Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chemistry. Hanya itu penjelasan masuk akal yang bisa dinalar Adisti atas perasaan asing yang menderanya seharian ini. Dirinya dan Gian sama-sama tengah diselimuti rasa ketertarikan yang sangat kuat. Adisti bukan perempuan gampangan. Saat ini pun ia bukan sedang bersikap murahan di depan Gian. Namun, ia harus tahu sejauh apa chemistry di antara mereka.

"Jangan salah sangka. Aku bukan sedang merayu kamu."

"Rayuan sama sekali nggak ada di antara kita."

Syukurlah, setidaknya Gian mempunyai pemikiran yang sama.

"Bukan berarti aku sering minta dicium sama cowok."

"Aku tahu. Kamu bukan perempuan macam itu."

"Aku...aku cuma merasa kita harus menguji segalanya." Adisti percaya bahwa chemistry melibatkan keterikatan emosi, pikiran, dan gairah terhadap seseorang. Jadi berciuman adalah cara pengujian yang tepat. Benar, kan?

"Semacam tes kelayakan?"

"Y-ya." Oh, mengapa Adisti mendadak gugup sekarang? Siapa tadi yang meminta dicium?

"Kalau begitu, aku harus berusaha keras supaya lulus tes."

Gian memulai dengan menyelipkan anak rambut Adisti ke belakang telinga, kemudian tangannya bergerak ke tengkuk, memastikan Adisti tidak akan menjauhkan kepala. Perlahan, Gian menundukkan kepala.

Jantung Adisti serasa meledak saat bibir Gian menyentuh bibirnya. Hangat dan tepat. Inilah jawaban yang dibutuhkannya.

Di tengah gemerisik daun padi yang saling bergesekan diterpa semilir angin, rasanya Adisti ingin mendendangkan lagu lawas dari Sixpence None The Richer.

Kiss me out of the bearded barley

Well, tidak ada tanaman barley saat Gian menciumnya. Padi yang menjadi saksi bagaimana mereka berpagutan.

Nightly, beside the green, green grass

Bukan rumput hijau, melainkan padi yang mulai menguning dan meskipun saat ini pukul satu siang, cara Gian menciumnya tetap menghadirkan romantisme malam hari.

Swing, swing, swing the spinning step

Tidak ada langkah yang terayun. Gian menciumnya dengan tetap berdiri di atas sepeda. Satu tangan pria itu memegang setang, sedangkan sebelah tangan lainnya merengkuh tengkuk Adisti, memperdalam ciuman mereka.

You wear those shoes and I will wear that dress.

Adisti tidak memakai gaun indah, hanya celana jin dan kaus polos, tetapi cara Gian memandangnya  membuat Adisti merasa dirinya istimewa.

Gian menjauhkan wajah, menyudahi ciuman mereka, tetapi tatapannya masih tertuju pada bibir Adisti. "Jadi apa aku lulus tes?" tanyanya parau.

"Aku rasa begitu." Mereka bertatapan dengan napas yang sama-sama memburu. Tidak perlu kata-kata, di dalam hati, mereka telah sepakat bahwa ciuman barusan begitu luar biasa.

"Aku dari tadi penasaran, kenapa warna lipstikmu bisa awet banget?" Ibu jari Gian menyapu bibir bawah Adisti.

"Apa kamu terobsesi bikin warnanya luntur?" Well, setidaknya lipstik import ini memang sebagus iklannya. Tidak sia-sia Adisti membelinya.  Benar-benar tidak luntur oleh ciuman.

"Mungkin. Should I kiss you again?"

Adisti menahan dada Gian dengan tangannya.  Senyum gemetar menandakan gadis itu masih terpengaruh oleh ciuman mereka. "Simpan untuk kencan kita. Kamu boleh bikin lipstikku berantakan besok malam."

Jika Gian menciumnya lagi, bisa-bisa lutut Adisti berubah menjadi jelly dan tidak bisa digunakan untuk mengayuh sepeda.

***
Gian:
Mau aku jemput di hotel?

Adisti:
Nggak perlu. Kita ketemu di restoran aja. Kasih tau aku lokasinya.

Gian:
Oke. Tapi kamu dilarang protes dengan restoran pilihanku.

Adisti:
Kalau harga makanannya mahal, aku pesan minum aja.

Gian:
Dis, sepertinya kamu sengaja bikin aku berhutang terus. Pengin aku bayar dengan cara yang lain, ya?

Adisti:
Cara apa?

Gian:
A serious relationship. Making you my woman.

Chat terakhir dibalas Adisti dengan emoji meleletkan lidah, membuat Gian tersenyum lebar. Bayangan tentang Adisti menjadi kekasihnya membuat jantung Gian berdebar-debar. Oh, apakah ini yang disebut jatuh cinta pada jumpa pertama? Jika diingat-ingat lagi, Gian memang sudah terpesona pada Adisti sejak pertama kali melihat gadis itu di pesawat.

"Wah, nggak beres nih." Bayu berdiri berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala. Pandangan pemuda itu menelisik sekujur tubuh Gian yang sedang berbaring sambil menggulir ponsel. "Bang Gian pasti kesambet Leak waktu sepedaan kemarin. Kamu kencing di balik pohon yang dipasangi kain poleng ya, Bang?"

"Ngawur!"

"Terus ngapain itu senyum-senyum sendiri sambil hapean? Mencurigakan." Bayu mengusap-usap dagu.

"Namanya senyum ya karena gembira. Nanti malam aku ada kencan sama cewek." Memberi kabar itu pada Bayu rasanya bagai memenangkan jackpot. Sepupunya itu selama ini memang kurang ajar. Selalu mengejek status jomlo menahun Gian. Katanya, percuma wajah ganteng kalau nggak punya gandengan.

"Lihat siapa yang melongo sekarang," ejek Gian penuh kepuasan saat melihat mulut Bayu menganga lebar.

"Wah, beneran nggak beres ini. Bang Gian kena pelet. Harus aku laporin Budhe."

"Ya, bilang aja sama Mama kalau aku udah nemu calon mantu potensial."

Kening Bayu berkerenyit dan langsung memberondong pertanyaan.  "Bang, seriusan? Kencan sama siapa? Kenal cewek di mana? Kok bisa cewek itu mau sama Bang Gian? Dia frustrasi atau gimana?"

"Asem. Emangnya aku nggak qualified banget, apa?"

"Kamu kan sering galak, Bang. Cewek tu sukanya sama cowok kayak aku, yang penyayang, gemesin."

Gian memutar bola mata. Sifat narsis Bayu ini entah datang dari mana. Setahu Gian, ayah dan ibu Bayu tidak ada yang memiliki rasa percaya diri berlebih.  "Pokoknya cewek cakep. Aku kenalin sama kamu, kalau kami udah resmi."

"Cewek Bali?" Bayu sudah kepo maksimal. Ia duduk di dekat Gian. "Dadanya gede nggak, kayak jeruk Bali?" tanya Bayu sambil menaik-naikkan alis. Tangannya membuat gerakan menggembung di depan dada.

"Astaghfirullah. Otakmu, Bay." Gian menoyor kepala Bayu. Jiwa dan raga sepupunya ini tampaknya perlu disucikan. "Rukyah sana."

"Bang, serius ini. Paling nggak kasih bocoran nama."

"Namanya Adisti. Udah. Cukup itu aja yang perlu kamu tahu."

***

Adisti terkikik lalu menyimpan kembali ponselnya setelah mengirimkan emoji sebagai balasan chat untuk Gian. Ia menyentuh dadanya yang terasa bergelenyar. Ingatan tentang ciuman mereka kemarin membuat degup jantungnya mengencang. Itu bukan ciuman pertamanya tetapi jelas ciuman terbaik yang pernah ia dapatkan.

"Aku mau makan, ingat kamu. Aku sedang mandi juga ingat kamu. Oh, cinta. Inikah bila ku jatuh, jatuh cinta." Suara cempreng Hani mengalun, meledek Adisti dengan lirik lagu ciptaan Maia Estianti.

Adisti menjulurkan lidah, berusaha cuek dengan ledekan sahabatnya dan kembali menikmati pijatan terapis yang sedang membalurkan lulur khas Bali ke punggungnya. Saat tahu Adisti akan berkencan dengan Gian, Safira dan Hani memaksanya untuk pergi ke spa. Menurut kedua sahabatnya itu, Adisti harus tampil super memesona hingga membuat Gian tidak bisa berkedip.

"Mbak, di dekat sini ada toko baju yang jual dress semi formal nggak?" tanya Safira pada terapis yang sedang memijit bahunya.

"Ada, Kak. Dekat dengan spa ini.  Sekitar dua ratus meter ke arah selatan," jawab sang terapis.

"Ngapain beli baju?" tanya Adisti.

"Buat kamu, Dis. Jangan bilang kamu mau kencan sama Gian pakai celana jin dan blus biasa. Minimal kamu harus pakai dress," kukuh Safira.

Hani pun sependapat. Alhasil, Adisti pasrah saja saat digiring ke salah satu outlet pakaian wanita dan hanya bisa melotot saat Hani mengulurkan sepotong gaun pendek dengan potongan belahan dada yang panjang dan punggung terbuka. Pakaian itu hanya membutuhkan sedikit kain, tetapi mengapa harganya sangat mahal?

"Aku mau kencan biasa sama cowok baik-baik, bukan mau jual diri," tolak Adisti. Kedua kawannya terkekeh.

"Ya kali. Siapa tahu bakal ada adegan 21 plus," balas Hani. Gadis itu kemudian mengerutkan kening sebentar. "Tapi ini malah bagus, Dis. Bisa jadi ajang menguji Gian. Dia cowok baik atau brengsek."

"Ah, benar juga," timpal Safira. "Nanti setelah lihat kamu pakai baju seseksi ini, dan Gian sampai berani grepe-grepe kamu, berarti dia cuma pura-pura baik padahal aslinya penjahat kelamin. Usul Hani boleh juga, tuh. Cowok brengsek pasti gampang terpancing."

"Tapi nggak perlu pakai gaun seragam call girl begini, kan?" Adisti tetap menolak. Penalaran Safira dan Hani memang ada benarnya, tetapi bagaimana jika Gian malah berpikir Adisti cewek murahan yang senang pamer kemolekan tubuh?

Tidak, Adisti tidak mau dicap demikian.

Akhirnya setelah memilah-milah puluhan pilihan gaun, hingga membuat sang penjaga toko sedikit kesal, Adisti memutuskan membeli sebuah gaun sifon warna ungu yang menutup tubuhnya sampai atas lutut, meskipun model kerah sabrina gaun itu memamerkan bahu mulus dan leher jenjangnya. Tak lupa, Hani mengingatkannya untuk membeli sepasang sandal yang cocok dengan gaun tersebut.

Diam-diam Adisti membayangkan seperti apa reaksi Gian saat melihatnya nanti. Apa pria itu akan sungguh-sungguh membuat lipstiknya berantakan seperti yang dijanjikan Adisti? Dada Adisti berdebar tak sabar menantikan kencan malam ini.

***

Restoran yang dipilih Gian mengusung nuansa tradisional Bali dan menyuguhkan pemandangan berbeda di setiap areanya. Di bagian dalam, suasana hangat dengan aneka furnitur kayu dan bunga akan menyambut para pengunjung. Di sisi lain restoran terdapat infinity pool yang menghadap ke hamparan pepohonan rimbun yang hijau.

Seorang pelayan laki-laki yang mengenakan udeng di kepala datang membawakan buku menu. Gian memesan secangkir coffee latte untuk menemaninya menunggu Adisti, sembari menikmati suasana restoran.

Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Entah sudah berapa kali kepala Gian menoleh setiap kali terdengar suara ketukan sepatu di lantai marmer. Namun, selalu sama. Yang didapatinya bukanlah kedatangan Adisti. Gian memeriksa jam tangan untuk kesekian kalinya. Adisti sudah terlambat satu jam.

Perempuan memang kerap sengaja datang terlambat saat kencan, untuk menciptakan efek dramatis pada penampilannya. Lelaki yang sudah jenuh menunggu, pasti akan terperangah ketika disuguhi penampilan pasangan yang seksi dan memukau. Lalu amarah pun hilang dalam sekejab. Gian tahu beberapa wanita melakukan trik itu, hanya saja, ia merasa taktik murahan macam itu tidak cocok untuk Adisti.

Di mana gadis itu? Kesal, Gian membuka aplikasi WhatsApp dan mengerang frustrasi saat melihat chat terakhir yang ia kirimkan belum juga dibaca sejak satu jam yang lalu. 

Pelayan datang lagi, bertanya pada Gian apakah sudah siap memesan makanan. Gian menggeleng dan justru mengatakan akan membayar bill dan pergi. Tidak tahu harus berharap apa, Gian mencoba menghubungi Adisti. Nomornya aktif, tetapi panggilan Gian tidak mendapat jawaban. Melangkah tanpa semangat, Gian keluar dari restoran. Kencannya sudah dipastikan gagal.

--------

Nah lo, di mana Adisti?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro