CAMILA [38]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa masalahnya dengan Keenan?" Pertanyaan itu yang langsung Sisil lontarkan saat kami bersisapa pagi ini di dalam lift.

Putusnya hubunganku dengan Keenan kemarin pastinya meninggalkan banyak tanda tanya, yang sangat enggan untuk aku ungkap. Pikiranku masih menimbang untuk menjawabnya. Sisil pun tidak memburuku dengan pertanyaannya lagi, meski jelas dia menunggu jawaban dariku. Lantas aku menawarinya membuat kopi di pantry kantor sebagai isyarat kalau lebih baik kami membahasnya di sana.

"Bukan Keenan yang bermasalah, tapi aku sadar kalau aku belum bisa menjadi yang terbaik untuk dia," kataku sambil meletakkan dua gelas kopi di meja. Menyodorkan salah satunya di hadapan Sisil yang menatapku dengan pandangan heran.

"Kenapa bisa kamu berpikiran seperti itu?" tanyanya.

"Ini demi kebaikan Keenan juga. Aku nggak mau menyakiti hati dia lebih dalam lagi." Ada getar dalam suaraku yang berusaha kusembunyikan. "Aku belum bisa mencintai dia seperti aku yang masih mencintai mantan suamiku."

"Karena kamu belum bisa melupakan mantan suami kamu? Hanya karena itu?" Suaranya pelan tapi terasa tajam. Yang bagiku itu lebih sebuah kalimat penegasan daripada pertanyaan. 

"Menurut kamu? Apa ada lagi alasan yang bisa membuat aku ninggalin Keenan?"

Sisil mendesah pelan, terlihat tidak puas dengan perkataanku tadi. Dia menyelipkan helaian rambut yang sedikit berantakan ke belakang telinganya. Rambut panjangnya sengaja dia biarkan tergerai, menjadi daya tarik kecantikan Sisil yang natural. Belum lagi wajah khas oriental yang dimilikinya semakin mempertegas keindahan ragawi tersebut. 

Sisil tentu sangat sesuai jika disandingkan dengan Farid yang tampan. Walau sekarang aku tidak lagi berpendapat mereka pasangan serasi setelah tahu kebiasaan Farid bermain-main dengan perempuan lain. 

"Sebenarnya kita itu punya kesamaan. Kita nggak pernah saling  mengungkapkan masalah pribadi dan lebih memilih menyimpannya sendiri. Itu juga yang membuat aku suka menjadi teman kamu, Mil." Sisil tersenyum saat mengatakannya. Dan aku sependapat mengenai hal itu. 

"Tapi maaf, kali ini aku harus sedikit ikut campur." 

Dia kini lebih serius melihatku. "Aku hanya ingin bilang kalau terkadang kita hanya butuh dicintai tanpa perlu mencintai. Andai aku berada di posisi kamu, aku nggak akan melepaskan Keenan. Karena ...." 

Sisil terdiam sesaat, seperti menimbang untuk mengatakannya. Menahan sesuatu yang mungkin saja bisa meledakkan tangisnya, tapi aku tahu Sisil bukan orang yang mudah menunjukkan emosi paling sensitifnya itu.

"Karena aku tahu rasanya mencintai tanpa dicintai. Itu sangat melelahkan, Mil." 

Pandangannya dialihkan pada gelas kopi yang dia pegang kedua sisinya dengan erat, lalu berkata lirih, "Farid nggak pernah mencintai aku, tapi aku tetap bertahan karena  nggak mau kehilangan dia. Aku merasa sudah cukup bisa hidup bersama dengan orang yang aku cintai."

Aku tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar. Bagaimana bisa Sisil menikah dengan Farid yang tidak mencintainya?

Klek!

Pintu pantry terbuka. Seorang office boy masuk, menjeda obrolan kami. Laki-laki bertubuh kurus itu lalu menyeduh kopi sambil sedikit berbasa-basi. Tak berapa lama dia keluar lagi dari pantry bersama nampan berisi beberapa cangkir kopi panas.

Secepatnya aku bertanya, "Bagaimana bisa kamu hidup seperti itu?"

"Karena aku bahagia bisa mencintai dia. Aku nggak yakin akan bisa bahagia tanpa Farid bersamaku, Mil." Sisil tersenyum samar. Berusaha menunjukkan kalau dia kuat dan baik-baik saja dengan ketimpangan dalam rumah tangganya.

Buru-buru aku menggeleng tidak sependapat. "Kamu bisa memperoleh yang lebih baik, karena kamu juga pantas untuk dicintai, Sil. Buat apa kamu terus-terusan menahan diri dengan Farid yang suka berse ...." Aku langsung terdiam. Astaga, hampir saja aku keceplosan. 

"Berselingkuh maksud kamu?" Sisil cepat menebaknya. Yang membuatku lebih heran lagi. 

"Aku sudah tahu, kok. Malah aku sudah tahu kalau Farid itu hobi gonta-ganti wanita dari sebelum kami menikah."

"Dan kamu merasa baik-baik saja dengan hal itu? Ya Tuhan, Sisil!"

Sungguh, aku tidak bisa memahami ada wanita yang bisa menerima situasi seperti itu. Terbuat dari apa hati Sisil? Bahkan bagiku akan sangat sulit bertahan bila ditempatkan pada posisi Sisil. Apalagi yang bisa lebih buruk dari perselingkuhan?

"Aku hanya tinggal menutup mata atas segala perilaku Farid di belakangku. Dia mungkin mengira aku nggak tahu, tapi aku memang membiarkannya seperti itu."

"Tapi yang dilakukan suami kamu itu nggak baik. Kalian sudah terikat pernikahan, jadi seharusnya dia bisa lebih memperbaiki diri."

Sisil menggeleng. "Aku yang sudah mengambil risiko itu, Mil. Dan Farid tetap menjadi seorang suami yang baik. Di rumah dia milikku. Itu sudah cukup. Aku nggak mau ambil pusing dengan apa pun yang dilakukannya di luar sana. Yang terpenting Farid ingat tempatnya berpulang itu adalah aku. Istrinya yang sah."

"Nggak ada rasa sakit hati?" 

Lama Sisil terdiam. "Ada. Tapi aku terlalu mencintai Farid. Sampai aku nggak lagi punya tempat untuk memikirkan rasa sakit itu."

Kopiku sudah mulai dingin, tapi aku enggan untuk meminumnya. Ini pembicaraan paling pribadi yang pernah kulakukan bersama Sisil sejak aku menjadi rekan sekantornya.

"Kita berbeda, aku nggak bisa seperti kamu. Aku memilih bercerai ketika dibohongi mantan suamiku, karena aku nggak mau terus-menerus bersama rasa sakit itu." 

Sisil mengangguk. "Kita mungkin berbeda dalam menyikapi masalah ini. Kamu memilih pergi, sedangkan aku memilih bertahan. Tapi kita punya satu persamaan. Kita sama-sama mencintai orang yang sudah menyakiti hati kita."

Sisil menyesap kopinya lalu melanjutkan perkataannya lagi, "Bisa kamu bayangin, kan, kenapa mencintai seseorang itu bisa melelahkan. Itu juga yang mungkin dialami Keenan. Dia sudah merasa bahagia bisa mencintai kamu. Tapi harapannya kamu putus."

"Tapi sudah jelas, itu juga yang menjadi alasanku untuk memutuskan Keenan. Aku nggak mau dia merasa lelah menungguku, Sil. Aku nggak mau dia mencintai aku yang nggak bisa mencintai dia." 

"Dari mana kamu tahu kalau kamu nggak bisa mencintai dia? Apa kamu sudah mencobanya dengan sungguh-sungguh? Atau kamu sebenarnya nggak sadar kalau selama ini kamu yang nggak mau ngelepasin masa lalu kamu?" Pertanyaannya menohokku, membuatku kehilangan banyak kata. 

Sisil menatap lurus padaku. "Menurutku belum terlambat kalau kamu masih mau mengubah pilihan."

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro