertemu di masa lalu. Hanya butuh satu kali keceplosan dari Gian dan Bara tentu kini sudah bisa menghubungkannya dengan gosip yang beredar.

"Makasih, Dis. Jangankan ngabisin makananmu, menghabiskan sisa hidup denganmu aja aku sanggup kok," gurau Bara. Tetapi selera humornya dengan cepat menguap ketika mendapat pelototan dari Gian.

Bara meneguk air mineral, lalu berdeham melegakan tenggorokan. "Dis, kalau semua gambar sudah kamu kirim ke email-ku, kamu bisa pulang. Sisanya biar aku handel."

Wajah Adisti seketika berubah cerah. "Beneran, Mas?"

"Iya. Pulang sono. Anak perawan jangan pulang pas sendakala. Nanti diculik Wewe Gombel."

Ketika Adisti sudah membereskan barang-barangya, Bara pun mengangguk pada Gian. "Adisti kayaknya butuh tumpangan, Bos. Dia nggak bawa motor hari ini."

"Ya sudah, ayo!" sambar Gian tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

"Nggak perlu, Pak. Ada Trans Jogja, kok. Atau ojol."

Betul, kan? Selalu penolakan yang diterima Gian. "Saya antar kamu pulang, Dis." Nada suara Gian tegas, tak ingin dibantah apalagi ditolak.

Gian bergerak menuju pintu, lalu berhenti dan menepi, mempersilakan Adisti lewat terlebih dahulu. Setelah tiba di koridor dan memastikan tidak ada orang lain, Adisti menghentikan langkah.

"Yan, aku pulang sendiri. Kamu nggak perlu memberiku tumpangan," tegasnya. Adisti rasa Gian sepertinya salah membaca situasi. Adisti tidak bersedia pulang bersama Gian. Sikapnya yang tidak bersikeras menolak ajakan sang bos besar hanya demi menghindari Bara mereka-reka gosip yang lebih parah. Sejak semula, Adisti sudah berniat untuk memesan ojol begitu keluar dari ruangan bagian IT.

"Yan, kamu tahu nggak? Kita itu digosipin sejak kamu dengan tiba-tiba sering makan siang di kantin dan duduk di sampingku. Aku nggak nyaman dengan gosip ini."

Gian mengangkat bahu cuek. Gosip itu memang belum sampai ke telinganya. "Kamu tahu, Dis. Cara paling efektif menghentikan gosip adalah dengan menjadikannya fakta."

"Maksudmu?"

"Kalau kita digosipin pacaran, ya udah, ayo pacaran beneran aja."

"Apa?"

"Aku sedang nggak bergurau. Sama seperti dulu, aku masih tertarik padamu and I still want to go on a serious date with you."

"Kenapa?"

"You're the prettiest girl I ever met."

Cantik? Hanya karena itu? pikir Adisti sinis. Kecantikannya tidak akan berarti begitu Gian tahu kondisinya yang sebenarnya.

"Dengar, Yan. Kalau kamu punya pikiran untuk mendekatiku, segera hilangkan niat itu. Aku nggak berminat menjalin hubungan denganmu. Dan satu lagi, berhenti mengajak aku makan mi instan. Aku sudah berhenti makan mi instan. Makanan itu nggak sehat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro