Hancur [45-B]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Camila

 Keenan baru saja melewatiku dan sama sekali tak mau melihatku. Aku berbalik, melihat dia membuka pintu IGD lalu menghilang dari pandanganku. Ada perasaan menusuk karena tidak diacuhkan oleh orang yang biasanya hangat padaku. Kumaklumi itu. Mungkin sulit bagi dia menerima fakta tentang Nadia. 

Baru kali ini kulihat Keenan seemosional itu. Kecewa, marah, dan mungkin perasaan dibohongi yang membuatnya menghajar Farid. Aku buru-buru mengeluarkan ponsel. Aku harus segera menelepon Dimas dan mencegahnya datang ke sini. Aku nggak mau keterkaitan antara aku, Dimas, dan Nadia diketahui Keenan. Setidaknya bukan hari ini. 

•••

Dimas

"Jangan datang ke rumah sakit," kata Camila cepat begitu aku mengangkat telepon darinya.

"Kenapa?" tanyaku heran. 

"Mas Dimas apa nggak tahu sesuatu tentang Nadia?"

"Sesuatu? Maksudnya?" Aku makin bingung. 

"Kalau begitu kita bicarain aja langsung. Tapi jangan di sini. Gimana kalau di kafe Ornella yang di dekat kantorku.” 

"Apa aku jemput kamu aja di rumah sakit? Ini juga sudah dekat."

"Nggak usah. Pokoknya Mas dimas jangan ke sini. Aku bisa naik taksi."

Sebenarnya ada apa sampai aku dilarang ke rumah sakit? Pertanyaan itu muncul di tengah kekahawatiranku akan kondisi Nadia yang belum kuketahui. 

Tidak sulit menemukan Kafe Ornella yang berada dipinggir jalan besar. Dengan tembok bata berwarna ungu membuat kafe itu lebih mencolok di antara deretan ruko maupun bangunan lainnya.

Bunyi lonceng langsung menyambut begitu kubuka pintu kafe ini. Tidak terlalu ramai, tapi tidak bisa dibilang sepi juga. Kuedarkan pandangan dan memilih duduk di tempat paling pojok. Camila belum sampai. Mungkin sebentar lagi, karena jarak rumah sakit ke kafe ini tidak terlalu jauh.

Tak sampai sepuluh menit, Camila sudah datang. Dia melihatku setelah kulambaikan tangan. 

"Mau makan dulu?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Nggak. Aku pesan minum aja." 

Setelah pesanan kami dicatat waitress, aku langsung bertanya, "Sebenarnya ada apa?"

"Nadia pingsan di kantorku."

Aku mengernyit bingung. "Mau apa dia ke kantor kamu?" 

"Dia bertemu dengan teman sekantorku. Mereka punya masalah pribadi, lalu Nadia pingsan dan aku membawanya ke rumah sakit."

"Terus kenapa aku nggak boleh ke rumah sakit?"

"Mas Dimas tahu kalau Nadia hamil?" tanyanya balik. 

Aku mengangguk.

"Kakaknya tadi ada di sana dan baru menghajar orang yang menghamili Nadia." Camila menyilangkan kedua tangannya. "Aku nggak mau menambah sakit hati kakaknya itu kalau tahu siapa kamu, Mas."

Aku semakin tidak paham. Memangnya kakaknya Nadia ada urusan apa denganku?

Seolah mengerti kebingunganku, Camila mengembuskan napas pendek lalu menjelaskan, "Kakaknya Nadia itu Keenan."

"Keenan?" Aku terkejut mendengar nama lelaki itu disebut. 

"Siapa lagi memangnya?" tegasnya. 

Aku menggelengkan kepala mengetahui fakta ini. Konyol. Bisa-bisa aku tertawa sekarang kalau tidak melihat wajah Camila yang serius.

Nadia pernah beberapa kali menyinggung soal keluarganya, termasuk kakaknya yang berprofesi dokter dan bernama Keenan. Aku sudah tahu nama kakaknya itu, tapi aku tidak pernah terpikir kalau Keenan ini adalah orang yang sama. Dari ratusan ribu atau mungkin jutaan orang yang memiliki nama Keenan, kenapa orang ini bisa terjebak di antara kami? 

"Kamu nggak mau kasih tahu Keenan?" tanyaku sambil meraih kuping cangkir berisi kopi yang baru saja diantarkan waitress.

"Kuharap Keenan nggak akan pernah tahu, tapi aku merasa nggak perlu memberitahu dia, karena sekarang aku bukan siapa-siapanya lagi. Aku nggak memiliki kepentingan atau keharusan untuk memberitahu dia tentang kita. Hubungan kami sudah berakhir."

"Apa karena Nadia kalian akhirnya putus?"

"Itu satu-satunya cara agar Keenan nggak terluka. Aku nggak mau nanti malah menjadi beban buat dia, Mas." 

Jelas sekali Camila sedih. Aku melihat itu dari sorot matanya. Namun aku tidak bisa bohong kalau aku senang Camila dan Keenan putus. 

"Jadi lebih baik Keenan nggak perlu tahu tentang kaitan kita dengan Nadia. Kita yang rusak, tapi jangan sampai gara-gara kita membuat Keenan ikut rusak." 

Tanpa ragu aku langsung memegang punggung tangannya. Dia terkesiap, tapi dia tidak menarik tangannya. Untuk beberapa saat, kami hanya diam saling menatap. 

Keenan sudah tidak memiliki Camila, jadi bukankah aku berkesempatan memilikinya lagi. Dia juga masih mencintaiku, tidak ada salahnya kalau kami bersama lagi.

Tanganku menjauh dari tangannya, lalu aku berkata, "Minggu depan aku akan menikah." Aku melihat ekspresi Camila yang tetap datar, lantas aku berkata lagi, "Menurut kamu, apa aku harus melakukannya?" 

Dia tercenung. Paham dengan maksud pertanyaanku tadi. Aku masih berharap banyak, kalau dia mengatakan sesuatu yang akan membuatku membatalkan rencana pernikahan.

"Selamat atas pernikahan kamu, Mas. Semoga itu yang terbaik. Awal yang baru untuk Mas Dimas. Dan aku juga akan kembali memulai awal yang baru." 

Camila seolah memberitahuku, kalau kami tidak akan semudah itu. Camila mirip sebuah mimpi yang selamanya hanya bisa kugantungkan dalam harap, tanpa pernah bisa kuwujudkan  bentuk mimpi itu. Bersamaku, dia hanya akan terus mengingat rasa sakit itu.

Sebuah awal baru, mungkin menjadi hal terbaik untuk kami. Daripada bersusah payah kembali menyatukan kepingan yang sudah telanjur hancur.

••☆••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro