[8] Notification

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keheningan mengisi. Semuanya terlarut dalam lautan pikiran masing-masing. Mereka berada dalam situasi yang sama, tetapi cabang dari benak mereka saling berbeda satu sama lain. Itu yang dapat ditafsirkan Ezra lewat sorot netra mereka. Sean dan Ayesha yang tampak memeras otak hingga dahinya menciptakan kernyitan dalam, alis Alan menukik tajam yang memperlihatkan pemuda bongsor itu masih terperangkap emosional atas kematian sahabat kecilnya, Reverie yang terlihat pucat pasi begitu mendengar peringatan dari alam bawah sadarnya untuk lebih waspada, dan Akemi ....

Kosong.

Gadis berparas oriental itu benar-benar sulit ditebak. Kepribadiannya berbalut kabut abadi, yang tak bisa ditembus meski menggunakan Emperor Eye Akashi sekalipun—jangan tanya tahu dari mana, Ezra sering dipaksa Sean untuk kerja rodi menonton anime. Tatapan mata yang tersirat penuh makna itu laksana black hole di alam semesta. Gelap, mengerikan, dan menarik perhatian Ezra untuk lebih mengetahui tentangnya, tanpa pernah bisa kembali lagi. Tak menyerah, Ezra tetap menembus netra cokelat madu yang sedalam samudera itu, yang tanpa sadar, telah menyedot Ezra pada dimensi lain.

Like a closed book.

Merasa diperhatikan, Akemi mengalihkan pandangan dari jendela besar, kini balas menatap Ezra lekat. Kedua alis tipisnya mengangkat untuk menyuarakan tanya. "Kenapa?"

Ezra buru-buru mengerjap. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Susah payah ia menyembunyikan rona merah muda di kedua pipinya sambil tergesa memusatkan tatapan pada objek apa saja di kamar luas Sean, asalkan bukan kedua iris cokelat yang sanggup menciptakan sensasi ketenangan bagai debur ombak di tepi lautan.

"I have an awesome idea!" Seruan tidak kalem disertai jentikan jari Sean berhasil menyelamatkan Ezra dari rasa gengsi dan canggung.

"Apa? Jungkir balik di tengah jalan?" timpal Alan sekenanya.

Reverie ikut antusias menebak, "Oh! Truth or Dare, isn't it?"

Sean tertawa misterius, sudah macam scene film Joker yang legendaris saja. Oh, tidak. Firasat buruk Ezra menyebar luas seketika. "Daripada diam macam orang tak punya kerjaan, mending nonton kembaran Sean Jaeger, kuy!"

"Gas!" seru Reverie yang paling hype kalau membahas nonton, apalagi gratisan begini. Sean, kan, anak sultan. Pasti berasa di kelas VIP. Ditambah persediaan makanan kelas atas yang siap sedia dua puluh empat jam penuh.

"Watchlist kita untuk ditonton maraton kali ini adalah ... jeng-jeng! Anohana, Kimi no Nawa, dan Shigatsu wa Kimi no Uso. Try not to cry challenge. Yang bertahan sampai akhir tanpa berkaca-kaca sedikit pun, dia menang!"

Ezra mendelik kesal, as his prediction. Anime. "Tumben tak pilih genre shounen."

"Challenge macam apa itu? Dikira, aku bakalan nangis bombai, hah? Kau benar-benar berniat jadi cowok mellow, ya, sad boy. Main boneka Barbie saja, sana!" Reaksi berikutnya adalah gelak tawa Alan yang menggema di setiap sudut kamar luas Sean. Saking hebohnya, anak laki-laki berbadan bongsor itu memegang perutnya sambil beratraksi guling-guling di atas karpet mahal Sean. Nasib baik barang-barang mahal dan hasil produksi luar negeri yang kebanyakannya berupa edisi terbatas di seluruh dunia itu tidak diletakkan dekat Alan. Bisa repot kalau sampai rusak atau pecah. Meskipun mungkin Sean yang anak orang kaya bisa membalas dengan enteng: 'Tenang saja. Aku masih punya segudang barang-barang serupa.'

"Ternyata selain tinggi badan, kau juga belagunya selangit, ya?" Sean menaikkan sebelah alis, merasa tersinggung atas penghakiman tak berdasar Alan. Bibirnya tersenyum meremehkan, menganggap Alan hanyalah seorang pembual besar, penuh omong kosong. Sean menyipitkan mata, seakan tengah menatap mangsanya yang terkena jebakan laba-laba. "Oke. Tantangan diterima. Let's see, siapa yang air matanya terjatuh lebih dulu."

"Cih, mau nobar saja kebanyakan drama," gerutu Reverie. Tangannya meraih bantal yang sangat lembut dari sofa, memangkunya di atas paha. Tubuhnya mengikis jarak dengan Sean, mencari posisi duduk yang lebih nyaman. "Turn off the lamp!"

❌   ❌   ❌

Ia terbangun di tengah cahaya remang. Matanya mengerjap berulang kali, mengamati sekitar untuk beradaptasi lebih cepat. Penerangan hanya berasal dari sinar purnama di angkasa kelam yang menelisik lewat sela-sela daun. Ia kebas, lantas meringis pelan begitu rasa sakit di pergelangan tangan mendadak menyerang. Seseorang mendorongnya dari belakang dan ia berlutut di hadapan api unggun yang baranya menjilat-jilat kesiur angin malam.

Dengan berjuta tanda tanya di benak, sesuatu tertancap di lengan kirinya. Bagian dari nyawanya terasa disedot seiring instrumen itu memompa hingga menghasilkan banyak cairan merah menyala. Seseorang mengoleskan darah di kedua pipinya. Ia mencoba berontak, tapi punggungnya ditendang keras.

Belum cukup sampai di sana, lengan kirinya dihadiahi dua sayatan menyilang yang tak henti merembeskan darah. Seseorang mengatakan sesuatu yang tidak ia mengerti sama sekali, menghantamkan tangan ke punggungnya. Sebuah sentuhan yang membuatnya merasa dikuliti. Berteriak kencang. Melodi kepedihan itu mengalun membelah kesunyian malam. Sebagian belakang kaus yang dikenakannya sobek. Muncul sebuah garis di permukaan kulitnya, disusul garis-garis yang lain. Menciptakan bentuk ouroboros yang mengelilingi pola merkaba.

Pekikan rasa sakit berikutnya kembali menyusul. Ia merasa hancur berantakan. Semakin lama diisolasi membuat memorinya semakin pudar. Ingatan manis di sisa hidupnya hilang-timbul, tumpang tindih dengan rekaman baru sejarah hidupnya di neraka ini. Kalaupun goresan takdir tak mengguratkan ia untuk kembali, setidaknya ia ingin mengenang tanpa kekang.

Ia pikir semua ini adalah akhir dari hidupnya, tetapi justru inilah titik awal dari berbagai derita juga kepedihan. Untuk koleksi sayatan dalam dan baret panjang berhias memar yang tak terelakkan baginya. Untuk seringaian mengerikan. Untuk teriakan yang tak luput menemani acap kali rasa sakit ditorehkan.

Memikirkan semua itu membuat kedua manik matanya menjadi dua warna berbeda. Netra kirinya menjelma jadi merah menyala. Mereka merenggut darah, memori, bahagia, mimpi di masa kecil, dan seluruh tatanan kehidupannya. Mereka merenggut segalanya.

❌   ❌   ❌

"Mampus kau. Makanlah omonganmu sendiri, Wall Maria!" Seruan Sean yang pertama kali terdengar begitu lampu kamar dinyalakan kembali. Ruangan berangsur terang benderang. Lampu gantung hasil impor original dari Luxemburg yang dihiasi berbagai macam kristal dari penghujung dunia, indah tergantung, nyaman menerpa indra penglihatan.

Sang objek sindiran mengepalkan tangan, mengucek-ucek kedua ujung matanya dengan kasar. Raut mukanya serta-merta mengembalikan hakikat tampangnya: garang. Bibirnya melengkung ke bawah, alis tebal sebagaimana ras kaukasoid miliknya semakin menukik tajam begitu mendengar gelakan Sean yang kurang ajarnya malah semakin menjadi-jadi. "Berisik! Kau buta, ya? Kebanyakan drama! Cih, film murahan macam tadi mana mempan membuatku menangis," gusarnya.

"Lantas apa yang ada di kedua pelupukmu kalau bukan air mata? Air liur Titan, hah?"

Suara isakan nelangsa di sampingnya mengalihkan perhatian Sean. "Nah, as our prediction, kau pasti pihak yang kalah telak dalam mempertahankan dinding air mata ini, Reverie. For your information, itu tisunya kudapat dari Australia, harga selembarnya setara dengan sekarung figure action anime edisi terbatas. Kau bisa membawanya pulang, oke? Hentikan tangisanmu, movie-nya sudah habis."

Pernyataan Sean yang mengungkit kembali fakta bahwa dia anak sultan tidak cukup untuk meredakan emosi Reverie yang sensitif dan mudah sekali naik ke permukaan. "Miyazono-san ... lepaskan topeng tertawamu, huaaaa. It's hurting me, really. Stop your act, please! Kamu bisa dapat penghargaan sebagai aktris paling kece, kalau begini ceritanya."

Sean memasang muka datar begitu mendapati Reverie yang malah ribut mengulas kembali kisah yang ia tonton, dengan artikulasi tidak jelas macam orang linglung. Lebih rempongnya lagi, sedu sedan air mata Reverie sibuk berlomba dengan selaput lendir yang memperbanyak diri hingga hidungnya kemerahan. Mata Sean mendadak berbinar. Daripada pemandangan tidak menyenangkan itu, Sean lebih tertarik mencari sosok Ayesha. "Darling, kau pasti pemenangnya, bukankah begitu? Hoho! Aku tahu kau adalah kekas—"

Dengkuran halus Ayesha terhenti sejenak, reaksi alam bawah sadarnya begitu mendengar keributan di sekitar. Kepala Ayesha sedikit terantuk bantal Akemi di sampingnya.

"Astaga, My Dear! Kau tertidur? Tahu begini, seharusnya kau bilang dari awal. Bahuku, kan, masih menunggu untuk kau jadikan sebagai sandaran jiwa."

"Hah?" Kedua kelopak mata Ayesha perlahan terbuka, mengerjap berkali-kali untuk beradaptasi dengan intensitas cahaya yang baru pertama kali menerobos retina setelah beberapa jam berlabuh di alam mimpi. Dengan malas, Ayesha mengangkat kembali kepalanya yang setengah dibenamkan pada lipatan kedua tangan di atas lutut. "Kenapa?"

Mengingat perkataan Sean sebelumnya, Reverie gerak cepat menumpukan kepala di lengan atas Sean. "Hih!" Sesegera itu pula Sean menepisnya. "Bahu ini hanya untuk Ayesha Maharani, sang kekasih hati seorang. Ah, sialan. Bahuku sudah tak perawan lagi."

"Aduh, Sean. Mataku agaknya berkunang-kunang. Kupu-kupu berputar kencang tiada henti di atas kepalaku. Dan kau masih bisa setega itu?"

"Reverie Leonora! Dirimu mulai terkontaminasi anime tadi. Kekebalan imun hatimu lemah dan rentan sekali. Payah!" Sean beralih menatap Ezra, bersiap menistakan kembali. "Eh? Kau sedang apa, Ezra? Serius sekali."

Tanpa berniat mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel miliknya, Ezra menimpal, "Menelusuri informasi terbaru soal tiga pembunuhan kemarin. Aku sudah berkali-kali menggunakan kata kunci Kasus-Pembunuhan-Persatas. Padahal sudah kukira bumi nusantara akan gempar mendapati tiga pembunuhan terjadi dalam satu wilayah dengan waktu yang relatif singkat. Namun, di luar prediksiku, media hanya mencium kasus Mark saja. Dua pembunuhan lain berhasil diredam. Persatas memang hebat. Tidak diragukan lagi, sih, mengingat reputasi sekolah yang pastinya mampu menyumpal media. Aku yakin, pihak sekolah pasti bersusah payah untuk itu."

"Yeah, menutupi bau bangkai. Itu sudah menjadi keahlian Persatas, menurutku. Menjaga nama baik sekolah, sekaligus nama baik pembunuh itu. Pelaku benar-benar diuntungkan. Nikmat sekali bisa berlindung di balik tameng harga diri sekolah paling kompetitif di Indonesia." Baru saja bangun tidur, Ayesha sudah kembali dengan sarkasme miliknya.

Zzp! Zzzp! Tanpa aba-aba, seisi ruangan mendadak gelap gulita.

❌   ❌   ❌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro