Bab 14: Latihan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Tumben lo nggak dijemput, Dis." Jon melirik Adisti yang duduk di sampingnya. "Biasanya kalau ada acara yang berhubungan dengan Ares, pasti mobilnya siap sedia antar jemput," komentar Jon sambil memindahkan persneling. Mobilnya bergerak meninggalkan lapangan parkir PINUS. Hari ini hanya ada dua mata kuliah sehingga mereka sudah bebas tugas selepas makan siang. Tepat dengan jadwal Adisti latihan bersama Ares.

"Iya, nih, kita jadi batal naik Alphard, deh," cetus Nafa dari kursi belakang.

"Jadi, lo maunya naik Alphard? Sekarang udah keberatan naik mobil gue?" Jon memandang Nafa dengan sinis dari kaca spion tengah.

"Ih ..., baper banget, sih, Jon! Sensi kayak bayi."

"Karel tadi nelepon gue, katanya enggak bisa jemput karena ada keperluan, soal urusan kostum atau apa gitu," ucap Adisti, melerai debat sahabatnya. "Thanks banget, ya, Jon. Untung ada lo yang bisa nganterin."

"Tapi, gue enggak tahu studionya sebelah mana."

"Bukannya lo sering main musik sama teman-teman lo?" tanya Nafa.

"Iya, sih, tapi biasanya gue main di studio musik dekat kampus yang sewanya murah. Kalau lihat alamatnya, sepertinya studio Ares ada di di kawasan elite, deh. Sewanya pasti mahal."

"Kita cari pakai Waze aja," usul Adisti. "Gampang pasti cari studio musik yang ngetop kayak gitu."

"Jon, kayaknya itu, deh." Adisti menunjuk satu bangunan di deretan kawasan perkantoran. Bentuk depan bangunan itu tampak unik. Terlihat lebih berseni dibandingkan kantor-kantor di sekitarnya yang cenderung menggunakan desain formal.

Mobil Jon segera berbelok masuk dan parkir di depan studio musik itu. "Waaah ...." Nafa menatap kagum dari balik kaca mobil. "Bagus banget nih studio. Dari luar aja megah banget bangunannya." Adisti dan Ares juga memandangi studio musik itu dengan kekaguman yang sama seperti Nafa.

Kekaguman mereka masih berlanjut saat memasuki bagian dalam studio. Interiornya malah jauh lebih keren daripada desain eksteriornya. Mereka merasa seperti memasuki lobi hotel bintang lima. Mewah adalah kata yang pantas disematkan untuk mendeskripsikan tempat tersebut. Lantai studio yang bernuansa kayu memberikan nuansa hangat. Dinding dan langit-langitnya berwarna biru keunguan. Ornamen berbentuk sirip yang menghias langit-langit memberikan kesan modern.

Keindahan desain itu dilengkapi dengan resepsionis super ramah yang segera mempersilakan mereka duduk menunggu di sofa. Biasa, Ares belum datang. Beda banget dengan resepsionis judes di Superstar Agency, Adisti membandingkan dalam hati.

Tidak menunggu terlalu lama, rombongan Ares datang.

"Hai," sapa cowok itu singkat kepada Adisti dan teman-temannya. Seperti biasa, dia tidak merasa perlu meminta maaf karena terlambat. Bisa jadi terlambat sudah dianggap suatu kewajaran bagi Ares karena kehadirannya selalu dinanti orang lain. "Tunggu bentar, ya," katanya sambil berjalan masuk ke salah satu ruangan.

"Oke," jawab Adisti.

"Dari tadi juga udah nunggu," celetuk Jon pelan.

"Heh!" Nafa menyikut pelan rusuk sahabatnya. "Lama juga enggak apa-apa, kok, Res." Nafa melambai sambil memamerkan senyum lebar. Hasilnya, dia dihadiahi tatapan sebal dari Jon.

Hanya beberapa menit, Ares sudah muncul lagi. "Yuk," ajaknya. "Kita mulai aja latihannya."

Adisti dan teman-temannya mengikuti langkah Ares. Di dalam studio, tim Ares sedang menyiapkan alat musik. Nafa dan Jon duduk di lantai, memperhatikan kesibukan di sekeliling mereka.

"Dis, sambil nunggu, kita dengerin lagunya dulu aja gimana?" Ares menggamit lengan Adisti dan mereka duduk berdampingan di sudut ruangan. Begitu dekat, hingga parfum Adisti yang lembut memenuhi setiap helaan napas Ares. Embusan lembut angin dari AC meniup rambut Adisti hingga beberapa kali membelai pundak Ares.

Ares berusaha menetralkan perasaannya. Dia tidak ingin bertindak terburu-buru hingga merusak kerja sama yang telah terjalin bersama cewek itu.

Ares mengeluarkan ponsel dan earphone-nya. "Kita dengerin dulu lagu aslinya sekali lagi, ya?" Tanpa Adisti duga, Ares memasangkan earphone di telinga Adisti. Gerakannya begitu lembut. Jari-jari Ares seakan membelai telinganya. Jantung Adisti berdesir saat tangan Ares tanpa sengaja menyentuh rambutnya. Buru-buru Adisti memusatkan konsentrasi pada suara Ares yang mengalun lewat earphone. Jangan sampai Ares melihat kegugupannya.

Bibir Adisti bergerak-gerak mengikuti syair lagu itu, tanpa tahu bahwa Ares tersenyum kecil melihat wajah Adisti yang kelihatan lucu sekali saat serius seperti ini.

Sesekali, jemari Ares menekan ponselnya, menghentikan lagu yang diputar untuk memberi petunjuk kepada Adisti mengenai lagu itu. Mereka juga mendengarkan aransemen baru yang sudah dibuat Anwar.

Mereka baru saja selesai mendengarkan aransemen baru untuk yang kedua kalinya saat pintu studio dibuka. Kemunculan sosok baru itu seperti matahari terbit yang mencerahkan ruangan. Gaya berjalannya yang ceria dan senyumnya yang lebar seakan mencerminkan dunia yang bebas masalah.

"Itu Mas Anwar," bisik Ares. Dia melepaskan earphone yang menyumbat telinganya, lalu berdiri dan berjalan mendekati Anwar. Adisti mengikuti di belakang Ares.

Anwar berpostur tinggi besar. Dengan wajah mencerminkan campuran darah Eropa, rasanya cowok itu lebih cocok memilih karier di bidang modeling. Anwar termasuk tinggi untuk ukuran orang Indonesia, bahkan lebih tinggi daripada Ares. Mungkin sekitar 180 cm, dengan bobot lebih dari 100 kg. Tidak heran bila semua benda yang dipakainya berukuran ekstra. Kaus, sepatu, hingga topinya, semua kelihatan besar. Uniknya, di dadanya melintang bodybag berukuran kecil yang kelilhatan kurang pas menempel di tubuhnya yang besar.

Ketika berbicara, suara Anwar melengking tinggi. "Halo, kamu pasti Adisti, ya?" sapanya ramah. Senyumnya lebar, memamerkan gigi kelinci berwarna superputih yang menyilaukan. Pastinya hasil dari veneer gigi yang sukses.

"Betul, Mas." Adisti menyambut uluran jabat tangan Anwar. Tangannya serasa tenggelam dalam genggaman Anwar.

"Sudah dipelajari lagunya, 'kan?"

"Sudah, Mas."

"Oke, kalau gitu kita latihan pakai minus one dulu, ya."

Ares dan Adisti mundur beberapa langkah. Mereka berdiri berdampingan menghadap Anwar. Adisti memperhatikan layar ponselnya yang menampilkan lirik lagu. Sebenarnya, dia sudah hafal, tetapi Adisti tidak mau mengambil risiko. Berjaga-jaga kalau-kalau dia terlupa nanti.

Anwar memberi kode dan musik pun mengalun. Ares membuka lagu dengan suaranya. Bait kedua, suara lembut Adisti terdengar.

"Setop ...! Setop ...!" Suara Anwar melengking. Dia melambaikan kedua tangannya dengan heboh.

Kaget karena dihentikan tiba-tiba, Adisti tak sempat menutup mulutnya. Bibirnya masih terbuka. Syair lagunya tergantung belum selesai. Anwar memandang mereka bergantian dengan kening berkerut dalam, seakan memikirkan persoalan yang sangat rumit.

"Kenapa, Mas?" Ares bertanya heran.

Anwar berkacak pinggang. Kini, dia menggeleng dengan wajah prihatin. "Kalian tuh, ya. Soal teknik menyanyi udah oke banget. Enggak perlu diragukan lagi. Nama besar Ares sebagai artis multitalenta—"

"Tapi?" Alis Ares terangkat heran. Dia merasa perlu menghentikan kata-kata Anwar yang berputar-putar tanpa tujuan. Apa hubungannya coba, multitalenta dengan penghentian mendadak ini.

"Tapi ..., mana rasanya ...? Mana ...?" Anwar bertanya dengan nada penuh drama.

Mendengar kata rasa, Adisti justru membayangkan makanan. Rasa gurih udang dengan saus keju. Asamnya manisan kedondong. Sensasi rasa manisnya boba. Pikirannya tersentak lanjutan kata-kata Anwar.

"Dis, keluarin ekspresinya, dong!" Kini Anwar berbicara seakan dia tengah membujuk anak kecil. "Biar penonton bisa merasakan pesan lagu ini. Ini kan lagu cinta. Ceritanya, kamu dan Ares jatuh cinta begitu dalam. Coba, deh, rasakan syairnya dengan hati. Lalu, ceritakan kepada penonton. Ares juga ekspresinya bisa lebih dalam, enggak?"

Ares menghela napas panjang. Dia setuju dengan pendapat Anwar. Menyanyi memang harus pakai rasa. Namun, ini kan baru latihan pakai minus one, masa mau langsung lengkap dengan ekspresi. Belum lagi biasanya dia membawakan lagu ini seorang diri. Tentunya perlu penyesuaian dan latihan. Yah ini juga sedang latihan, 'kan?

Namun, berhubung Anwar meminta seperti itu, ya sudah. Ares harus professional. "Oke, Mas. Sori. Ulang, ya?"

Musik mengalun kembali ....

"Setop! Setooop ...!"

Buset, deh, belum juga buka mulut, udah diberhentiin aja, Ares menggerutu dalam hati.

"Masih kurang berasa penghayatannya. Ayo, Adisti, coba tatap Ares dengan penuh cinta. Rasakan gelora rasa itu dalam hati!" Anwar mengepalkan dua tangannya di dada. "Yakinkan penonton bahwa Ares adalah pacar terakhir kamu."

Ulang lagi. Adisti memejam. Berkonsentrasi sepenuhnya. Ketika dia kembali membuka mata, telinganya mendengar alunan lagu, disusul suara Ares. Bibir tipis Ares melantunkan lirik demi lirik. Mata cokelatnya menatap Adisti lekat. Cewek itu tertegun. Tidak punya pilihan selain balas menatap, balas melontarkan lirik, tanpa bisa mengalihkan pandang. Tanpa sadar, mereka bergerak mendekat. Lebih dekat. Melantunkan bait demi bait. Hingga nada terakhir.

Lagu itu selesai. Ruangan hening. Adisti dan Ares masih saling menatap.

Plok! Plok! Plok! Tepuk tangan Anwar yang superkencang menyadarkan mereka berdua.[]



AUTHOR'S NOTE:

Menyanyi kan bukan cuma urusan teknik, ya? Harus ada penghayatan dan ekspresi (ini kata juri-juri Idol gitu). Baru latihan aja Adisti udah grogi karena harus menatap Ares mesra. Jadi baper. Ares juga ... gitu, deh.

Gimana ya mereka pas di panggung nanti? Tambah bagus karena full penghayatan? Atau malah hancur karena sama-sama grogi? Ikutin terus ceritanya, ya ....

Eh, ini love scenario boleh dikasih improvisasi pribadi, 'kan? Serius, nih, Ares sama Adisti nanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro