CP 25: BIAR SADAM YANG NGEJAR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maaf, aku nggak akan mengulanginya lagi. Jadi, tolong tarik kata-katamu tadi. Aku serius, aku ingin kita kita menikah, Sara."

Sepasang kaki Sara serasa tidak mampu bergerak, saking lemas karena tindakan tiba-tiba Sadam. Ia ingin bergerak menjauh, tetapi Sadam tidak mau melepaskan pelukan itu. Degup jantung Sara tiba-tiba berisik. Ternyata berdebar-debar membuat Sara merasa tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

Lelaki yang membuatnya berdebar adalah Sadam. Adik tingkatnya saat masih sekolah dan kuliah. Lelaki yang dahulu ia pikir adalah anak kecil. Sadam yang dianggapnya sebagai anak manja yang tidak suka bekerja keras.

Jelas-jelas Sadam bukan tipenya. Namun, mengapa Sadam malah membuatnya berdebar-debar. Aneh banget! Sentuhan Sadam seakan-akan menghantarkan aliran listrik pelan sehingga jantungnya serasa akan melorot jatuh ke perut.

Lalu, bagaimana tadi Sadam memanggilnya? Sara? Hanya Sara tanpa embel-embel 'Mbak' atau seperti biasanya memanggil 'Sayang'. Sara sukses dibuat bungkam.

"Aku minta maaf. Jadi, aku mohon, jangan membatalkan pernikahan yang tinggal menghitung hari. Setelah ini kita nggak diizinkan ketemu, jadi aku nggak mau kita diam-diaman sampai hari pernikahan," cetus Sadam, lagi. Kali ini tangannya tidak tinggal diam mengelus lembut rambut wanita itu.

Meski Sadam terus bersuara, tetapi Sara tetap tidak bisa menjawab. Gawat! Ia kehilangan kosakata. Masih agak syok dengan pelukan yang tiba-tiba. Kimberly! Gue kenapa?

"Oke, aku tau kamu marah. Marahlah selama yang kamu mau. Tapi, aku nggak mau kamu membatalkan pernikahan kita secara sepihak. Dan aku pun nggak akan mau membatalkannya. Jadi, tolong, kumohon ... maafkan aku," tukas Sadam, lagi.

Tanpa berkata apa pun, Sara mengangkat tangan kanan dengan gerakan pelan. Lalu, melingkarkan pelan di pinggang lelaki itu. "Lebih baik kita turun sekarang."

Sadam menyudahi pelukan mereka. Alih-alih membiarkan Sara bergerak menjauh, ia memegangi kedua bahu sang calon istri. Sepasang matanya terus tertuju pada sorot mata Sara yang memang selalu tampak menampilkan sorot tajam. Senyum lelaki itu terlukis sesaat.

Angin siang berhembus pelan menerpa helai-helai rambut mereka. Bahwa angin dan mentari yang begitu menyengat menjadi saksi bisu bahwa mereka sebenarnya sudah terjatuh dalam pesona masing-masing. Hanya saja, ada yang memaksa untuk tidak mengakuinya.

"Jadi, aku dimaafin, 'kan?" tanya Sadam.

"Nggak tau."

"Baiklah, kita bicarakan nanti. Sekarang kita ke bawah dulu dan temui mereka. Jangan sampai orang tua kita khawatir. Aku juga nggak sabar ...," kata Sadam menahan kalimatnya sesaat.

"Apanya?" Suara Sara masih terdengar agak jengkel.

"Lihat kamu pakai gaun pengantin yang sudah fix. Pasti cantik banget," katanya dengan tulus memuji sang calon istri. "Aduh!" Kemudian Sadam menjerit karena ujung sepatu Sara menginjak kakinya sedikit keras.

Sara tersenyum kecut. "Jangan berani-berani melontarkan kata-kata manis. Kamu masih belum mendapatkan maafku."

Lantas perempuan itu berbalik dan meninggalkan Sadam yang masih menahan sakit akibat injakan Sara. Ah, sebetulnya itu hanyalah bentuk pertahanan Sara. Ya, bertahan dari rasa salah tingkah. Saat turun dari rooftop, Sara mendadak merasakan pipinya memanas. Benar-benar kurang ajar! Kalau begini terus, Sara bisa saja jatuh cinta pada calon suaminya sendiri.

Para orang tua menyambut Sara dengan senang. Sebab Sara mau melanjutkan untuk fitting terakhir. Dilihatnya Sadam menyusul turun setelah ia bergegas untuk mencoba gaun pernikahannya. Maka Sadam pun digiring pula untuk segera memakai bajunya sendiri.

Berselang beberapa menit kemudian, sepasang calon suami-istri itu kelar dengan urusan masing-masing. Sebenarnya Sadam yang lebih dahulu keluar. Ia berkomentar tidak ada masalah dengan setelan bajunya. Barulah Sara keluar dengan gaun pernikahan yang akan dikenakan nanti. Senyum tipis nan kaku dari perempuan itu terlihat dan dipamerkan untuk Nadira, mamanya Sadam, dan Wilona.

"Ya ampun, belum dirias aja cantik. Apalagi nanti kalau sudah dirias, pasti cantik banget," kata Ayudia memuji.

"Benar. Kelihatan cocok dengan Sadam." Wilona ikut memberikan pendapat.

Sedangkan Nadira hanya tersenyum senang melihat mereka. Karena sibuk berbincang dengan Wilona, Ayudia, dan si owner, Sara sampai tidak menyadari bahwa sejak tadi Sadam memperhatikan dirinya dalam diam. Sepasang mata Sara mengerling ke arah calon suaminya. Ia terkesiap kaget karena Sadam tersenyum dan memujinya tanpa suara.

"Cantik," katanya lewat gerakan bibir.

Wanita itu langsung menunduk dan fokus pada gaunnya sendiri. Baru begitu saja sudah salah tingkah.

Tiba-tiba Sadam mendekat sesaat setelah Ayudia dan Wilona ke tempat lain dan berbicara sebentar dengan si owner. Kedatangan Sadam membuat Sara disapa grogi. Aduh, harusnya ia mengangkat gaunnya dan berlari pergi. Mengapa sekarang ia malah memikirkan tindakan bodoh?

"Cantik banget," ucap Sadam tanpa diminta pendapat oleh Sara.

"Memang. Baru sadar?" Sara berusaha menjawab dengan tenang.

"Nggak, usah Sadar dari dulu."

Kedua mata Sara terarah pada sang calon suami. "Jangan terlalu berusaha. Aku belum tentu akan memaafkan kamu."

"Oh, ya?" Sadam meraih kedua bahu Sara, lalu membuat tubuhnya berputar hingga menghadap cermin besar di depan mereka. Dari jarak sedekat itu, mereka bisa melihat pantulan di cermin. "Tapi, aku mau tetap usaha. Gimana, dong?"

"Coba saja. Aku nggak akan maafin kamu."

Sadam terkekeh sebentar. "Bukan untuk mendapatkan maaf kamu, Sayang. Tapi, untuk benar-benar mendapatkan hatimu."

Sara tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Ia mengejap sesaat. Tanpa tahu ekspresi kagetnya begitu lucu di mata Sadam. Tangan kiri Sadam terangkat, lalu menepuk puncak kepala Sara.

"Jadi, biar aku yang ngejar mulai sekarang. Aku serius," bisiknya di telinga sang calon istri.

-oOo-

"Bukan untuk mendapatkan maaf kamu, Sayang. Tapi, untuk benar-benar mendapatkan hatimu. Jadi, biar aku yang ngejar mulai sekarang. Aku serius."

Kalimat Sadam masih menghantui Sara. Padahal kejadian tadi sudah berjam-jam lalu. Bahkan kini hari sudah gelap. Selama beberapa hari menjelang pernikahan, Sara akan tetap di rumah orang tuanya. Ia dan Sadam juga tidak diizinkan bertemu untuk sementara waktu.

"Sadam pasti udah gila, Kim. Gue yakin," kata Sara.

Malam itu ia menceritakan keresahan hatinya pada sang sahabat, Kimberly. Tentu saja lewat sambungan panggilan video. Bukannya ditanggapi serius, Kimberly malah tertawa.

"Kok, lo ketawa?" tanya Sara seraya menepuk-nepuk masker organik yang menempel di wajah.

"Bukan Sadam yang aneh, tapi lo. Sadam udah suka sama lo, tuh! Gue yakin. Jadi, tinggal lo aja yang harus jujur sama diri sendiri."

"Yakin? Dia ngomong begitu cuma buat dapetin maaf gue, Kim. Besok-besok pasti balik nyebelin lagi."

Kimberly tergelak untuk ke sekian kali. Sang sahabat sampai sedikit berdecak. Sara pindah ke tempat tidur dan berbaring di sana. Mengangkat ponsel tinggi-tinggi, tetapi wajah Kimberly masih memenuhi layar benda pipih itu.

Benarkah Sara yang tidak jujur? Selalu denial pada perasaannya sendiri? Masa iya dia telah jatuh cinta? Tidak! Pasti tidak mungkin. Barangkali hanya efek berdebar-debar karena terlalu lama menjomlo dan tidak pernah lagi dipeluk atau mendengar kata-kata manis lelaki. Ya, pasti karena itu.

"Lo sadar, dong, Ra. Apa susahnya memulai hubungan baru? Apalagi sama lelaki yang yang sebentar lagi jadi suami lo." Kimberly kembali bersuara.

"Jangan asal bicara, Kim. Gue yakin Sadam cuma sengaja pengin bikin gue nggak marah lagi," kata Sara kukuh.

"Terserah lo, tapi kalian udah nggak bisa ketemu lagi sampai hari H. Komunikasinya lewat ponsel doang. Lo pikirin dan rasain, deh. Awas aja kalau lo ntar kangen sama, tuh, laki."

"Shut up! Gue tutup, ya. Males ngomongin dia." Tanpa mengucapkan salam, Sara menutup sambungan panggilan.

Seraya menepuk-nepuk pipinya, Sara menolak perkataan Kimberly tadi. Kangen? Yang benar saja. Tidak mungkin. Justru Sara akan merasa damai selama beberapa hari ke depan tidak akan bertemu atau melihat wajah Sadam.

Ponsel di sampingnya kembali bergetar. Sara pikir Kimberly yang menelepon lagi. Ia menjawabnya tanpa sempat melihat nama si penelepon. "Halo, Kim? Apa lagi? Lo mau ngajak gue bahas Sadam lagi? Nggak mau. Gue mau tidur, capek."

"Jadi, kamu abis gibahin aku sama Mbak Kim? Wah, aku penasaran kalian ngomongin tentang apa," ucap suara di speaker ponsel.

Kedua mata Sara melotot ketika menatap layar ponsel. "S-Sadam, kenapa menelpon jam segini?"

"Kenapa, ya? Kangen kayaknya. Kamu kangen aku nggak?" tanya Sadam dari seberang sana.

"Aku tutup."

Sadam terkekeh sebentar. "Nanti dulu. Aku beneran pengin mendengar suara calon istriku."

Hi, Oneders!

Sadam & Sara sudah sampai bab 35 di KaryKarsa. Yuk, baca lebih cepat di KaryaKarsa onderfulonly.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro