Bab 22: Meragu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hening terasa di kamar kos Adisti dan Nafa. Mereka berdua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Nafa duduk bersandar di tempat tidurnya, membaca novel horor kegemarannya. Ini memang sedikit aneh. Nafa penakut berat, tetapi punya hobi membaca cerita yang seram-seram. Dan, kalau sudah ketakutan, dia akan ribut meminta Adisti untuk mengantarnya ke mana-mana, walaupun di dalam rumah.

Telinga Nafa tertutup earphone yang memainkan lagu-lagu K-Pop. Sebagai mahluk dengan kemampuan multitasking tingkat tinggi, dengan dua kegiatan itu dia masih bisa memperhatikan sahabatnya. Sesekali matanya berpindah dari buku di tangannya kepada Adisti yang sedang duduk di meja belajar. Nafa sudah mendengar kejadian antara Adisti dan Isabel. Jon serta Adisti sendiri yang bercerita mengenai kejadian sore tadi. Tentu saja dia ikut kesal dengan perlakuan Isabel terhadap Adisti. Ugh ..., andai Nafa ada di sana, pasti semua itu tidak akan terjadi. Dia tidak akan membiarkan Isabel berlaku semena-mena kepada Adisti. Namun, kini pikiran berandai-andai itu harus disingkirkan karena Nafa melihat sahabatnya itu sedang resah.

Sudah setengah jam Adisti duduk bertopang dagu di depan laptop yang terbuka. Dia berusaha mengerjakan tugas kuliahnya, sayang pikirannya menolak untuk fokus. Sesekali, terlihat jari-jarinya menggerak-gerakkan kursor dan menekan tombol kibor asal-asalan. Jelas tidak ada kata-kata yang tertulis di layar, hanya tertera deretan huruf tanpa makna.

Pikiran Adisti masih kacau memikirkan Isabel dan love scenario antara dirinya dan Ares. Proyek itu sudah berjasa sangat besar untuk menaikkan namanya. Dari Adisti yang "sekuter" alias selibriti kurang terkenal menjadi artis yang paling dikejar-kejar wartawan. Dari Adisti yang harus bekerja keras untuk bisa muncul selintas di TV hingga sekarang dia harus menyeleksi tawaran yang masuk. Waktunya yang terbatas membuat tidak semua tawaran bisa diterima. Namun, gara-gara proyek itu pula Isabel mengecapnya sebagai perebut pacar orang. Membuat Adisti harus menerima teror terus-menerus. Kehidupannya yang tenang terasa sudah lama berlalu.

Begitu dalam Adisti tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai tidak sadar bahwa Nafa memperhatikannya sedari tadi. Maklum saja, syok masih menghantui perasaan dan pikiran Adisti akibat kata-kata keras dan kasar yang dilontarkan Isabel di tempat umum. Masih terbayang ekspresi dan suara Isabel saat sedang meluapkan emosinya. Juga wajah Ares yang kebingungan saat Adisti bergegas pulang dengan Jon. Kasihan Ares, yang tidak tahu ada kejadian apa malah ikut mendapat perlakuan tidak enak. Namun, sedikit banyak ini juga gara-gara Ares, 'kan? Atau Adisti ikut bersalah juga? Pusing. Adisti menggeleng pelan. Berusaha menjernihkan pikirannya.

Melihat Adisti galau seperti itu, Nafa tidak tahan lagi. Dia meletakkan buku yang sedang dibacanya di samping bantal, lalu kakinya mencari-cari sandal kamar sebelum melangkah mendekati Adisti. Ditariknya bangku dan duduk di samping cewek itu.

"Masih bete, Dis?" tanyanya hati-hati. "Masih kepikiran peristiwa tadi, ya?"

Adisti mengangkat wajahnya dan memandang Nafa. Dia mengangguk pelan. "Iya, Na. Gue enggak pernah nyangka Isabel bakal bereaksi kayak gitu. Dia bahkan enggak mau dengerin penjelasan gue."

"Yah, dia terbakar emosi, jadi enggak bisa berpikir jernih." Tumben Nafa bisa bicara serius.

Adisti memijat kepalanya yang berdenyut. "Gue sama sekali enggak bermaksud menjadi orang ketiga."

"Gue tahu. Lo tuh bukan tipe orang yang berminat sama petualangan cinta kayak gitu."

"Tapi, Isabel enggak percaya."

"Sebenarnya, mereka berdua itu pacaran enggak, sih? Jadi penasaran gue."

Adisti mengangkat bahu, "Itulah, gue juga bingung. Kata Ares, sih, mereka sudah putus. Tapi, menurut Isabel masih pacaran. Gue enggak tahu mana yang benar."

Pandangan Nafa menerawang. Seakan menembus dinding kamar. Melihat masa depan. "Jangan-jangan mereka emang masih pacaran. Enggak mungkin Isabel semarah itu kalau enggak ada hubungan apa-apa antara mereka."

"Kalau gitu Ares bohong, dong?" Rona kecewa tampak jelas di wajah Adisti. Dia akan marah sekali kalau benar Ares berbohong. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dibohongi, 'kan?

"Eh, tapi lo jangan langsung ambil keputusan gitu, dong. Tanya Ares aja dulu."

Adisti mengembuskan napas panjang. "Ares enggak bakal mau terus terang. Buktinya, selama ini dia enggak mengakui hubungannya dengan Isabel." Adisti mengerutkan dahi, tampak berpikir keras. "Menurut lo, gimana kalau gue mundur aja?" katanya pelan, nyaris berbisik. "Kayaknya ini satu-satunya jalan supaya gue lepas dari tuduhan itu."

Pertanyaan Adisti sungguh mengagetkan Nafa. "Terus, gimana kerjaan lo? Udah banyak, 'kan, tawaran yang datang? Apa nanti enggak berpengaruh ke kerjaan kalau lo mundur?"

"Itu yang bikin gue pusing. Tapi, terus terang gue enggak tahan banget diteror Isabel terus."

"Kalau kata gue sih jangan ambil keputusan sendiri, Dis. Biar gimana, ini menyangkut banyak orang. Ada Ares, juga agensi lo. Lebih baik lo ngobrol dulu sama mereka. Kalau perlu ajak siapa tuh namanya? Bos lo?"

"Mas Berto"

"Nah, iya."

Dering telepon menghentikan percakapan mereka. Nafa meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur. "Ares," katanya kepada Adisti. "Kenapa dia nelepon gue?"

"Karena gue sengaja matiin ponsel."

"Terima enggak, nih?"

Adisti menggeleng kuat.

"Jawab aja, deh. Jangan lari. Kalau enggak diomongin, masalahnya bakal tambah panjang," bisik Nafa dengan nada membujuk. "Halo?" katanya, mengabaikan Adisti yang melambai-lambaikan tangannya, isyarat agar Nafa jangan menerima telepon itu. "Dia mau bicara." Nafa menyodorkan ponselnya.

Adisti menggosok pelipisnya, lalu menghembuskan napas kencang. Dalam hati, dia menyadari kebenaran kata-kata Nafa. Masalah ini harus dibahas. Jadwal pekerjaan yang padat bisa terganggu jika dia terlalu lama mengabaikan Ares. Masih digayuti rasa segan, Adisti mengambil ponsel dari tangan Nafa.

"Halo," katanya pelan.

"Sori, aku nelepon lewat ponsel Nafa." Suara Ares terdengar di ujung sana. Seperti biasa, nadanya mantap. Tegas. "Dari tadi aku nelepon nomor kamu, tapi enggak aktif."

"Iya, HP aku mati."

Sejenak hening. Adisti lega karena Ares tidak bertanya mengapa tiba-tiba ponsel Adisti tidak aktif selama beberapa jam. Tidak juga bertanya soal kejadian di restoran itu, jadi Adisti tidak perlu repot-repot mencari alasan. Pasti Ares sudah tahu bahwa Adisti butuh menenangkan diri.

"Kita perlu bicara, Dis," akhirnya suara Ares terdengar lagi.

Adisti terdiam.

"Dis?"

"Ya?"

"Aku jemput kamu besok di kampus, ya?" Suara Ares lembut, tetapi tegas. "Please ...." desakan halus yang tidak memberikan ruang untuk penolakan.

Helaan napas Adisti terdengar berat. Jika mengikuti kata hati, pasti ajakan Ares ini akan segera ditolaknya. Gila, bicara berdua dengan cowok itu saat ini sama saja dengan uji nyali. Kejadian dengan Isabel bisa terulang lagi. Namun, dia harus mengutamakan profesionalitas. Wajah Berto yang cemberut ikut terbayang kalau pria itu tahu tahu lagi-lagi ada masalah di antara mereka. "Bicara di mana?"

"Apa lokasinya harus ditentukan sekarang juga?" Nada heran terdengar kental dalam suara Ares. Biasanya, Adisti memang tidak pernah rewel masalah tempat pertemuan. Dia tidak pernah protes saat diajak ke restoran Jepang atau kapal pesiar. Juga tidak pernah menolak saat diajak menyantap masakan Italia atau sekadar mengobrol di dalam mobil.

"Ya, aku perlu tahu."

"Oke. Aku akan pesan ruang meeting di restoran Cina langgananku."

"Private room?"

"Ruangannya tidak terlalu tertutup, tapi cukup memberikan privasi untuk kita bicara," terangnya.

Sejenak, Adisti menimbang-nimbang. "Oke," kata Adisti akhirnya. Mereka memang perlu bicara, tetapi Adisti tidak ingin lagi dituduh macam-macam oleh Isabel.

"Sip, kalau gitu. Ng ..., Dis?"

"Ya?"

"Tenangkan pikiran kamu. Jangan bebani dengan masalah yang enggak perlu. Semua pasti bisa diselesaikan."

"Oke," jawab Adisti singkat. Kelembutan kembali terdengar dalam suaranya.

Nafa tersenyum lebar mendengar potongan percakapan dari bibir Adisti. Walaupun tidak mendengar seluruh percakapan dengan lengkap, tetapi Nafa bisa menduga-duga isi pembicaraan antara Adisti dan Ares. Dengan wajah ceria, komentar langsung terlontar dari bibirnya, "Nah, gitu, dong. Komunikasi yang lancar akan menjembatani segala jenis kesalahpahaman."

***

Ares mengakhiri percakapan dengan lega. Paling tidak, satu tahap sudah terlewati. Adisti bersedia bicara dengannya. Langkah awal untuk menyelesaikan masalah.

Diam-diam, Ares sangat gelisah saat Adisti menolak untuk dihubungi. Kalau saja tadi Adisti tidak menerima teleponnya, pasti Ares sudah nekat untuk datang ke rumah kos cewek itu. Tidak peduli hari sudah malam. Tidak peduli dengan intaian kamera wartawan yang pasti dengan senang hati akan mengambil fotonya diam-diam, lalu memajangnya di halaman pertama dengan judul berita bombastis. Untung dia tidak perlu senekat itu. Belum.

***

Di sinilah Adisti dan Ares sekarang. Di dalam ruang privat restoran yang menyajikan hidangan ala Cina. Ruangan yang sebenarnya bisa menampung sampai sepuluh orang itu terasa lebih luas karena hanya ada Adisti dan Ares di sana.

Sesungguhnya, Adisti tidak ingin berada di tempat privat seperti ini, hanya berdua dengan Ares. Melihat dia dengan Ares di coffee shop yang merupakan tempat publik saja sudah membuat Isabel murka. Namun, tidak ada pilihan lain. Ares tidak ingin menggunakan salah satu ruangan di Superstar Agency. Sebaiknya, mereka bicara berdua dulu tanpa melibatkan Berto, begitu kata Ares. Karena itu, yang bisa Adisti lakukan hanyalah menjaga jarak dengan Ares. Jadilah mereka duduk berjauhan di sofa yang berbentuk setengah lingkaran itu.

***

Ares sungguh-sungguh menyesali kondisi hubungannya dengan Adisti saat ini. Keakraban mereka, yang baru terjalin sesaat itu, kini menguap entah ke mana. Lihat saja, sekarang mereka duduk berjauhan seperti dua orang yang tidak saling mengenal. Kaku. Asing. Mirip seperti kali pertama mereka berjumpa.

Diam-diam, Ares melirik Adisti yang sedang menunduk. Matanya seperti setengah terpejam. Bulu matanya tampak lentik, melengkung alami, menaungi mata Adisti yang terpaku pada gelas tinggi dan langsing berisi orange juice di depannya, memandangi minuman itu dengan intens seakan dia adalah peneliti yang sedang mengamati reaksi yang bakal terjadi dalam tabung di laboratorium. Jari-jari Adisti memutar-mutar sendok pengaduk di dalam gelas. Suatu kegiatan yang sungguh tidak perlu. Hanya untuk mengalihkan perhatian dan mengisi keheningan.

Guava juice di depan Ares masih utuh, tak tersentuh, Begitu juga seporsi dimsun yang tersaji di atas meja. Mereka datang memang bukan untuk menghilangkan rasa lapar. Makanan dan minuman yang Ares pesan lebih untuk memenuhi kewajiban sebagai pengunjung restoran.

Sudah beberapa menit berlalu sejak waiter meletakkan makanan dan minuman pesanan mereka dan mereka masih belum saling bicara. Ares sedang memikirkan kata-kata yang tepat, sedangkan Adisti bingung untuk memulai dari mana. Ares memaksa otaknya bekerja keras, jangan sampai salah bicara dalam suasana segenting ini.

"Dis, kamu bisa cerita apa yang sebenarnya terjadi?" Akhirnya, hanya seperti itulah kata-kata yang terlontar dari mulutnya setelah berpikir cukup lama.

Adisti mengangkat wajahnya, memandang Ares sejenak.

Ares tersentuh melihat keresahan di mata Adisti. Wajah tersebut begitu rapuh. Ares harus menahan keinginan yang muncul tiba-tiba untuk merengkuh bahu cewek itu, melabuhkan keresahan itu di dadanya. Membisikkan kalimat menenangkan di telinga Adisti, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Ares bersabar menanti jawaban Adisti. Dia berusaha mengirimkan empatinya lewat tatapan. Berharap Adisti mengerti.

"Dis ...?" tanyanya lagi, lebih lembut. Mata Ares memandang lekat wajah Adisti, seakan menawarkan perlindungan. "Cerita aja, biar kita bisa sama-sama nyari jalan keluar," bujuknya.

Adisti menelan ludah. Sorot mata Ares justru membuat kata-kata di benaknya menghilang. "Kamu udah ketemu Isabel?" Adisti merasa bebannya akan lebih ringan jika Isabel sudah menjelaskan lebih dulu kepada Ares. Dia mungkin hanya perlu menambahkan sedikit hal-hal yang belum jelas saja.

"Ya," Ares mengangguk. "Begitu kamu pergi, aku masuk ke restoran itu dan nemuin dia."

"Kalau gitu, Isabel udah cerita apa yang terjadi?"

"Udah. Tapi, aku ragu dengan kebenaran ceritanya."

Kata-kata Ares membuat Adisti tertegun hingga langsung mengangkat wajah. Perasaannya tidak enak. "Dia cerita apa?"

"Enggak penting apa yang dia bilang, Dis. Aku lebih pengin denger versi kamu."

"Tapi, aku mau tahu dia bilang apa."

Ares mengembuskan napas panjang. Beginilah susahnya jadi cowok. Jangan-jangan, jika dia menyampaikan cerita versi Isabel, Adisti malah semakin marah. Tidak memberi tahu Adisti juga bukan pilihan karena cewek itu tidak akan mau membuka mulut sebelum dia jujur. Serbasalah.

Ares memandang Adisti seolah ingin menyampaikan pesan bahwa kata-kata Isabel tidak perlu didengarkan. Ares sudah sangat mengenal Isabel. Namun, Adisti membalas tatapan Ares dengan tegas. Cewek itu bisa menjadi keras kepala juga kadang-kadang.

Ares mengalah. "Menurut Isabel, kamu ngundang dia ke restoran itu untuk bicara—"

Adisti membelalak. Hei, bukan dia yang berinisiatif mengundang Isabel! Namun, dia tidak berkata apa-apa. Dia masih bisa memaklumi kesalahan kecil ini. Adisti menanti kelanjutan kata-kata Ares.

"Terus, kamu datang dalam keadaan emosi," Ares berusaha menyampaikan penjelasan Isabel dengan halus. Dia mengganti kata-kata Isabel yang dirasanya kasar dan kurang pantas didengar. "Katanya, kamu protes karena ...."

Ares berhenti agak lama hingga Adisti merasa perlu menyela, "Karena apa?"

"Karena menemukan foto Isabel berdua denganku."

What?! Adisti tidak memercayai pendengarannya. Cerita apa itu? Benar-benar mengarang bebas. Sama sekali tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

Namun, benarkah Isabel bilang seperti itu? Begitu mudahnya dia membalikkan cerita.

Tunggu sebentar, kenapa dia jadi meragukan Ares? Ditatapnya wajah di depannya. Begitu kalem dan tenang. Kukuh, seakan mampu menahan gelombang sebesar apa pun. Tidak mungkin Ares berbohong. Mungkinkah?

Seluruh rasa campur aduk di dada Adisti. Marah, malu, sedih. Matanya berkaca-kaca menahan emosi. Bibirnya justru seperti terkunci hingga menambah beban di dadanya.

"Dis, are you okay?" Jari-jari Ares menyentuh bahu Adisti. Pelan. Hati-hati.

Adisti menggigit bibir, berusaha mendapatkan ketenangan agar bisa bercerita dengan jelas. Jangan sampai dia menangis di hadapan Ares. Dia tidak mau terlihat lemah di depan cowok itu.

"Bukan gitu kejadiannya."

Ares mengangguk. Mengerti. "Makanya aku pengin denger versi kamu. Supaya semuanya jelas."[]



AUTHOR'S NOTE

Waaah ..., pertanda apakah ini? Ares yang biasanya angkuh dan galak, mendadak jadi lembut sama Adisti. Senangnya komunikasi Ares dan Adisti jadi makin lancar. Apakah mereka bakalan tambah mesra? Wiiih ..., Isabel pasti gigit jari dan tambah sewot kalau lihat kemesraan Ares pada Adisti.

Ssst ..., jangan bilang-bilang sama Isabel, ya!

Komen di sini aja kalau setuju Ares dan Adisti makin mesra ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro