Masih Mencintaimu[28-B]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dimas

Camila berjalan cepat meninggalkan ruangan. Meninggalkan aku dan Mama dengan fakta yang baru saja aku ungkap.

"Bagaimana bisa?" Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasa tidak yakin dengan yang baru saja aku ungkapkan itu. "Bagaimana bisa kamu nggak pernah menyentuh dia?" 

Aku menarik napas panjang. Memasukkan udara sebanyak yang aku bisa lalu berujar, "Kita bahas masalah ini di rumah aja, Ma." 

Dan tanpa perlu menunggu tanggapan Mama, aku bergegas keluar ruangan . Dia di sana, sudah berada di dalam lift. Aku segera berlari sebelum pintu lift menutup dan mengembuskan napas penuh kelegaan ketika berhasil masuk. 

Camila melihatku, tapi dia hanya diam. Aku berdiri di sebelahnya, sama-sama bersandar pada dinding lift. Selanjutnya hanya kebisuan yang membungkus kami. Mungkin dengan beberapa menit dalam diam, aku bisa memberikannya waktu untuk menata segala keruwetan yang dia hadapi dengan mamaku. 

Tentu aku tidak bisa mengelak kalau permasalahan ini bermula dariku. Seandainya aku tidak memaksakan kemauanku,  mungkin dia tidak akan bertemu Mama hari ini. Tidak akan menerima segala caci maki itu. Aku kecewa pada Mama yang bisa berkata sejahat itu pada Camila. Namun aku lebih kecewa pada diriku sendiri yang berkali-kali lipat lebih jahat dari sekadar perkataan Mama. 

"Kita perlu bicara, Mil," ujarku sesaat setelah kami keluar dari lift.

"Nggak ada yang harus kita bicarakan lagi." 

Dia berkata tanpa melihatku dan malah semakin mempercepat langkahnya. Sampai aku melihatnya limbung ke samping dan terjatuh. Aku segera mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, tapi dia sepertinya merasa kesakitan.

•••

Camila

"Ah!" Aku memekik, merasakan sakit pada bagian mata kakiku. 

Kakiku sepertinya terkilir, karena tadi berjalan terlalu cepat demi menghindari Dimas. Aku seolah lupa kalau berjalan cepat dengan memakai sepatu berhak, bukan pilihan yang tepat di saat ingin menghindari seseorang. 

"Kamu nggak apa-apa? Bagian mana yang sakit?" Dimas tampak khawatir. 

Selama beberapa saat aku bergeming. Menatapnya dalam jarak yang aku bisa melihat bagian wajahnya lebih detail. Dia menoleh, yang membuatku buru-buru mengalihkan pandanganku.

"Aku bisa berdiri sendiri," tukasku saat Dimas mencoba membantu. 

Namun ternyata butuh usaha untuk bangkit berdiri. Rasa nyeri itu malah semakin bertambah. Aku berusaha menahan sakit dengan mempertahankan raut wajahku sebiasa mungkin, tetapi Dimas mungkin menyadari sandiwaraku. Tanpa pemberitahuan lebih dulu, dia langsung mengangkat tubuhku, memposisikan diriku dalam rengkuhan di depan dadanya. 

"Mas Dimas lepasin. Turunin!" protesku.

Dia menggeleng. "Aku akan antar kamu pulang." 

"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri. Sekarang tolong turunin aku!"

"Jalan aja kamu nggak bisa, bagaimana kamu mau pulang?"

"Turunin aku!" 

Dimas tidak menggubrisku. Dia terus berjalan melewati orang-orang di lobi yang melihat kami dengan tatapan heran. Aku segera memalingkan wajahku menghadap ke arah dada Dimas. Dan hal yang sulit aku cegah dari jarak sedekat ini adalah bisa menghirup aroma tubuhnya yang selalu sama. Aku berharap tidak akan menjadi kehilangan fokus karena hal tersebut. Tapi aku tidak bisa bohong kalau dadaku sekarang berdebar. Detak jantungku seolah semakin cepat dan sudah keluar dari ritmenya. 

Seorang security yang melihat, buru-buru menghampiri  kami dan membukakan pintu mobil Dimas. Aku tidak merasa ini keputusan yang bagus untuk diantar pulang. Namun ketika aku turun dari gendongannya, lalu mencoba berdiri tanpa dibantu tangannya pun aku tidak bisa. Hingga akhirnya aku tidak bisa menolak lagi. Aku duduk di sebelahnya dan dia menanyakan lokasi rumahku.

Selanjutnya aku merogoh isi tas untuk mengambil ponsel yang ternyata sudah dalam keadaan mati. Padahal aku perlu mengabari Keenan kalau aku tidak bisa datang ke rumah Sisil.

Ketika mobilnya perlahan keluar dari area parkir, dia berkata,  “Aku minta maaf atas segala sikap dan ucapan mamaku tadi, Mila."

"Aku menghormati mamamu, Mas. Aku mungkin memang  bukan menantu yang baik. Aku senang kalau akhirnya Mama bisa mendapatkan menantu yang jauh lebih baik dan pantas untuk kamu, Mas."

Aku lalu menyandarkan kepala ke jendela, mengamati pengendara lainnya yang memenuhi jalan raya di tengah kemacetan.  Membuatku harus lebih lama lagi bersama Dimas.

"Tapi aku hanya cinta sama kamu, Mila." Dimas berkata pelan. 

"Jangan bahas tentang cinta, kalau Mas Dimas nggak paham arti dari cinta itu sendiri.”

"Kenpa kamu nggak bisa percaya sama aku?"

"Bagaimana aku bisa percaya dengan orang yang tega menipu aku sampai dua tahun lamanya?"

•••

Dimas

Dia tidak bisa memercayaiku. Begitu sulit membuat Camila yakin kalau aku benar-benar mencintainya, sedangkan dia sudah antipati denganku. Membangun dinding di antara kami, sehingga akan sulit bagiku untuk memasukinya.

"Apa yang harus aku lakukan biar kamu percaya?" 

"Nggak ada yang perlu kamu lakukan. Aku nggak perlu sebuah pembuktian, Mas. 

Aku kemudian menepikan mobil di pinggir jalan, karena aku tidak bisa berkonsentrasi menyetir dengan isi pikiran yang tak menentu.

"Terserah kamu mau percaya atau nggak. Tapi yang pasti aku nggak bisa untuk nggak memikirkan kamu setelah perceraian kita. Bahkan aku sebenarnya sudah memutuskan untuk memilih kamu sebelum kamu meminta cerai. Kalau kamu kira aku nggak menderita setelah kita berpisah, kamu salah, Mila.”

Hatiku seperti tersayat melihat air mata mulai menggenang di pelupuk mata Camila, lalu bergulir dan jatuh membasahi pipinya. Aku tidak tahan untuk tidak menghapus titik-titik air mata itu. Hingga aku mencondongkan tubuh ke arahnya, merangkum wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Menelusuri kedalaman pikirannya dari sepasang netra yang kini menatapku, dengan air mata yang aku tahu sebenaranya sudah dia coba tahan. 

Aku kembali mengatakan sesuatu yang sudah seharusnya aku katakan sejak dulu, "Aku sangat mencintai kamu."

Dan hal itu terjadi begitu saja, saat bibirku menyentuh kelopak bibirnya. Tidak ada penolakan, tidak ada tindakan apa pun yang dilakukannya selain diam dan membiarkan aku menciumnya. Sampai aku menyadari sesuatu, saat dia mulai membalas pagutanku. 

Camila masih mencintaiku.

•••

Camila

Kelemahan dari seorang wanita yang salah satunya aku miliki. Seberapa keras pun aku berusaha untuk terlihat kuat, tapi nyatanya aku gagal. Air mata ini sudah tidak bisa lagi kubendung. Melesak keluar setelah Dimas mengatakan hal yang malah membuatku bertambah sedih.

Air mataku terus mengalir, mengeluarkan sesak yang mencari pelepasan. Aku tidak mau tampak bodoh di hadapannya dengan menunjukkan sisi terlemahku. Namun apa yang bisa kulakukan ketika hatiku tidak bisa berbohong, ketika aku tidak bisa mengelabui perasaanku sendiri.

Dia merangkum wajahku. Menatap lembut padaku, yang di dalam sorot matanya kutemukan kesungguhan. Aku percaya dia mencintaiku. Dadaku bergejolak, menggemuruhkan emosiku akan dirinya yang telah lama kutahan. Aku sangat merindukannya. 

"Aku sangat mencintai kamu," bisiknya lalu semakin mendekatkan wajahnya padaku. 

Detik saat bibirnya menyentuh bibirku menjadi awal bagiku menyadari bahwa aku masih mencintai Dimas. Mencintainya dengan segala luka yang pernah dia buat. Mencintainya meski waktu sudah menggulirkan babak baru dalam kehidupanku. Mencintainya tanpa tahu kapan perasaan ini akan terhapus dan menghilang. 

Sentuhan bibir Dimas memperparah rasa rinduku selama ini padanya. Sekian lama aku memendamnya dan berusaha menata hatiku yang pernah kelabu karena dirinya. Ciuman ini terasa menggoda dan mendobrak masuk mencari kepingan hatiku untuknya.

"Aku juga cinta kamu," bisikku saat kami sama-sama mengambil napas.

"Benar?" tanyanya

Aku mengangguk. Dia tersenyum lalu kembali menciumku. Dan aku membalas pagutannya. Merasakan detik demi detik sentuhan fisik ini berjalan. Mengeluarkan segala emosi yang berwujud cinta bercampur rasa sakitku pada Dimas. Aku sangat merindukannya. Aku sangat menginginkannya. 

Namun tiba-tiba nama itu seperti menyelinap masuk dalam pikiranku. Keenan.

Apa yang aku lakukan?

Mataku membuka. Menghentikan sentuhan fisik ini. Dahi kami masih saling menempel.

Tangannya berada di belakang kepalaku, menahanku dalam posisi tetap dekat dengannya. Deru napas kami terdengar, mengisi paru-paru kami dengan udara. Aku segera melepaskan diri dari rengkuhan Dimas. Berciuman dengan Dimas membuatku seperti mengkhianati Keenan. 

"Ini salah." Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Kita seharusnya bisa lebih mengendalikan diri."

"Kamu anggap yang kita lakukan tadi itu kesalahan?" 

"Kita nggak boleh seperti ini, Mas. Kita sudah bukan kita yang dulu. Semua sudah beda."

"Nggak ada yang berbeda, Mila. Aku masih cinta sama kamu," ucapnya lalu menambahkan, "Dan kamu juga cinta sama aku." 

Hanya Keenan yang terpikirkan olehku sekarang. Aku telah melakukan kesalahan dengan membiarkan perasaanku pada Dimas terperosok kembali.

"Kamu harus jujur dengan perasaan kamu." Dimas menatapaku, seolah mencari wujud kata-kata cinta yang didengarnya beberapa saat lalu. 

"Mas Dimas benar." Kuhela napas sejenak lalu berkata, "Aku juga cinta sama kamu, tapi bukan berarti kita bisa bersatu lagi, Mas. Kita sudah punya pilihan masing-masing." 

"Aku nggak mencintai Aninda."

"Lalu kenapa Mas Dimas mau menikah sama dia?"

"Aku nggak punya pilihan."

"Dulu juga mungkin kamu nggak punya pilihan saat menikah sama aku. Mas Dimas terpaksa menikah dan menyembunyikan kebohongan karena cinta kamu untuk Nadia. Apa nasib Aninda akan berakhir sama seperti aku? Tapi dengan posisiku yang diubah menjadi posisi seperti Nadia dulu." 

Aku lalu melanjutkan, "Aku nggak bisa sejahat itu, Mas. Aku tahu dan hapal rasanya kamu bohongi."

Dia diam. Aku pun diam.

"Kamu mencintai aku, tapi kenapa kamu memilih dia?" tanyanya kemudian. 

Tidak perlu waktu lama untuk aku menjawab, "Karena Keenan bisa menghargai aku."

••☆••


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro