[10] Target's Locked On

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Double D, emergency calls. Darurat! Meet up di Permai Nusantara Hospital. Really really right now. Come on! Don't waste your breathe!"

Voice note Alan yang baru saja berhasil sampai di sebuah grup berbasis WhatsApp dengan subjek 2DShip itu hanya dibaca tiga nomor kontak: Sean, Ayesha, dan Akemi. Tak sempat memeriksa dan memecahkan masalah dua anggota lain yang tak mengaktifkan ponsel, Alan berlarian dari bangunan apartemen berlantai sembilan sembari menjejalkan ponsel di saku jaket bomber kusutnya dengan asal.

Sesampainya di parkiran, Alan menerjang sepeda motor yang ia tinggalkan beberapa saat lalu. Sekejap kemudian, deru motornya memecah suasana, bergabung dengan pengendara lainnya. Getaran notifikasi WhatsApp tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari jalanan. Alan malah tidak peduli meski menggunakan kecepatan di atas rata-rata di antara deret kendaraan yang padat. Ponselnya masih terus bergetar.

Sean: Wadidaw, kasus malam! Itu selalu jadi favoritku.
Betewe, our Captain Ezra isn't receive this message. Miskin kuota detected. Enggak modal. Okay, never mind, aku akan jemput dia. Oh, @AyeShayang or @AkeMiura, beritahu Reverie soal ini. Dia pasti keasyikan dengan habitatnya sendiri.

Akemi: Hm.

Tanpa merasa perlu mengganti kostum, apalagi celana bekas kemarin yang belum dicuci, Sean bergegas meraih kunci motor di atas rak berukir megah itu. Tiga kali ketukan mendarat di pintu rumah Ezra selang dua menit kemudian. Untuk beberapa saat, hawa mencekam mengurungnya. Bukan sekadar malam yang semakin naik, atau rembulan purnama menggantung sempurna di angkasa raya seperti scene legend di mana para manusia siluman berubah wujud menjadi serigala. Bukan. Bukan itu. Sean merapal doa dalam hati, karena mungkin dalam beberapa detik ke depan, akan ada sosok paling menyeramkan dari hantu mana pun, di balik pintu ....

"Katakan maumu sebelum kupenggal kepalamu karena telah mengganggu tidur berkelasku, Anak Orang Kaya."

Belum selesai membaca doa penghalau setan, Sean sudah mendapati wajah masam penuh kontradiksi itu di balik pintu. Susah payah, Sean menyembunyikan reaksi terperanjatnya dengan senyuman selebar empat senti. "Ehe, Aunty Sweety. Tamu baru sampai, sudah pedas menusuk saja kalimatmu itu. Karena aku baik hati—ekhem—baiklah, suatu hari nanti akan kuajarkan kau tatacara untuk menyambut tamu yang baik dan ben—"

Gebrakan di pintu kayu yang sudah keropos tetapi tetap kokoh itu membuat Sean menjerit tanpa sadar, spontanitas. "Utarakan maumu dalam sepuluh detik sebelum aku menutup pintu ini. Satu, dua."

Sean kalang kabut. "Waduh, wait. Jangan begitulah, Auntie. Anyway, kau semakin terlihat cantik dan awet muda dengan wajah bangun tidur begitu."

"Tiga, empat." Tak peduli dengan kalimat provokasi dan penarik atensi yang dilontarkan Sean, Zalea masih menghitung tanpa ragu. "Lima, enam."

"Kau tahu? Kita sangat jarang bertemu. Hanya beberapa kali dalam satu pekan, atau bahkan satu bulan. Untuk waktu selama itu ... hei, tidakkah kau merasa pertemuan ini terlalu berharga jika hanya ditukar dengan hitungan waktu sepuluh detik? Berapa puluh jam lagi yang harus kita habiskan, hingga bisa melahirkan temu yang kian semu?"

"Tujuh, delapan, sembilan."

Merasa di ujung tanduk, Sean menghentikan kalimat negosiasinya. Huft, gagal sudah latihan percobaan mempengaruhi hati cewek ke-200 kalinya. Padahal itu digit angka yang keren. Lagipula, Sean terlalu menantang nyali dengan menjadikan Zalea sebagai targetnya. Too impossible. Tak jauh berbeda dengan Ayesha yang sebeku Elsa Frozen. "Panggilkan Ezra."

Mendengar nama itu terlontar, refleks saja Zalea memutar kedua bola matanya malas. Decihan ringan lolos dari mulut Zalea. Baginya, semua tentang Ezra itu merepotkan. Selalu menjadi beban, tak lebih dari sampah yang tak bisa didaur ulang. Setiap hari, hanya mengotori panca indranya saja. Zalea tidak suka berurusan dengan Ezra. Busuk. Useless. Zalea bahkan jauh lebih rela jika keponakannya tinggal nama karena habis di tangan pembunuh itu.

"Cutie Auntie? Helloo!"

Zalea tersadar, segera menjauhi bingkai pintu yang kusennya sudah karatan itu. "Masuklah. Tidak perlu tour guide, 'kan? Dan ingat! Peraturan pertama; don't be noise. Sekali kuanggap suaramu telah menganggu, kurasa kau akan membutuhkan tulang baru. Paham?"

❌   ❌   ❌

Bintang gemintang di angkasa sana terkadang menaburkan ribuan pertanyaan tiada jawab di benak Ezra. Untuk apa ia hidup di dunia, jika rutinitasnya selama ini hanyalah menyaksikan segala macam ironi dan topeng kepalsuan tiada akhir? Apakah Tuhan segabut itu, sehingga pekerjaan-Nya tidak lebih dari menayangkan drama-drama kehidupan di depan mata? Ezra sungguh muak dengan segala itu.

Bagaimana dengan acuan konkret mengenai akreditasi suatu objek? Untuk apa ada kerlipan samudera bintang, jika kegelapan pekat tetaplah berlabel sebagai penguasa di angkasa raya sana? Untuk apa ada pancaran indah kebahagiaan, kalau terjangan badai dan rasa sakit tinggal menunggu waktu 'tuk menyapa di ujung jalan sana? Untuk apa kedaulatan bangsa mengagung-agungkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, jika masih saja mudah diinjak seenaknya? Apakah kehidupan seremang itu, sehingga sulit sekali menemukan topeng palsu di antara kita?

Semua hal di sekitarnya terasa suram bagi Ezra. Mereka selalu saja membisu begitu diajukan pertanyaan. Padahal Ezra sudah sampai pada titik paling jenuh. Ezra lelah dengan jawaban yang tak kunjung ia temukan. Sungguh. Ezra penat jika harus terus memainkan peran yang tidak pernah ia inginkan. Ia seolah terbelenggu oleh skenario sang dalang kehidupan. Dan Ezra baru menyadari bahwa dunianya sekomedi itu hingga orang-orang senang sekali mempermainkan sambil memamerkan tawa menang.

"Ezra? Knock, knock."

Suara bisikan dari balik pintu tak mengalihkan titik fokus tatapan Ezra yang menghujam kaca tanpa jendela di dinding kamar, dengan pemandangan gemintang menghampar. Detik berikutnya, badan cungkring itu nyelonong masuk begitu saja. Ezra tak terkejut dengan kehadiran spesies tak diundang ini. Rumahnya terbilang kecil, pembicaraan—terutama bentakan Zalea—di halaman tadi dapat terdengar jelas sampai sini. Ezra tahu Sean ada keperluan dengannya. Akan tetapi, ia tetap tak berniat untuk beranjak, menganggapnya angin lalu. Ada sesuatu ... yang jauh lebih menarik untuk diamati di sini. Gemintang itu.

Kusen karatan itu berdecit karena sudah sepuh dimakan usia, dan tubuh kerempeng Sean menyelinap masuk dengan mudahnya. "Hei, Bajing Loncat. Mengapa kau tidak memberitahuku bahwa macan betina itu ada di rumah, hah? Kau mau melihat kepalaku ditebas?"

Ezra tetap tak merespons. Hatinya agak tergelitik mendengar Sean yang masih saja mempertahankan suara rendahnya. Oh, tentu saja Ezra turut mendengarkan peraturan pertama yang konyol dari bibinya itu. Sebegitu takutnyakah Sean Sang Anak Sultan kepada Zalea? Padahal dengan kekuasaannya, Sean bisa saja meminta ayahnya untuk menendang Zalea dari rumah tua ini, bahkan dari seluruh muka bumi, kalau mau.

Sebal karena merasa berbacot sendiri, Sean akhirnya menyatakan maksud kedatangannya. "Oi, Captain. Bersiaplah, kita ada misi."

Perhatian Ezra sukses teralihkan. Kedua alisnya mengerut, tanda tanya besar tersorot dari matanya. "Apa?"

"Kita akan ke Permai Nusantara Hospital. Jadi, segera berkemas dan urusi bibi menyebalkanmu itu nanti-nanti, oke?"

Selepas Ezra memakai jaket biru dongkernya, dalam kurun waktu lima belas detik keduanya sudah bersiap menaiki motor. Deru mesin terdengar memecah kesunyian pada malam yang beranjak matang itu. Dan motor itu melesat membelah jalanan secepat kilat. Bergerak menyusul keempat teman lainnya yang juga sama-sama menuju ke satu titik. Titik yang mungkin akan menjadi bagian dari ukiran sejarah baru dalam kehidupan semuanya. Jaket yang tak diritsleting Ezra mengembang diterpa angin. Ia menggigit bibir, mewaspadai hal yang menunggunya di tujuan sana, di saat senyuman Sean merekah lebar, tak sabar untuk kejutan yang menanti.

Sesampainya di tempat parkir, mereka sudah disambut oleh Alan yang tampak resah macam diburu waktu. "Muka kusammu semakin masam saja, Bung. Malas sekali aku melihatmu." Sean lebih memilih mendekat ke arah Ayesha yang sudah dalam gaya cool dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Mata Sean semakin berbinar. "My Dear! Kau masih dan selalu terlihat cantik, seperti biasa. Di mana dua gadis lainnya?"

Ayesha berpaling, lebih memilih untuk menatap rerimbunan pepohonan bagian belakang rumah sakit yang minim penerangan dan tampak seperti di film-film horor. "Akemi jemput Reverie."

"Oh, ya! Cewek rempong, as usual."

"Kurasa kita tidak seharusnya mengikut-sertakan perempuan di malam selarut ini, Alan," sambar Ezra sebelum sarkasme Sean semakin menjadi.

Tak mau kalah, Sean malah ikut menginterupsi, "Yap! Mereka selalu merepotkan. Kecuali engkau, Babe. Tentu saja."

Baru saja Alan berniat mengajak ketiganya agar masuk lebih dulu, Reverie dan Akemi yang baru saja dibicarakan akhirnya tampak di kejauhan. Lampu depannya tepat menyorot mata Alan hingga keluar berbagai sumpah-serapah. Mengantisipasi Sean yang kembali 'mendiskriminasi feminisme', Alan segera saja menjelaskan garis besar situasi, "Setengah dua belas malam, Pak Tasdik dibunuh. Jasadnya sedang diautopsi pihak forensik."

❌   ❌   ❌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro