[18] Stuck Labyrinth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semuanya hanya menyisakan gelap. Mereka meluncur cepat layaknya roller coaster. Dua detik terhenyak, sekeliling mendadak dihiasi spektrum cahaya lembut. Mereka dapat melihat kehadiran satu sama lain. Kalau saja situasinya lebih baik, Sean ingin sekali terbahak paling keras begitu mendapati kelima sahabatnya sudah memasang wajah pucat seperti mayat hidup.

Mereka saling menggenggam erat, bersiap untuk kemungkinan terburuk, meski bentangan bias cahaya indah itu membungkus mereka yang berdecak kagum. Akan tetapi ... hei, mereka melayang-layang di dimensi tak diketahui ini. Mungkin hampa gravitasi.

Belum sempat berkomentar, suara detikan konstan membelah kesunyian. Mereka serentak menunduk ke arah sumber suara. Tiga garis hitam bergerak seiring bunyi tik-tik yang mengudara. Mendadak saja tempo gerak dan suaranya naik signifikan. Garis itu menciptakan pusaran, menarik mereka untuk ditelan kegelapan, lagi.

Tubuh mereka terhempas kencang dan mendarat di atas zat padat bermolekul rapat. Mereka dapat berpijak, gravitasi sudah kembali seperti semula. Mereka serentak bangkit. Pening melanda. Namun, di luar itu, mereka baik-baik saja. Keenam pasang mata itu membeliak ke sana kemari, mencoba memahami situasi yang serba mendadak ini.

Susunan bebatuan mengelilingi mereka. Sempurna rapat. Tak menyisakan celah. Hanya ada gelap. Satu-satunya sumber penerangan hanya ada pada dua buah lilin yang menempel di dua sisi dinding batu, berhadapan. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Ezra spontan meraihnya. Yang satunya diambil Alan.

Sejauh mata memandang, hanya ada dinding batu yang menjulang setinggi lima meter di kejauhan. Sean mendesis gusar. "Apa-apaan bangunan membosankan begini? Di mana-mana hanya ada batu, gelap, kasar, dan suram. Tidak ada nilai serunya. Yeah, sorry to say. Tapi jujur saja, arsitekturnya perlu mencari referensi yang lebih baik lagi. Anyway, seseorang pasti belum lama meninggalkan bangunan ini. Lilinnya masih utuh."

Saat Ezra mengarahkan cahaya redupnya ke arah belakang, tepat di titik awal mereka terhempas ke tempat tak diketahui ini. Seketika, Sean menghentikan gerutuannya.

"Wait, kelihatannya ada yang menarik di sini."

Setelah serempak mengusir debu yang menempel di pakaian, perhatian mereka tertuju pada pahatan rapi dan tombol yang tampak seperti hasil pembentukan analog monitor digital di dinding batu bagian ... baiklah, mereka tidak tahu arah mata angin saat ini. Atap bangunannya hanya terdiri dari bongkahan batu yang disusun spiral. Mereka tak bisa melihat posisi matahari atau konstelasi bintang untuk navigasi. Yang jelas, jika mereka datang dari selatan, maka pahatan itu terletak di dinding batu bagian barat. Pahatan kata.

Benvenuti nella hall d'ingresso per la storia infinita del labirinto! Il cancello è sempre spalancato, ma qui non c'è uscita. Le opzioni sono solo due: raggiungere il traguardo avvolto in colpi di scena, o sciogliersi per diventare parte del mistero e spruzzi di sangue che decorano il labirinto. Fai la tua scelta!

Selamat datang di lorong masuk untuk kisah labirin tiada akhir! Gerbangnya selalu terbuka lebar, tetapi tidak ada pintu keluar di sini. Opsinya hanya dua: capai garis finis terbalut liku, atau melebur untuk menjadi bagian dari misteri dan cipratan darah penghias labirin. Tentukan pilihanmu!

"Teman-teman," bisik Reverie, begitu selesai menjadi translator Italia-Indo dengan suara parau. Matanya tiada henti menyiratkan keresahan. "Kita harus kembali secepat mungkin."

Tanpa menghiraukan aura mencekam di sekitarnya, kedua manik Alan justru berkilat tak biasa. Didekatinya sisi pahatan. Tanpa basa-basi, telapak tangannya menekan tombol transparan itu hingga menyala merah. "Ups."

Jelas saja Sean melotot hingga kedua bola matanya hampir keluar dari tempatnya. "Tidak dapat dipercaya! Aku tahu manufaktur tempat ini sangat membosankan. Tapi menyentuh hal mencurigakan di dimensi antah-berantah tanpa berpikir dua kali adalah sebuah hal konyol untuk cari mati! Perjalanan tak terencana ini bukan hanya tentangmu seorang, SiAlan. Ada enam nyawa yang kau pertaruhkan hanya untuk tindakan impulsifmu yang bodoh itu!"

Alan mengangkat bahu, tidak terima. "Apa? Come on, lihatlah. Tidak ada yang terjadi. Kau terlalu overthinking, Men. Tidak akan ada hewan atau makhluk raksasa ganas yang mendadak muncul untuk memangsa kita di sini. Pesanku, jangan kebanyakan menonton cerita thriller tidak jelas yang terlalu dibuat-buat, oke?"

Sean semakin tersulut untuk kembali menukas, "Tidak ada yang menjamin keselamatan kita di sini. Kalau ingin mati, silakan. Jangan sampai yang lain ikut terkena imbasnya."

Akemi meletakkan jari telunjuk di depan bibir, mendesis panjang. "Ssshh. Dengar, ada sesuatu!"

Tit, tit. Suara itu terdengar konstan. Bergema di setiap sudut bebatuan. Semuanya serentak menahan napas. Mata mereka semakin liar, mencari sumber suara. Ayesha-lah yang pertama kali terlepas dari lidah yang terasa kelu. Ia mencairkan kebisuan yang menyelimuti. "Suara apa itu?"

Reverie menelan saliva dengan susah payah. "Oh, no. Terdengar seperti ketukan timer yang terpasang di bom waktu. Yang sering muncul di novel action itu."

"Kedengarannya buruk."

"Sangat buruk," tambah Reverie dengan beberapa penekanan.

Ezra menolehkan kepala pada lapisan ferum yang terlihat ganjil di tengah bebatuan kelam sebelah selatan, di balik punggung mereka. Ukurannya tak lebih dari satu meter dengan tinggi setengahnya. "Di sana!" Deret angka hologram berwarna merah menyala terang di sana, dengan digit terakhir yang terus berganti seiring bergemanya suara tit. 14:38, 14:37, 14:36, 14:35 ..., mata Ezra membeliak. "Itu benar-benar timer penghitung mundur."

Dengan jantung yang berpacu jauh lebih kencang, Reverie gelagapan. "Tapi, untuk apa? Apa itu menyatakan detik-detik sebelum bangunan ini meledak?"

Ezra berbalik menghadap utara. "Terlalu banyak opsi untuk menjawabnya. Too complicated. Prioritas kita mengantisipasi kemungkinan terburuk. Bergegas!"

Mereka berlari kecil menyusuri dinding batuan yang terus memanjang ke utara. Cahaya kuning redup mengiringi langkah, dengan keenam bayangan mereka yang terlihat menyeramkan di situasi seperti ini. Batu-batu besar berserakan di sana-sini, menghambat pergerakan mereka berkali-kali. Sudah setengah kilometer ditempuh dengan pemandangan kelam yang sama, hingga akhirnya bebatuan tinggi menghadang.

Buntu. Akemi mengusap wajahnya yang terasa kebas. Kenyataannya, hidup memang sulit untuk dimengerti. Takdir tidak akan membiarkan permasalahan mereka hanya sebatas suara timer yang terus terdengar bergema di setiap penjuru bangunan, seolah mengiringi langkah mereka seraya menguarkan kengerian tak terelakkan.

Sean meninju dinding menjulang di hadapannya. "Damn!" Buku jarinya terdengar agak remuk begitu menghantam material batuan yang begitu kerasnya.

"Kita bisa menghancurkan dinding ini dengan bom yang terpasang! Sebelum waktu benar-benar habis dan meledak, kita bisa kembali ke selatan, menjauhi efek ledakan. Dan ... boom! Jalan kita akan terbuka lebar." Alan mengepalkan tangan dan ditangkap telapak tangan satunya, tampak bersemangat mengeluarkan asumsi dari buah analisisnya.

"Otak dangkal. Tidak masuk akal," sambar Ayesha.

Kedua alis Alan menukik tajam. "Hei! Tidakkah kau berpikir bahwa semua yang kita lalui dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit ini sudah di luar rasional? Petualangan kita saat ini sudah tidak masuk akal!"

"Lantas kau bisa dengan santainya menyimpulkan bahwa bom akan meledakkan dinding batu—yang tidak kau ketahui tebalnya itu—dalam radius setengah meter? Dengan berdalih semua ini hanya fantasi, kau bisa tenang sekali menyatakan asumsi seolah bom itu hanya akan meledak untuk hujan permen lolipop? Are you kidding me?"

❌   ❌   ❌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro