KEENAN [10]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setiap POV bisa dilihat dari judul bab-nya ya. Terima kasih.
•••

"Dari sekian banyak wanita yang bersedia mengangkang di hadapan lo, ada nggak yang bisa membuat lo jatuh cinta?"

Sebuah garpu jatuh. Seorang ibu muda menutup kedua telinga anaknya yang masih balita. Beberapa gadis remaja tertawa cekikikan. Sisanya mungkin memilih pura-pura nggak mendengar.

Aku segera menggeplak kepala pemilik otak mesum bin bahlul di depanku ini dengan buku menu tanpa ampun. Dia hanya meringis, mengusap-usap kepalanya. Namun masih bisa tertawa tanpa peduli ucapannya barusan membuat hampir setengah pengunjung di kafe ini menengok ke arah meja kami.

Oh iya, ketinggalan. Si mbak-mbak waitress yang sedari tadi berdiri menunggu pesanan kami pun seperti menahan senyum. Mungkin dia pikir aku dan si bahlul itu sama-sama berotak mesum.

"Lo ngomong kekencengan, Rid." Aku kembali melayangkan buku menu ke kepalanya. Dia buru-buru menangkis. "Lo nanyanya sama gue tapi kayak udah mau buat pengumuman satu kelurahan," protesku lalu kembali mengarahkan fokus pada deretan nama menu makanan dan minuman yang dijual di kafe ini.

"Gue, kan, cuma mau tahu aja, Kin. Apa yang lo dapetin dari banyaknya wanita yang merelakan anunya lo utak-atik?"

Si bahlul ini malah semakin keras suaranya. Tambah ngaco. Aku melotot, dia tertawa geli melihatku yang jengah dengan keusilannya.
Aku buru-buru menyebutkan pesanan kami. Nggak enak diliatin terus sama si mbak waitress yang bisa-bisa mengira aku ini seorang penjahat kelamin.

"Pertanyaan gue jawab, dong," tukas Farid sambil matanya tetap mengikuti langkah waitress yang meninggalkan meja kami.

"Males gue jawabnya, nggak penting banget pertanyaan lo," tolakku

Si bahlul berwajah khas pangeran arab yang duduk di hadapanku ini namanya Farid Arkhan Fatturahman. Namanya islami, tapi otaknya nggak jauh dari selangkangan Miyabi. Farid adalah temanku sejak masih memakai seragam putih-biru sampai sekarang. Teman yang bisa diajak ke mana saja saat lagi jenuh. Ngobrolin apa saja yang bisa membuat kami lupa waktu. Nonton bola bareng, makan bareng, nonton film bareng, main futsal, main bola basket, main kartu, main catur, dan main-main lainnya. Kecuali main cewek. Itu hobi khusus untuk si Farid saja.

"Heh, Kin, itu gue nanya karena gue curiga sama lo."

"Curiga apaan?"

"Gue rasa lo sampai sekarang belum nikah juga gara-gara bosan lihat anunya cewek."

"Sialan lo!" Refleks aku melempar kotak tisu ke arahnya. Namun cepat si onta arab itu menangkapnya.

Farid tertawa. "Gue penasaran aja, Kin. Hampir setiap hari pasti lo melihat yang begituan, masa nggak ada rasa-rasa pengin nyoba."

"Itu karena otak lo aja yang selalu ngeres."

"Bukan ngeres, tapi gue hanya laki-laki normal yang pasti maunya mencoba sana-sini."

Aku berdecak. "Istri lo kan, sudah ada. Lo liatin aja punya istri lo."

"Ah, bosen gue sama Sisil." Farid mencondongkan kepalanya ke arahku lalu berbisik pelan, "Gue mau cari selingan, Kin, nanti malam.”

"Lo apa nggak takut kelakuan ajaib lo nanti ketahuan Sisil, Rid” Aku menyebut nama istrinya.

"Nggak mungkinlah gue bakal ketahuan, kecuali lo yang ember, Kin."

Berstatus sebagai teman saja memang nggak cukup tanpa menjadi penjaga rahasia Farid yang paling setia.

"Lo nggak kasihan sama Sisil?" Aku menyesap secangkir caffè americano yang baru saja diantarkan oleh waitress.

"Nah, gue kasihan kalau Sisil sampai tahu gue main cewek di belakangnya. Dia pasti sakit hati banget. Makanya jangan sampai Sisil tahu. Nggak tega gue lihat dia nanti kalo nangis."

Ini aku yang otaknya kurang pintar atau memang si Farid yang otaknya nggak benar. Sinting.

"Itu lo ngerti, Rid. Jadi seharusnya lo sudah nggak perlu main cewek lagi."

"Tapi semakin banyak cewek yang gue cobain, makin banyak pula pengetahuan serta ilmu yang gue akan dapatkan," jelas Farid yang sebenarnya aku nggak perlu heran lagi dengan perkataannya yang somplak. Ilmu pengetahuan aja pakai dihubung-hubungkan segala demi mendukung alasannya.

"Bosen juga lihat Sisil kadang hanya dasteran kalau di rumah. Sekali-kali gue mau balik nyobain rasa cewek ber-G-String."

"Gaya lo, Rid. Lo lihat nenek-nenek pakai bikini juga lo nafsu," cibirku.

"Sialan lo!" Farid tergelak lalu mengusap layar smartphone-nya dan sambil memperhatikan ponselnya itu dia bertanya, "Gimana kemarin sama Ericha?"

"Cuma ngobrol sebentar, terus gue pulang." Aku malas membahas tentang wanita yang coba Farid kenalin kemarin.

"Lo langsung pulang? Nggak ngapa-ngapain, Bro?"

"Memangnya lo maunya gue ngapain?"

"Kan, minimal lo bisa colek dikit, Kin. Barang bagus lo cuekin. Kalau sudah ngerasain si Ericha juga lo suka."

"Gue gak minat buat ngerasain."

"Ah, payah lo. Seperti yang nggak pernah ngerasain surga dunia paling enak aja."

"Memang belum pernah."

"Eh?" Farid membelalakkan matanya.

Aku diam. Farid diam. Aku mengangkat bahuku. Farid melongo.

Dia memandangku takjub, lalu mengatakan, "Lo serius belum pernah sama sekali?"

Farid langsung tertawa begitu dia tahu kalau aku belum pernah melakukan hubungan seks dengan wanita manapun.

"Gila. Gue menemukan keajaiban dunia di hadapan gue!"

Dunia ini seperti kembali ke masa primitif. Tata cara kehidupan yang berlaku sekarang memutarbalikkan norma serta sopan santun yang sudah mengakar pada suatu bagian populasi masyarakat di satu kota. Contohnya Jakarta. Kota di mana banyak tindakan tabu tidak menjadi tabu lagi untuk dilakukan. Seolah Tuhan sudah meniadakan dosa. Sehingga hal tabu itu menjadi sebuah keharusan, kebutuhan, serta menjadi gaya hidup yang kalau nggak diikuti siap-siap saja disebut kolot. Dan Farid malah mengira aku seorang homo, hanya karena aku sampai sekarang masih berstatus PERJAKA. Belum pernah 'menyentuh' dan 'disentuh'.

"Gue kira, lo paling nggak pernah sekali dua kalilah nyobain. Ternyata ...." Farid masih saja tertawa lalu melanjutkan, "What's wrong with you, Man?"

"Nggak ada yang salah dengan pilihan gue nggak mau melakukan seks bebas. Nggak ada yang salah dengan pilihan hanya akan melakukan seks setelah menikah," kataku.

Farid makin terbengong-bengong ketika dengan percaya dirinya aku bilang, "Gue hanya mau melakukan hubungan seks saat gue menjadi seorang suami."

"Lo itu udah tiga puluh tiga tahun, tapi masih bisa berprinsip begitu!" Farid menepuk tangannya. Ekspresinya tampak antara menunjukkan rasa kagum dan juga heran dengan kebodohanku.

"Buruan, deh, Kin. Cepetan lo nikah. Jangan sampai lo nanti meninggal dalam keadaan perjaka!"

•••

Setelah selesai minum kopi bareng, aku dan Farid berpisah di parkiran dan mengendarai mobil kami sendiri. Farid kembali ke kantornya, sedangkan aku menuju RSIA di bilangan Palmerah. Tempatku berpraktek sebagai dokter spesialis obstetri dan ginekologi setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Sedangkan untuk hari Senin, Rabu, dan Jumat aku membuka praktekku di RSIA lainnya.

Nggak makan waktu lama untuk menuju rumah sakit. Siang hari jalanan nggak seruwet pagi, sehingga aku masih bisa menikmati waktu makan siangku dengan santai di kafetaria rumah sakit. Saat tadi di kafe, aku sengaja hanya memesan kopi, karena hari ini aku ingin menikmati soto ayam yang menjadi favoritku di kafetaria ini.

Asal tahu saja, aku memiliki keinginan yang sederhana menyangkut makanan. Yang setiap kumulai menyendokkan suapan pertamaku masuk ke mulut ini, yang terlintas adalah: aku ingin merasakan makan siangku bersama wanita yang kucintai.

Sederhana sekali bukan?

Sayangnya, nggak ada wanita yang berlabel available untuk dapat kuubah statusnya menjadi yang teristimewa saat ini. Bukan karena aku nggak punya ketampanan seperti yang Farid miliki untuk menggaet wanita. Aku punya ketampanan yang menurut orang lain juga sama seperti sahabatku itu.

Aku nggak sedang memuji diriku sendiri. Tapi nyatanya memang seperti itu. Aku nggak menjadikan faktor yang bisa membuatku dengan gampang memikat wanita ini, untuk kujadikan alasan sebagai pembenaran untuk menjadi seorang playboy.

Seperti Farid yang memakai wanita dalam artian sekali pakai, lalu mengganti dengan wanita baru lainnya di lain kesempatan. Aku nggak bisa seperti Farid.

Mungkin aku termasuk dalam tipikal pria kolot di tengah arus zaman yang semakin menggila. Namun apa salahnya jika tetap menjadi orang yang bergerak tetap pada jalurnya. Nggak melewati garis yang menjadi batasan suatu norma. Menunggu hingga cinta akan menyapaku suatu hari nanti dan berkata secara tersirat, 'hai akulah jodohmu' dalam sekali pandang.

Cinta tetap kujadikan dasar untuk diriku sampai pada taraf, aku ingin bahagia bersamanya, aku ingin memiliki banyak anak bersamanya, aku ingin tua bersamanya. Sesakral itulah aku mendefinisikan makna mencintai seseorang. Bukan hanya perkara satu malam, satu hari, dan hubungan sesaat saja, tapi ini perkara seumur hidup.

•••☆•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro