Bab 1: Superstar Agency

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fiuuuh .... Adisti mengembuskan napas panjang. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin yang tergantung berderet di dinding toilet wanita. Adisti merasa wajib melakukan touch up make-up sebelum masuk ke kantor Superstar Agency. Dia tidak mau wajahnya terlihat lelah dan kusam setelah berjam-jam mengikuti kuliah, ditambah harus naik ojek online untuk mengejar waktu meeting. Bisa-bisa Berto Aristo, bos plus owner Superstar Agency, menjerit histeris dan melakukan protes keras.

Sudah sepuluh tahun Berto Aristo memimpin Superstar Agency. Pria bertubuh pendek dengan wajah ramah itu bisa bertindak sangat tegas bila diperlukan. Gaya kemayunya akan berganti suara berat ala tentara. Berto selalu tampil prima. Setelan jas dan celana dengan gaya smart casual menjadi penampilan andalannya dalam setiap kesempatan. Rambut Berto selalu dipotong pendek, lalu disisir rapi dengan bantuan gel. Jadi, tidak mengherankan jika Berto menerapkan hal yang sama kepada setiap talent-nya. Setiap artis dan calon artis yang menjadi anggota Superstar Agency dituntut untuk berpenampilan ala superstar kapan saja dan di mana saja. Ibaratnya, bangun tidur pun semua artis Superstar Agency sudah harus cantik dan berpenampilan prima. Kesempatan bisa datang kapan saja. Bayangkan jika ada wartawan yang memergoki kalian dengan muka berminyak dan rambut berantakan. Atau, kebetulan bertemu dengan calon klien saat penampilan sedang tidak oke. Bisa-bisa kesempatan pekerjaan yang sudah di depan mata melayang pergi, begitu prinsip Berto.

Adisti menepuk-nepukkan spons bedak ke pipinya untuk menghapus jejak minyak yang tersisa. Dia memiringkan wajahnya ke kanan dan kiri, meyakinkan diri rias wajahnya sudah rapi. Cermin di depannya memantulkan wajah oval berhias mata bulat indah dan hidung mancung serta bibir penuh. Alis yang membingkai mata Adisti sudah berbentuk lengkung sempurna tanpa bantuan olesan pensil. Pada usianya yang baru sembilan belas tahun, kecantikan Adisti sudah matang. Camera face, begitu kata banyak orang.

Olesan make-up tipis menambah pesona Adisti. Pipinya tampak merona dan bibirnya berwarna merah muda ceria. Riasan yang natural, tetapi memikat. Adisti tidak suka make-up yang terlalu tebal. Simple tetapi glowing adalah prinsipnya dalam menghias wajah. Yang penting jejak wajah lelah karena duduk berjam-jam di ruang kuliah dengan AC kurang dingin sudah terhapus. Bye-bye kantong mata yang timbul gara-gara semalam kurang tidur untuk menyelesaikan tugas kuliah. Terima kasih kepada polesan bedak dan foundation yang mampu menampilkan kecantikan wajanya dengan optimal.

Kaus berkerah sederhana yang tadi dipakai Adisti sudah tersimpan rapi dalam tasnya. Kini, dia mengenakan blus merah dengan model glamor. Flat shoes-nya digantikan high heels hingga tubuhnya terlihat makin ramping. Adisti mahasiswi telah beralih rupa menjadi Adisti calon artis terkenal.

Adisti keluar dari toilet, berjalan anggun sepanjang koridor, lalu berbelok ke kiri. Pintu masuk kantor Superstar yang megah langsung terlihat. Agensi ini terletak di lantai tujuh belas Gedung Aryotama, salah satu gedung bisnis paling elite. Hanya perusahaan-perusahaan berpendapatan besar yang sanggup menyewa ruang kantor di Gedung Aryotama. Sebagai manajemen artis terbesar di Indonesia, tentu sangat pantas Superstar berkantor di gedung ini.

Sambil berjalan, Adisti bertanya-tanya dalam hati, apa maksud Berto memanggilnya untuk meeting sore ini? Biasanya, berbagai informasi casting disampaikan melalui WhatsApp atau telepon saja, itu pun melalui manajer artis, bukan Berto langsung yang menghubungi. Artis biasanya diminta datang hanya untuk hal-hal yang sangat penting, seperti menandatangani kontrak. Karena itulah dia sangat kaget menerima telepon langsung dari Berto sang Big Boss tadi pagi. Undangan meeting sore ini langsung Adisti iyakan, walau dia harus terburu-buru kabur dari kampus setelah kuliah terakhir selesai.

Duh, mudah-mudahan dia diminta datang untuk tanda tangan kontrak pekerjaan, Adisti berharap. Pekerjaan apa saja boleh. Main sinetron oke. Tawaran film tidak akan dia tolak pastinya. Ajakan menyanyi off air atau on air pun bisa. Apalagi tawaran menjadi bintang iklan, yang selalu menjanjikan honor besar, pasti Adisti sambut dengan riang gembira. Sudah lama rasanya dia belum mendapat pekerjaan lagi.

Adisti mengingat-ingat, beberapa minggu lalu ada dua casting penting yang dia ikuti. Pertama adalah casting peran utama untuk film remaja yang rencananya akan disutradarai Didi Pradipta, sutradara paling keren di Indonesia Raya ini. Dan, satu lagi casting untuk bintang iklan sebuah bank besar. Selain itu, masih ada beberapa casting untuk pekerjaan yang lebih kecil.

Sesungguhnya, bukan hanya honor yang diharapkan Adisti saat ini. Dia juga berharap bisa mendapatkan pekerjaan besar yang akan mendongkrak namanya di dunia hiburan. Adisti mulai bosan mengambil pekerjaan-pekerjaan kecil. Sudah tiga tahun dia merintis karier di dunia hiburan, tetapi sampai saat ini hanya peran-peran figuran numpang lewat atau tanpa dialog yang didapatkannya.

Adisti mendorong pintu masuk kantor Superstar Agency yang terbuat dari kaca, lalu menyapa ramah gadis cantik yang berdiri di balik meja resepsionis. "Sore, Sha ...," ujarnya sambil tersenyum lebar.

"Sore. Ingin bertemu dengan siapa?" balas Sasha dengan kaku dan formal. Cewek kurus dengan rambut lurus kaku sebatas bahu itu memasang gaya sok penting, seolah memiliki kuasa untuk memberi izin kepada setiap orang yang datang untuk bertemu orang-orang penting di Superstar Agency.

Alis Adisti terangkat heran, walaupun sebenarnya dia sudah hafal gaya Sasha yang angkuh dan sok ngartis. Sasha juga bercita-cita menjadi artis ngetop. Bekerja sebagai resepsionis di kantor manajemen artis terbesar di Indonesia ini dilakukannya sebagai batu loncatan untuk meraih kesempatan terjun ke dunia hiburan. Tentu saja dia juga menerapkan prinsip Berto dengan berdandan maksimal pada setiap kesempatan. Sayangnya, dandanan Sasha sering kelewat batas. Perhatikan saja bulu mata palsunya yang tebal dan superpanjang hingga terlihat seperti daun yang melambai-lambai. Bibir, pipi, dan matanya dipulas dengan warna ngejreng. Sasha juga terkenal ketus terhadap calon-calon artis. Namun, jika berhadapan dengan artis-artis terkenal, hmm ..., ramahnya bukan main. Lihat saja tingkahnya sekarang.

"Halooo ..., Mbak Ike!" Nada suara Sasha semanis madu saat menyapa Ike Rahmania, artis papan atas yang setiap filmnya selalu booming. "Langsung saja, Mbak. Sudah ditunggu sama Pak Martin."

Ike berjalan masuk tanpa menoleh, seakan Shasa adalah makhluk tak terlihat dan terdengar. Sejenak, Sasha bengong mendapatkan reaksi cuek seperti itu, tetapi secepat kilat ekspresi angkuh tadi terpasang kembali di wajahnya. Dia melirik sadis ke arah Adisti yang sedang menahan tawa, seolah ingin meluapkan kejengkelannya kepada cewek itu.

"Aku ada janji sama Mas Berto," kata Adisti kalem, cuek dengan lirikan kesal Sasha.

***

Sebagai bos di Superstar Agency, kantor Berto menempati ruangan yang paling luas. Letaknya di ujung ruangan. Sangat strategis. Sebagian besar dinding kantor Berto menggunakan kaca. Dari jendela lebar di belakang kursi Berto, terlihat jelas gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya. Dinding kaca di depan ruang kantornya memperlihatkan deretan kubikel-kubikel tempat anak buahnya bekerja.

Adisti bisa melihat Berto sedang sibuk bicara dengan ponselnya. Adisti melambai dan Berto memberi kode dengan tangannya supaya Adisti masuk.

"Sore, Mas Berto," sapa Adisti pelan, supaya tidak mengganggu telepon Mas Berto.

Berto tersenyum dan mengangguk, kembali memberi kode agar Adisti duduk. Dia masih melanjutkan percakapannya di telepon. "Ya ... ya ..., pasti, Bos. Tenang saja, semua kontrak pasti beres. Jangan lupa bagi-bagi proyek iklan yang lebih besar, ya .... Oke, bye."

Klik. Berto memasukkan ponselnya ke saku celana. Senyumnya masih terkembang, matanya memandang jendela, seakan di sana tertulis jumlah nominal yang akan diterimanya. Ekspresi wajahnya yang cerah langsung menghilang saat menatap Adisti.

"Ah, Adisti ...," desah Berto suram. Dia mengusap-ngusap tangannya dengan resah. Adisti jadi ikut cemas melihat gaya Berto. Feeling Adisti bilang pasti bukan berita bagus yang akan disampaikan pria itu.

"Gagal lagi, ya, Mas?" Suara Adisti pelan, seperti tercekik. Berkali-kali ditolak casting, tak juga membuatnya terbiasa. Rasa kecewa seperti mencengkeram keras hatinya.

Berto berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil memijat-mijat dahinya. Wajahnya berkerut frustrasi. "Gimana, ya, bilangnya?"

Semangat Adisti melayang. Tubuhnya lemas membayangkan lelahnya datang ke berbagai lokasi, ikut casting sana sini dan ternyata tidak membuahkan hasil. Lenyap juga harapan untuk mendapatkan uang tambahan. Sebagai anak kos dengan uang bulanan terbatas, penghasilan dari dunia entertainment ini sangat membantu Adisti.

"Apa ... aku nggak berbakat, ya, Mas? Sudah tiga tahun ikut casting sana sini, tapi belum berhasil juga ...."

Bruk! Berto mengempaskan tubuh ke kursinya. Matanya menatap Adisti tajam. "Jangan-pernah-bilang-begitu-Dis! Itu sama saja kamu meragukan kemampuanku menilai bakat seseorang. Feeling-ku ini sangat tajam. Mataku super awas. Dalam satu kali lihat saja, aku bisa mendeteksi aura bintang seseorang. Lihat saja Jocelyne, yang sekarang sukses di dunia tarik suara. Aku yang menemukannya dari panggung pentas seni SMA. Lalu Jovan, yang lima filmnya laris semua. Aku juga yang menemukan bakatnya.

"Kamu tahu, Adisti, aku enggak pernah salah dalam menilai calon bintang. Superstar Agency cuma menerima artis yang sangat-sangat-sangat berbakat. Bukan artis kaleng-kaleng," Berto bicara panjang lebar. Nada suaranya dalam dan superserius, seolah kata-kata itu keluar dari lubuk hatinya. "

"Tapi ...." Adisti menelan ludah, dalam hatinya bertanya, kapan dia bisa sukses di dunia hiburan seperti nama-nama yang disebutkan Berto. Karena itulah, tanpa pikir panjang, dia menerima tawaran Berto untuk bergabung dengan agensinya dulu.

Brak!

Adisti terlompat kaget karena Berto menggebrak meja. "Dan, aku melihat semua potensi itu di kamu!" Telunjuk Berto menuding gemas. "Suara kamu bagus, akting juga keren. Bodi proporsional dan wajah kamu ... wajah yang komersial banget. Waktu pertama kali kamu masuk, saya perkirakan hanya perlu satu tahun, nama kamu sudah diperhitungkan di dunia hiburan Indonesia ...."

Dan, sudah hampir tiga tahun, namaku belum juga dikenal, kata Adisti dalam hati. Sedih. Dia menunduk menatap lantai kantor Berto yang berlapis karpet tebal berwarna ungu muda, senada dengan wallpaper yang menghias dinding.

Suara Berto jadi melunak melihat kesedihan pada wajah Adisti. "Kamu jangan berkecil hati," kali ini Berto bicara dengan nada lunak dan menghibur. "Aku sudah memikirkan soal ini dan menemukan jawabannya."

Adisti mendongak cepat. Mencari harapan di wajah Berto.

"Kamu hanya perlu satu usaha kecil. Satu hal saja untuk mengangkat popularitas namamu. Setelah itu, buuum! Aku yakin kamu akan jadi bintang muda paling terkenal di Indonesia."

Mata Adisti mengerjap. Dia berusaha mencerna kata-kata Berto. Usaha kecil? Popularitas?

"Usaha seperti apa, Mas?"

"Sensasi! Popularitas adalah kunci sukses di dunia hiburan. Kita perlu sensasi untuk mengangkat namamu. Sekali saja namamu muncul ke permukaan, maka jalanmu menjadi artis ngetop akan semulus jalan tol. Kalau kamu sudah ngetop, maka semua produser film dan sinetron akan berebut mengontrakmu. Setiap event organizer bakal berloma-lomba mengundangmu ke berbagai acara. Adisti Melania, sang bintang besar, telah lahir."

"Mengundang sensasi? Seperti pura-pura bertengkar dengan artis lain?" Adisti merinding membayangkan kemungkinan itu. Sepertinya, membuat pertengkaran palsu telah terbukti menjadi cara mudah untuk memancing perhatian orang. Lihat saja, banyaknya berita pertengkaran artis yang sering mondar-mandir di TV. Setelah bertengkar, artis-artis itu akan diundang ke berbagai acara talkshow. Diwawancara mengenai pertengkaran yang terjadi, memberikan klarifikasi, jika perlu sampai mengundang wartawan, lalu tidak lama kemudian mereka berdamai. Pertengkaran terbukti masih menjadi tontonan penuh sensasi yang digemari. Namun, pura-pura bertengkar dengan artis lain? Ampun, Adisti jadi merinding ngeri. Dia terlalu lembut untuk bisa berkelahi. Adisti adalah tipe yang memilih mengalah dan menjauhi masalah.

"Enggak, sensasi seperti itu enggak cocok buat kamu."

Adisti bersyukur dalam hati karena pengertian Berto. Jadi, sensasi seperti apa? Mengubah penampilan jadi lebih sensual? Menciptakan goyangan seksi? Kok pilihannya mengerikan semua, ya?

Sebelum Adisti menebak-nebak lagi, Mas Berto menekan meja dengan kedua tangannya. Tubuhnya condong ke arah Adisti. Tak sadar, Adisti juga memajukan badannya, siap mendengar usulan Berto. Dengan gaya dramatis, Berto bicara. Suaranya berbisik, "Sensasi pacaran lebih cocok buat kamu."

Hah?!

Adisti kaget. Refleks dia menarik badannya hingga punggungnya membentur sendaran kursi. "Pacaran?" Adisti melongo. "Mas, jangan main-main, ah! Mau pacaran sama siapa? Saya kan jomlo!" Adisti mengelus dada, meredakan jantungnya yang masih berdetak kencang gara-gara kaget. Opsi ini ternyata jauh lebih menyeramkan daripada berantem setting-an. Pacar setting-an? Ah, gila!

"Aku enggak main-main. Ini se-ri-us. Kita buat berita kalau kamu sedang dekat dengan artis lain. Netizen dan wartawan pasti suka dengan berita seperti ini. Kamu enggak usah bingung. Aku sudah biasa mengurus hal-hal sensasional kayak gini. Artis lain juga sudah biasa, kok. Ingat Reta dan Elang? Mereka juga sukses menjadi bintang terkenal karena aku 'menjodohkan' mereka pada awal karier. Juga Saski dan Rob."

"Apa perlu banget pakai strategi itu, Mas?" Adisti merinding membayangkan pacaran dengan laki-laki yang baru dikenal.

"Perlu?! Perlu?! Tentu saja perlu. Sangat perlu! Perlu banget!" Suara Berto naik beberapa oktaf. "Semua artis yang aku pegang di sini harus ngetop. Jadi artis papan atas. Termasuk kamu. Memangnya kamu tidak mau dapat peran utama di film superlaris?"

"Yah ..., pengin, sih, Mas."

"Kamu mau manggung di pentas-pentas spektakuler? Mau single yang kamu upload di YouTube langsung ditonton jutaan orang?" Gaya Berto sudah mirip orator ulung.

"Mau banget, Mas!" Kata-kata Berto membakar semangat Adisti.

"Karena itu, kamuikuti saja rencanaku," Pandangan Berto melayang melewati Adisti. "Nah, ini diaorang yang akan mengangkat namamu," katanya yakin.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro