[14] Berburu Keliru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sungguh. Sejauh apa pun ia melangkah, tak pernah ada spasi yang tersisa untuknya.

Seorang gadis berpapasan dengannya di lorong, melirik sekilas pada name tag di dada. Levin Afrizal | XI MIPA-1. Ia balas menatap tajam, memperbaiki letak kacamata berlensa tebalnya. Lalu, gadis itu terburu-buru menyingkir.

Ya, siapa pun tahu dirinya. Seorang kutu buku dengan dunianya sendiri. Bukan hal yang mudah menelan segala kalimat penghakiman. Akan tetapi, peraihan juara olimpiade Matematika tingkat provinsi beberapa waktu lalu sukses membungkam semuanya. Dan Levin merasa itu semua lebih dari cukup.

Langkahnya ringan memasuki ruang dengan deret buku yang tertata rapi. Tak peduli pada sapaan hangat Bu Rivi, yang sudah terbiasa dengan kehadirannya setiap jam istirahat. Guru di penghujung usia empat puluhan itu sedikit tersentak, mengingat sesuatu, lalu berkata bahwa ia harus meninggalkan perpustakaan sebentar, berlalu begitu saja, tak disahut sama sekali. Levin tak ambil pusing dengan dirinya yang sudah terlampau sering dipercayai untuk menunggui perpustakaan. Ia hanya bergegas mengambil setumpuk latihan soal dan tenggelam di pojokan.

Baru menyelesaikan dua soal HOTS yang hanya memerlukan kurang dari lima menit, Levin membalik halaman. Keningnya mengerut sejenak begitu mendapati cairan merah yang terlihat jatuh dari atas, membuat jejak darah memanjang di permukaan kertas. Belum sempat berkedip, sepotong jari telunjuk hinggap di halaman.

Mendadak saja dirinya terhempas hingga menghantam dinding dengan keras. Layaknya ada seekor gurita yang menumpahkan tinta di dalam air, Levin hanya bisa menatap kelam. Semburat hitam itu perlahan memudar, memperluas jarak pandang. Belum sepenuhnya hilang, tiga buah benda terlempar ke arahnya. Levin berhitung cepat, meraih meja untuk melindungi diri. Dan ketiga pisau itu menancap mantap di kayu berpeliturnya.

"Eh? Bisa menghindar, ya?" Sosok berbalut hitam mendadak muncul dekat rak sektor Sejarah. Ia mengangkat dagu hingga terlihat seringaian mengerikan yang membuat Levin kesusahan menelan ludah. Ia terpojok di sini. Sial. Apa orang lain tidak ada yang mendengar segala kekacauan ini? "Yah. Aku tidak begitu menyenangi target kali ini. Jadi, biarkan aku segera menyelesaikannya tanpa hambatan, oke?"

Sosok berjubah hitam itu menerjang tanpa ampun. Tangannya bergerak cepat meraih pisau dari balik punggung. Levin melempar meja ke arahnya, lalu berguling ke samping hingga membentur rak dan ditimpa setumpuk kamus setebal bantal. Sosok itu menghindari serangan meja dengan bersalto di udara tanpa kesulitan sedikit pun, kemudian mendarat sempurna di atas bangku lain. Menyadari targetnya dapat menganalisis berbagai pertarungan jarak jauh, sosok itu menambah kecepatan serangan. Tahu-tahu, ia sudah berada di depan Levin sambil mengacungkan pisau. Levin hampir kehilangan kendali, mematung tak bergeming. Di detik terakhir, ia mendorong badan untuk menghindar. Serangan itu meleset, tetapi berhasil menghadiahi sayatan dalam di lengan Levin. Dan seragam putihnya seketika dihiasi jejak merah menyala.

"Kuakui, kau punya kemampuan analisis yang cukup baik. Tapi refleksmu lemah. Percayalah, kau tidak akan menyukai ini."

Tak menyisakan waktu untuk menarik napas, senjata bermata tajam itu menari-nari tanpa henti. Empat garis luka kembali tercipta di dahi, pipi, dan bahu kiri. Berikutnya, Levin mencoba menangkis serangan bertubi itu. Namun, telapak tangannya hanya bisa meraih bilah pisau. Sekuat tenaga, Levin memilih untuk menahannya meski cucuran darah semakin deras keluar dari sela-sela jari. Situasi ini tak akan bertahan lama dan tidak menguntungkannya. Perlahan-lahan, tembok pertahanannya akan segera roboh. Dan itu tidak bisa dibiarkan.

Levin membiarkan pisau itu semakin mengiris dalam, dan tangan lainnya menarik lengan berbalut jubah hitam itu lalu melayangkan tinju ke arah dagunya. Tidak maksimal, tetapi cukup untuk menghilangkan fokusnya sejenak. Levin lanjut menghantam keras pergelangan tangan itu hingga pisau terpental jauh. Sosok yang terus menguarkan aura gelap pekat itu malah tersenyum miring. "Baiklah, kau sudah mengurangi stok senjata tajamku. Tapi itu tak berarti kau bisa meremehkanku, Sialan."

Selagi Levin tertatih berusaha bangkit, ia menyelengkat kakinya hingga kembali terjerembab. Ditariknya lengan dengan koleksi baret panjang yang terukir indah beberapa menit terakhir, memiting kepala Levin dengan mudah, diakhiri dengan sikutan keras pada punggung hingga menghasilkan bunyi patahan. Levin meludahkan darah. Tenaganya terkuras habis.

Pekikan rasa sakit itu terdengar begitu Levin merasa kedua lengannya yang sudah mati rasa itu dipelintir dengan paksa. Seperti hendak dipreteli saja. Memanfaatkan kedua kaki yang keadaannya belum begitu parah, Levin berniat bangkit. Satu-dua tendangan cukup untuk meloloskan diri. Akan tetapi, musuhnya jauh lebih cepat, menarik kedua tangannya tanpa ampun hingga terduduk di lantai. Lututnya membentur keras bahu Levin, mengunci pergerakannya. "Merepotkan."

Sosok itu mencabut dua dari tiga pisau yang masih tertancap di bangku tadi, lalu tanpa ragu mengoyak leher Levin hingga memutus garis hijau penyambung kehidupan itu.

"Sebenarnya, aku berniat bermain-main lebih lama lagi denganmu. Tapi ... kau menyebalkan. Begini jauh lebih mudah."

Sosok itu menciptakan garis panjang merah menyala dari satu ujung ke ujung lain, merogoh bagian belakang kepala yang sudah dikuliti layaknya mainan. Tak peduli jubah hitamnya sudah bermandikan darah di sana-sini.

"Oh, ini cukup menyulitkan. Sudah kuduga, aku tidak pernah menyukai ini."

Susah payah ditariknya benda putih lunak dari rongga tengkorak itu. Beralih pada kepala bagian depan. Berukuran lebih besar dengan lekuk dalam, membujur abu-abu.

Katanya, organ ini yang membuat manusia berbeda dengan makhluk hidup lain. Sempurna dengan akal dan kemampuan berpikir. Akan tetapi, baginya sama saja. Di muka bumi ini, bertebaran banyak manusia yang mengaku sebagai manusia tetapi tindakannya jauh lebih rendah dari binatang.

Busuk. Sebesar apa pun takhta yang dipunya, setinggi apa pun orang lain menyanjungnya, secemerlang apa pun cara berpikirnya, ia tak lebih dari robot kehidupan yang dikendalikan dunia.

❌   ❌   ❌

"Sean, Ezra!" Di persimpangan lorong, mereka berpapasan dengan Bu Rivi. Terengah, kesulitan mengatur napas. Wajahnya sempurna pucat pasi. "Tolong ... itu ...."

Sebagai anak berbakti yang diwali kelasi oleh beliau, Ezra tanggap menyahut, "Kenapa, Bu?"

"Darah, jasad, di perpustakaan, itu ... Levin ... terbunuh. Tolong beritahu Pak Uzaz atau kesiswaan!"

Ezra putar balik, lekas menuruni dua anak tangga sekaligus menuju ruang guru. Kelima temannya berlarian ke perpustakaan. Bu Rivi ikut, meski masih terlihat gemetaran dan menolak masuk. Begitu melewati bingkai pintu, bau amis menusuk, membuat dahi mengernyit. Mereka memindai sekitar. Hancur berantakan. Perkelahian besar pasti telah terjadi di sini.

Fokus mereka sontak saja beriorientasi pada jasad dengan kepala tak berbentuk di dekat rak paling ujung. Mendapati genangan merah pekat membuat mereka tak berniat mengambil langkah lebih dekat lagi. Yang paling menarik adalah sesuatu di dinding. Di antara cipratan darah artistik itu tertulis besar-besar:

You Lose

"Pengambilan organ lagi, kukira. Kali ini apa? Oh, sial. Kenapa bajingan itu selalu saja meneror dengan tulisan darah semacam ini, hah? Membosankan. Psikopat itu seharusnya kreatif, Tolol." Sebelum menunjukkan kemampuan deduksinya, Ayesha masih sempat-sempatnya saja menggerutu begitu.

Ezra kembali. Akemi dan Alan terlihat sibuk menanyai Bu Rivi. Timing yang buruk. Dua makhluk itu malah menanyai saksi yang baru terguncang kenyataan traumatis, bahkan di saat korban masih belum ditangani. Baru saja Pak Uzaz sigap menelepon pihak rumah sakit dan menyusul ke sini. Baiklah, Ezra cukup penasaran dengan cara Persatas membungkam publikasi media, sebenarnya. Selain itu, sangatlah mungkin bila ada seorang siswa atau warga sekolah yang memiliki peran penting dalam dunia informasi publik dan membocorkan kasus ini. Tuntutan orang tua murid lainnya tak akan bisa terelakkan lagi. Benteng prestasi dan nama baik sekolah benar-benar dipertaruhkan kali ini.

Di dekat rak sektor Sejarah, Reverie hanya bisa melamuni Sean. Lelaki tengil itu mendadak saja kehilangan binar dan paparan analisisnya. Hawa berat bergelayutan di kedua maniknya. Dan semuanya terasa semakin kompleks.

❌   ❌   ❌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro