CP 13: MANGKIR?!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sara pernah memprediksi—bahkan kerap kali—bahwa akan datang keadaan di mana kesabarannya diuji. Keheningan ruangan menambah denyut di kepala wanita ber-blazer cokelat. Ia bolak-balik di depan pekerjanya. Meski dingin artifisial dari pendingin ruangan menerpa wajah, tetapi tetap saja Sara merasa keadaan sekitar cukup pas. Agaknya itu yang membakar api kemurkaannya sekarang.

"Jadi, bagaimana cara Mbak Arum mempertanggung jawabkan ini? Sudah jauh-jauh hari kita membuat persiapan. Mulai dari pengukuran sampai siap pakai begini, lalu sekarang ukurannya kekecilan? Kain tidak sesuai dengan keinginan klien?" Sara nyaris berteriak di hadapan dua karyawannya.

"Maaf, Mbak Sara. Saya dan Mbak Olie udah ngecek ulang dan memang sudah pas. Bahkan ada bukti kalau klien mengatakan semuanya sudah pas. Begitu di H-3 acara malah komplain lagi." Arum—perempuan anak satu—yang menjadi penanggung jawab gaun pesta pesanan seorang klien pun menjawab takut-takut.

Kini Sara paham duduk masalahnya. Ternyata memang bukan sepenuhnya salah para pekerjaan. Klien itulah yang menguji kesabaran. Bahkan Arum dan Olie memberikan bukti bahwa sudah ada kesepakatan di antara mereka, dibuat secara tertulis pula.

Kimberly yang ada di ruangan itu menghela napas. Suaranya bahkan didengar kedua telinga Sara. "Duduk dulu, Ra," titah Kimberly.

Jika tidak ditenangkan, Sara bisa menjadi-jadi. Akhirnya Sara mengalah juga. Pikirannya tiba-tiba penuh. Ingin sekali ia mencakar-cakar wajah klien yang terkesan mempermainkan. Kini tersisa mereka berempat di ruangan itu. Tiada pembicaraan selama sekian detik karena fokus menenangkan diri dan pikiran masing-masing.

Barulah Kimberly bersuara pada menit ke tiga. "Biar gue yang urus sama Mbak Arum dan Mbak Olie, Ra. Gue tau lo nggak cuma memikirkan D'Amore aja."

"Tolong, ya." Sara sudah menyerah detik itu. Kepalanya benar-benar serasa akan pecah. Baru tadi, dua jam lalu ia meeting dengan pihak Wedding Planner, lalu kembali ke butik.

"Lo istirahat dulu sana!" titah Kimberly. Meringis sedikit saat menyaksikan wajah Sara yang sedikit dihiasi kantung mata.

Padahal berkali-kali Kimberly dan Wilona, bahkan Salsa mengingatkan bahwa seharusnya ia tetap memperhatikan diri. Sayangnya, selama beberapa hari mengurus persiapan pernikahan dan pekerjaan di butik, Sara jadi jarang dandan. Pakai bedak seadanya dan tidak memoles diri sedetail mungkin. Bukan seperti Sara yang biasanya.

Suara ribut-ribut dari lantai utama mengalihkan atensi Sara. Apa lagi kali ini? Helaan napas kasar Sara terdengar membentur udara. Terpaksa perempuan dengan sorot mata tajam itu turun dari lantai dua. Tepat di depan kasir, terlihat seorang klien tengah memarahi pekerjanya.

"Ada apa ini?" tanya Sara.

Klien itu—seorang gadis barangkali usia dua puluhan—langsung melirik Sara. "Oh! Bagus Mbak Sara turun. Masa pekerja Anda ini memfitnah calon suami saya?!"

Kekagetan hadir di wajah Sara. Ia menatap salah satu helper yang berdiri bersama si kasir. Astaga! Seakan-akan tidak cukup kekacauan hari itu. Padahal Sara teramat ingin beristirahat.

"Mbak Sara, memang benar, kok. Mas ini dari sejak masuk sengaja mendekati Ilma. Dia bahkan nggak sopan meraba-raba pinggang dan maaf ... bagian belakang Ilma," kata si kasir membeberkan. Sedangkan Ilma terlihat menunduk ketakutan serta menahan malu. Matanya berkaca-kaca dengan pipi memerah.

Si klien perempuan segera berseru, "Bohong! Mana buktinya? Aduh, nggak nyangka saya bakal difitnah begini. Mbak Sara, tolong pekerja Anda!"

Bahkan calon suaminya ikut menyeletuk, "B-benar. Mana mungkin saya bersikap kurang ajar seperti itu?"

"Saya melihat Anda melakukannya!" Si kasir bersikeras.

Sara memijat pelipisnya sesaat. Keributan itu membuat kepalanya makin berdenyut-denyut. Dia paham betul si kasir pasti tidak akan berbohong. Buat apa pula? Lagi pula, jika dilihat dari reaksi dan cara bicara si lelaki, Sara seakan-akan bis mendeteksi kebohongannya.

"Maaf." Sara melangkah maju dan berdiri membelakangi kedua pekerjanya. "Saya rasa karyawan saya nggak salah."

"A-apa?!" Si klien wanita membelalakkan mata tidak percaya. "Jadi maksud Mbak Sara ... calon suami saya salah?"

"Selagi saya bicara baik-baik, silakan akui dan minta maaf pada karyawan saya." Sara dengan tegas dan tanpa keraguan mengatakan hal itu. Tatapannya beralih pada lelaki di samping si klien wanita. Ia terlihat takut-takut.

Bibirnya bergetar mencoba mencari-cari alasan. Namun, kedua matanya tidak berani sedikit pun melihat ke arah Sara. Semua orang di sana kini tengah menatapnya.

"Kalau Anda nggak mau mengakuinya, biar saya tunjukkan hasil rekaman CCTV. Bagaimana?" Alis kanan Sara terangkat terkesan menantang.

Seketika ucapannya membuat semua orang menoleh ke arah kamera pengintai di pojok atas ruangan. Cahaya merah yang berkelip-kelip menandakan bahwa tindak-tanduk siapa pun di ruangan itu sudah terekam. Sara bisa melihat lelaki itu mundur ketakutan. Senyum kemenangan terlihat di wajah Sara.

"Benar, 'kan? Akui atau saya lapor ke polisi atas tindakan tidak sopan Anda. Anda bisa dihukum jika pekerja saya keberatan atas pelecehan yang diterimanya," tukas Sara.

"Baiklah! Baiklah!" Lelaki itu setengah berteriak. "Saya melakukannya dan saya meminta maaf. Jangan laporkan saya ke polisi."

Si klien wanita terlihat tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. "Dasar lelaki sialan!" Ia bahkan memukul-mukul sang calon suami.

"Sayang, maafkan aku. Tadi itu ...."

"Jangan menyentuhku, Bajingan! Memalukan saja." Ia mengelak saat hendak disentuh.

Sara mencegah keributan dengan mengeraskan suara. "Jika ingin bertengkar silakan di luar! Saya nggak suka keributan dan mulai sekarang tolong, jangan datang ke D'Amore lagi!"

Kejadian hari itu sungguh menguji kesabaran Sara. Ia memang menduga akan ada saja hal yang menjadi kesabaran dan menghadirkan kemurkaan. Namun, siapa yang menduga bakal separah tadi? Oh, bahkan mungkin ada yang akan lebih parah lagi.

—oOo—


Sisa jus alpukat diteguk Sara sampai tandas. Kemarahan makin menguasai dirinya. Serta-merta membuat keadaan sekitar memanas. Sudah setengah jam ia menunggu di restoran tempat janjian. Sore itu ia dan Sadam sepakat bertemu untuk menyortir daftar tamu yang akan diundang.

"Wah, hari ini banyak bener yang nguji kesabaran lo, Sara!" Hampir saja ia tertawa sumbang. Untung masih sadar jika saat itu tengah berada di tempat umum.

Cukup! Tidak ada harapan lagi. Setengah jam lebih ternyata Sadam tidak datang juga. Bahkan saat Sara mencoba menelponnya, nomornya tidak aktif. What? Dia inget janjinya nggak, sih?

Setelah membayar pesanannya, Sara bangkit dari kursi. Andai saja saat itu ia tengah syuting film atau sinetron, lubang hidung dan telinganya pasti sudah mengeluarkan asap. Kaki jenjang berbalut sepatu kets itu melangkah lebar-lebar hingga berhasil keluar dari restoran. Sial! Mana taksi pesanannya belum sampai juga.

"Berani juga lo mangkir!" gerutu Sara sambil kembali mencoba menghubungi Sadam. Sayangnya, masih tidak aktif. "Sadam, sialan!"

Selang beberapa menit, taksi pesanannya tiba. Gegas Sara masuk ke sana. Andai saja bukan Sadam, calon suaminya, ia pasti akan bodoh amat. Namun, Sara susah payah menyampingkan egonya. Tujuannya tidak lain adalah apartemen Sadam.

Tanpa ragu-ragu ia meminta alamat apartemen laki-laki itu dari mamanya sendiri. Sebab, Sara tahu Wilona amat dekat dengan Sadam. Niat Sara makin mantap menuju tempat Sadam dan pasti akan mengomelinya habis-habisan.

"Mbak, alamatnya berhenti di sini," tukas si sopir.

Oh! Dekat juga dari restoran. Pantas saja Sadam mengatur janji temu di sana. Kurang ajarnya, ia malah mangkir dari janji itu. Sara turun dari taksi setelah menyelesaikan pembayaran. Untung saja ia bertanya juga di mana unit laki-laki itu. Ternyata memang benar, Sadam tidak ragu-ragu membeberkan tentang dirinya kepada orang tua Sara.

"Lo lihat aja! Sebenarnya lo niat nggak, sih, menikah sama gue?!"

Pintu lift terbuka dan Sara segera keluar. Kemurkaan dalam dirinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dalam hitungan detik, dia telah berdiri di depan unit apartemen Sadam. Senyum tipisnya terlukis singkat.

Sara menekan bel berkali-kali, tanpa peduli penghuni lain akan merasa terganggu. Cukup lama Sara berdiri dan membunyikan bel, sampai si pemilik membuka pintu untuknya. Sadam muncul dengan wajah masih menahan kantuk. Bahkan menguap pertanda ia baru bangun tidur.

Penampilannya membuat Sara syok. Sadam hanya memakai kaus putih besar dan celana pendek hitam sebatas dengkul. Lelaki itu menguap singkat, lalu mengerjap untuk memastikan penglihatannya tidak salah.

"Lho, Mbak Sara?" sapanya sambil menggaruk perut sendiri.

"Bajingan! Sialan!" Gucci Horsebit Mini milik Sara melayang keras dan mendarat di wajah Sadam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro