Bab 19: Teror Isabel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Isabel mengangkat wajahnya. Adisti terkejut melihat wajah Isabel yang pucat, seakan cewek itu akan segera jatuh pingsan. Rambutnya tampak lepek. Hilang sudah kesan supermodel dengan dandanan sempurna yang biasa terlihat. Tangan Isabel tampak bergerak-gerak gelisah memainkan ponselnya.

"Ada apa?" tanya Adisti setelah duduk di depan Isabel.

"Aku datang ke sini karena cemas."

Adisti diam, menunggu lanjutan kata-kata Isabel.

"Sejak tadi siang, aku mencoba menghubungi kamu, tapi tidak pernah berhasil. Teleponku di-reject, lalu tidak pernah diangkat."

"Astaga!" Adisti menepuk dahinya. Menyumpahi kebodohannya sendiri dalam hati. Dia ingat sudah mengatur ponselnya dalam mode silent. Setelah pulang dari meeting tadi, Adisti langsung sibuk mengerjakan tugas kuliah. Ponselnya masih di dalam tas. Sengaja tidak disentuhnya agar lebih berkonsentrasi mengerjakan tugas. Pantas Isabel kelihatan panik dan cemas seperti ini. Belum pernah Adisti sulit dihubungi selama ini. Buru-buru dia meminta maaf.

"Maaf, Isabel. Aku enggak denger telepon dari kamu. Hape aku dalam mode silent, soalnya."

Isabel menatap Adisti dengan sorot mata yang sangat dingin. Adisti sampai merinding ditatap seperti itu. Perlahan, Adisti melirik ke kanan dan kiri. Memperkirakan jarak untuk melarikan diri jika Isabel nekat menyerangnya. Untung di atas meja tidak ada benda berbahaya seperti asbak atau vas bunga yang bisa dengan mudah menjadi alat untuk menyerang. Meja di antara Isabel dan Adisti hanya berhias selembar taplak batik yang mulai usang. Sedikit rasa aman menyusup dalam hati Adisti. Dia tahu pasti Nafa mengintai dari ruang makan di belakang ruang tamu. Sahabatnya itu tadi ikut turun bersama Adisti, tetapi menolak untuk ikut menemui Isabel di ruang tamu. Nafa tidak ingin ikut campur terlalu jauh dengan urusan pribadi antara Adisti dan Isabel. Akan tetapi, dia meyakinkan Adisti akan menunggu di ruang makan.

Tentu saja Isabel tidak berbuat senekat dalam bayangan Adisti. Hanya sekejap, pandangan dingin itu berganti dengan kesedihan. Suara Isabel bergetar menahan tangis. "Please jangan pernah seperti itu lagi. Aku cemas setengah mati, tahu!"

"Sori." Adisti tidak tahu harus menjawab apa lagi selain minta maaf.

"It's okay. Terus gimana meeting-nya tadi siang? Lancar?"

"Mmm ... ya gitu, deh. Prisma Picture menawarkan peran untuk proyek film baru mereka."

"Sebentar, kalian berdua akan dipasangkan sebagai peran utama di film Prisma Picture?" Kekecewaan terpancar sejenak di wajah Isabel. Hanya beberapa detik. Begitu Adisti mengerjap, wajah Isabel kembali datar.

"Iya." Adisti mengangguk.

"Kamu terima tawaran itu?"

Adisti sedikit terperangah. Pertanyaan yang aneh menurutnya. Tentu saja Adisti menerima. Ini impiannya. Mendapatkan peran utama dari production house ternama.

"Iya."

Adisti terkejut setengah mati karena jawaban singkatnya ternyata menyebabkan hal yang tak terduga. Isabel menangis tersedu-sedu. Dia menekuk tubuh, memeluk erat bantal sofa yang ada di pangkuannya.

Adisti cepat bergerak dan pindah ke samping Isabel. Dia mengelus-elus punggung cewek itu. "Isabel ... kamu kenapa?" Adisti bertanya kebingungan. Berharap isak Isabel mereda. Tidak enak jika ada drama malam-malam begini dan terdengar ibu kos dan teman-temannya.

Tangis Isabel bertambah keras. Adisti melihat Nafa mengintip dari balik tirai ruang dalam. Adisti bertanya tanpa suara kepada Nafa. Nafa juga tampak kebingungan, dia mengangkat bahu.

Adisti kembali menatap Isabel. Cewek itu mengangkat wajahnya yang berurai air mata. Kesedihan mendalam terpampang di sana. "Sekarang aku tahu, Dis, kenapa Ares menjauhiku. Dia sudah sibuk dengan pekerjaan bersama kamu. Aku takut, Dis. Takut kehilangan Ares."

"Tenang. Ares memang sangat sibuk. Itu memang sudah tuntutan pekerjaan."

Isabel menghapus air matanya, lalu tiba-tiba bertanya, "Dis, kamu cinta sama Ares?" Isabel menanti jawaban dengan menggenggam tangan Adisti erat. Matanya menatap Adisti, seakan mencari kebenaran di sana.

Deg. Adisti gelagapan. Sungguh tidak menduga Isabel akan bertanya langsung seperti itu. Beberapa detik, Adisti kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng lemah. Berharap wajahnya tidak menampilkan hal yang sebaliknya.

"Berjanjilah, Dis, kamu enggak akan jadian sama Ares."

Adisti menggigit bibirnya. Memang dia tidak berencana untuk menjalin hubungan istmewa dengan Ares, tetapi hatinya perih saat menjawab, "Aku janji."

***

Kedatangan Isabel semalam masih mengganggu pikiran Adisti. Konsentrasinya terganggu saat latihan duet di studio. Padahal, dia sudah berusa fokus sejak suara Anwar berkumandang nyaring. "Oke ..., kita latihan lagi, ya...!"

Anak-anak band sudah bersiap di balik instrumen musik masing-masing. Intro lagu terdengar. Suara Ares masuk dengan mantap. Ekspresinya kuat. Hati Adisti tergetar karena pandangan Ares seperti membelainya. Sayang, bayangan wajah Isabel yang sedang terisak muncul tiba-tiba dalam benak Adisti. Tangisannya yang begitu sedih seperti terngiang di telinga, menutupi suara merdu Ares. Adisti merasa bersalah; konsentrasinya hilang. Dia tidak sadar bahwa Ares sudah selesai menyanyikan baitnya. Pandangan Adisti terkunci pada wajah Ares. Aku bukan perebut pacar orang! serunya dalam hati.

"Adisti ... Adisti ...!" Anwar menegur dengan nada putus asa yang lebai. Adisti menoleh dan malu. Semua orang memandangnya dengan beragam ekspresi.

"Ada apa dengan kamu?" lanjut Anwar.

"Maaf, Mas. Tadi aku kurang konsentrasi."

"Ini sudah latihan yang kesekian kali, ya. Masa kamu masih lupa kapan harus masuk? Bisa kacau pertunjukan kalian—"

"Mas, kita ulang, ya." Ares yang sudah paham dengan kebiasaan Anwar yang suka bicara panjang lebar, langsung memberikan solusi. Dia tidak tega melihat Adisti yang pucat dan malu.

Ayo, Adisti, konsentrasi! Adisti menyemangati dirinya sendiri.

Bibir Anwar tampak semakin tipis, tanda dia sedang mengeluarkan semua stok kesabarannya. Ares melemparkan senyumnya yang menawan, lumayan sedikit meredakan kekesalan Anwar.

"Oke, ulang!" serunya.

Kembali suara Ares mengalun. Kali ini, suara Adisti menyusul. Hanya satu baris berhasil dia nyanyikan, suara nyaring Anwar kembali mengguncang studio. "Adisti! Fals!"

Adisti menunduk.

"Kita break dulu, deh!" Anwar berbalik. Ujung kemejanya melambai. Lalu bergegas keluar ruangan.

Ares menghela napas. Tidak tega juga melihat Adisti dimarahi Anwar. "Kita duduk di pojok dulu, yuk," ajaknya.

"Kayaknya aku mau keluar sebentar, deh, Res."

"Mau ke mana?"

"Keluar saja. Aku perlu udara bebas." Seperti Anwar, Adisti pun bergegas pergi. Suasana studio membuat dadanya sesak. Kehadiran Ares membuat kepalanya pusing. Setiap kali memandang cowok itu, wajah Isabel muncul.

Udara hangat menyambut Adisti saat pintu studio terbuka. Dia terbebas dari udara yang sangat dingin di dalam studio. Adisti menyusuri selasar perkantoran. Ada restoran yang menjual kopi dan minuman lainnya di ujung kompleks ini.

Adisti masuk. Memesan minuman pertama yang terlintas di benaknya. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja. Adisti bingung. Haruskah dia bercerita kepada Ares tentang beban pikirannya?

Pintu restoran terbuka. Refleks Adisti menoleh. Ares menyusul masuk, menarik kursi dan duduk di depan Adisti.

"Sori, gue pergi mendadak kayak tadi."

"Enggak apa-apa, kok. Kayaknya kamu lagi suntuk banget. Soal Anwar, jangan dimasukin ke hati. Dia memang begitu orangnya. Tapi, percaya, deh, Anwar itu sebenarnya baik."

Adisti tidak menjawab, hanya mengaduk-aduk minumannya.

"Sekarang kamu cerita sama aku. Apa yang ganggu konsentrasi kamu sejak tadi?"

Tatapan Ares terasa tulus. Hangat. Penuh perhatian. Tak terasa, mata Adisti berkaca-kaca. Dia ingin menumpahkan beban yang memenuhi hati dan pikirannya. Namun, bagaimana dengan janjinya kepada Isabel?[]



AUTHOR'S NOTE

Wah, gara-gara Isabel lagi, Adisti jadi enggak bisa konsentrasi. Tapi, enggak apa-apa, deh, kan ada Ares yang bisa menenangkan perasaan Adisti. Pada penasaran, 'kan, apa yang terjadi selanjutnya?

Sila vote dan komen, nanti Ares kasih bocoran apa yang terjadi!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro