Bab 3: Kejutan di Kampus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lewat pukul tujuh malam, Adisti baru sampai di rumah kosnya. Macet di mana-mana selepas jam pulang kantor mengadang ojek online yang ditumpanginya. Untunglah suasana kos sedang sepi. Ruang tamu dan teras yang biasanya jadi tempat nongkrong anak-anak saat ini kosong. Bagus deh, Adisti senang karena sedang tidak mood untuk bertemu dengan teman-temannya. Dia ingin cepat-cepat beristirahat di kamarnya. Kuliah serta pertemuan dengan Berto dan Ares tadi terasa sangat melelahkan.

Segera Adisti menaiki tangga menuju lantai dua. Ada enam kamar kos di rumah ini. Empat kamar di lantai dua dan dua kamar di lantai satu. Pemilik kos adalah sepasang suami istri yang telah memasuki usia pensiun. Anak-anak mereka sudah berkeluarga dan tinggal di kota lain. Jadi, Bapak dan Ibu Hadi membuka usaha kos-kosan. Lumayan untuk menambah penghasilan dan sebagai teman supaya rumah tidak sepi, begitu kata Bu Hadi dulu waktu Adisti pertama kali pindah ke sini.

Sudah dua tahun Adisti tinggal di rumah kos ini. Dia betah karena rumah ini bersih dan rapi. Lokasinya yang tidak jauh dari kampus juga jadi nilai plus. Adisti bisa gampang pulang jika mendadak ada jam kuliah yang kosong. Teman-teman kosnya juga sangat baik. Terutama Nafa, teman sekamar juga teman kuliahnya.

Begitu membuka pintu kamar, pertanyaan Nafa datang memberondong. "Hai, gimana tadi? Jadi ketemu Berto? Sukses casting-nya?" Nafa, yang semula membaca sambil tiduran, buru-buru bangun dan duduk di sisi tempat tidurnya. Buku catatan yang sedang dibacanya terlempar begitu saja ke lantai.

Adisti hanya melemparkan senyum kecil. Dia menggeleng, meletakkan tas di atas meja, lalu duduk bersandar di kursi belajarnya. Nafa mendesah pelan melihat ekspresi Adisti. Dia bisa menduga apa yang terjadi dan langsung menyesal karena memberondong Adisti dengan pertanyaan tentang casting.

Sebagai penebus rasa bersalahnya, Nafa bangkit mengambil botol air putih dari kulkas kecil di sudut kamar, dan menuangnya ke gelas, lalu mengangsurkannya kepada Adisti. "Nih, minum dulu. Kayaknya lo capek banget."

"Thanks, Na." Adisti meneguk air dari dalam gelas sampai habis. Hatinya jadi sedikit lebih adem. Air dingin itu mampu mengusir haus dan sedikit rasa galau di hatinya. Menyadari Nafa masih menatapnya, seakan ingin tahu tetapi sungkan bertanya, Adisti melanjutkan kalimatnya, "Masih belum berhasil, nih, gue."

Helaan napas panjang Nafa terdengar jelas. Pasti sahabatnya itu ikut prihatin dengan kesuksesan Adisti yang tertunda. Kadang-kadang, Adisti merasa Nafa itu mirip Berto. Dua orang yang sangat yakin akan bakat dan kemampuan Adisti di bidang entertainment. Nafa juga begitu yakin bahwa kesuksesan Adisti akan datang tak lama lagi. Semangat dari Nafa dan Berto itulah yang membuat Adisti masih bertahan mencari peluang di dunia hiburan.

"Sabar aja, Dis. Masih banyak tawaran casting yang bakal datang nanti. Btw, Mas Berto bilang apa pas meeting tadi?"

"Nah, itu yang bikin gue lebih pusing lagi," Adisti memulai sesi curhatnya. Nafa adalah teman curhat Adisti sejak semester satu. Karena sekamar, praktis tidak ada rahasia di antara mereka.

"Apa? Kenapa?" Nafa berusaha meredam rasa penasarannya dengan memeluk erat bantal di pangkuannya, tetapi jelas tidak berhasil. Rasa penasaran terlihat jelas di wajahnya. "Lo enggak disuruh ikut casting yang aneh-aneh, 'kan? Gila aja Mas Berto kalo berani nyuruh lo kayak gitu!" Nafa sampai memelotot. Napasnya tertahan. Tegang. Pasti dia kebanyakan melihat berita-berita kriminal. Imajinasinya sering berkembang terlalu liar. Kadang-kadang, Adisti merasa Nafa cocok menjadi penulis cerita, terutama genre kriminal.

"Bukan!" Adisti mengibaskan tangannya, mengisyaratkan agar Nafa santai. "Gue cuma disuruh bikin sensasi biar nama gue naik."

Nafa malah tambah penasaran. "Gimana caranya?"

"Mas Berto minta gue pura-pura pacaran sama Ares—"

"Ares ...?! Ares yang bintang I Miss You? Ares yang nyanyi 'Kau Segalanya'? Ares yang—"

"Iya, Ares yang itu. Bayangin—"

"Aaah ..., ini sih dream comes true! Siapa, sih, yang enggak mau pacaran sama Ares? Dia kan ganteng, lembut banget, pengertian. Pacar idaman banget, deh! Kayak waktu dia main di Remember You. Keren banget, Dis! Ares itu kan idola banget," Nafa makin histeris.

"Itu kan di film, Na. Lo belum liat aslinya, sih. Songong banget, tahu."

"Masa, sih?" Nafa tampak tidak percaya. "Bukannya lo juga nge-fans sama dia?"

Adisti memutar bola matanya. "Tadinya, sih, gitu. Tapi, pas tadi gue ketemu langsung sama dia, enggak banget, deh! Angkuh, suka ngerendahin orang lain."

"Tapi, tetap asyik, dong, bisa pacaran sama artis terkenal kayak Ares."

"Yah ..., kan enggak pacaran betulan. Pacar setting-an gitu, deh—"

"Ah kalau sama Ares, sih, mau pacar betulan, mau setting-an, enggak masalah. Yang penting, bisa deketan sama dia. Eh, ntar kalau dia ke sini, gue boleh minta tanda tangan, 'kan? Nih, di kaus gue. Bakalan gue pigura, deh, kaus yang ada tanda tangan dia ...." Angan Nafa kembali melambung tinggi.

"Woi, dengerin dulu! Gue belum selesai ngomong! Gue emang disuruh pacaran sama Ares, tapi Ares-nya enggak mau."

Nafa melongo. Badannya lemas. "Kenapa enggak mau?" tanyanya berbisik, seolah syok dengan penolakan Ares. Jika Ares menolak, berarti pupus sudah harapan Nafa untuk mendapat tanda tangan dari sang bintang.

"Yaaah ..., gitu, deh. Katanya dia enggak suka sensasi murahan," jawab Adisti muram. Hatinya sakit lagi mengingat penolakan Ares. Duh, ditolak jadi pacar setting-an ternyata sakit juga, ya? Apalagi kalau ditolak jadi pacar beneran.

"Ck, dia belum kenal lo, tuh, Dis! Kalau udah kenal, pasti dia bakal ngemis-ngemis minta jadi pacar lo."

Adisti tertawa. "Aduh, lo tuh, ya, bahasanya. Ngemis-ngemis? Ares yang arteees! Enggak mungkin banget. Udah, ah, gue mau tidur aja. Besok kita kuliah pagi, 'kan?"

"Gue juga mau tidur, biar bisa mimpi ketemu Ares."

***

Duh, Adisti mendadak gelisah. Ponselnya bergetar pada pertengahan jam kuliah. Buru-buru Adisti memasukkan ponsel yang semula tergeletak di atas meja ke saku celana jinsnya. Untung dia sudah mengubah ponselnya ke mode getar. Pak Ferdi, yang sedang asyik menerangkan, pasti mengamuk jika ada ponsel "bernyanyi" di dalam kelasnya. Walau penasaran setengah mati, Adisti tidak berani mengintip siapa yang meneleponnya.

Ponsel itu terus bergetar-getar di dalam sakunya. Geli. Nafa menahan tawa melihat celana Adisti yang terkena getaran ponsel. Sahabatnya itu mengangkat alis. Bertanya tanpa suara. Ikut penasaran dengan identitas sang penelepon. Adisti menggeleng dan mengangkat bahu. Kode bahwa dia tidak tahu siapa yang menelpon.

"Ya, sekian kuliah hari ini. Jangan lupa mengumpulkan tugas minggu depan," Pak Ferdi mengakhiri jam kuliahnya, lalu bergegas melangkah keluar.

Secepat kilat, Adisti kembali mengeluarkan ponselnya. Nomor tidak dikenal. Dia membuka WA. Ada pesan dari nomor itu: Angkat teleponnya. Ini Ares. Adisti memelotot melihat nama si pengirim pesan.

"Siapa ..., siapa yang telepon?" Nafa kepo berat. "Penggemar lo, ya? Cieee ..., yang udah punya penggemar ...."

"Apaan, sih, heboh bener dari tadi?" Jon ikut menimbrung. Cowok yang tabah menjadi teman cewek-cewek cerewet seperti Nafa dan Adisti itu bertubuh tinggi atletis, sesuai untuk menjadi pelindung kedua teman perempuannya tersebut. Yang penting, dia juga tidak keberatan mengantar Nafa dan Adisti nyalon. Tidak resek jika dua cewek itu ngerumpi atau PMS.

"Ini, nih, dari tadi ponsel Adisti bunyi-bunyi terus, dari penggemarnya."

"Wah, keren! Selamat, ya, sudah banyak penggemar. Sebentar lagi kita mesti antre, dong, kalau mau minta tanda tangan," goda Jon.

Dengan main-main, Adisti meninju pundak cowok itu. "Bukan penggemar. Nih, lihat sendiri!" Adisti menyodorkan ponselnya ke depan wajah Nafa.

"Aaaaa ...!"

Jon dan Adisti terlompat mendengar jeritan histeris Nafa. Para mahasiswa lain yang masih ada di kelas juga ikutan kaget.

Adisti menendang Nafa. "Ssst ...! Jangan ribut."

"Apaan, sih, Na?" Jon mengelus dada. Kasihan jantung Jos yang langsung berdetak lebih cepat setelah mendengar suara Nafa yang melengking seperti kucing yang sedang berkelahi itu. Memang butuh jantung yang kuat untuk berteman dengan Nafa dan Adisti.

"Oh, my God ..., Oh my God.... Tadi telepon dari Ares! Cepet ltelepon balik, Dis! Cepet!"

"Ares siapa, sih?" Jon malah bengong. Maklum, cowok itu lebih suka menonton film-film Hollywood, jadi pengetahuannya tentang artis lokal agak sedikit kurang sip.

"Nanti aja, ah. Males gue. Anaknya songong gitu. Kalau dia perlu sama gue, nanti juga dia nelepon lagi."

"Woi ..., Ares anak mana, sih?" Jos menyela dengan tidak sabar. Cowok itu menggeleng-geleng karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Adisti dan Nafa malah heboh sendiri.

"Eh, kasihan, tahu. Dia udah lima kali missed call. Siapa tahu ada urusan urgent. Lo diajak syuting kali atau ada proyek rekaman duet." Kkhayalan tingkat tinggi Nafa kembali aktif. "Cepat lo telepon dia. Jangan lupa di-loudspeaker ya. Gue mau dengar juga."

"Iiih, dasar, ternyata ada maunya!" Adisti menyenggol tangan Nafa. "Eh, ada apa, tuh, ribut-ribut?" Dari pintu kelas yang terbuka, terdengar seruan histeris, juga gedebuk puluhan kaki yang berlari. Heboh.

"Lihat, yuk ...!" Nafa langsung menyambar tasnya dan menggeret Adisti keluar. Dia memang tidak pernah mau ketinggalan keramaian apa pun. Jon ikut berlari di belakang Adisti dan Nafa, masih bertanya-tanya dalam hati, makhluk apakah Ares ini.

Ternyata, keributan itu terjadi di ujung koridor. Puluhan cewek bergerombol dan berteriak-teriak. Masa, sih, ada demonstrasi di dalam kampus?

Beberapa meter sebelum mendekati kerumunan itu, langkah Adisti dan Nafa terhenti. Mereka berpandangan. Itu kan ....

***

"Areees ...! Areees ...! Terdengar teriakan nyaring bersahutan. Dari tempatnya berdiri, Adisti bisa melihat sosok Ares yang menjulang. Dikerubuti cewek-cewek yang heboh menjerit-jerit. Tangan-tangan mereka menggapai ingin menyentuh tubuh Ares. Beberapa orang mulai menangis histeris, tak menyangka bisa bertemu idolanya. Sayang, keinginan para penggemar itu untuk menyentuh Ares tidak tercapai. Lima pria berbadan tegap menjaga di sekeliling Ares, membentuk pagar untuk menjaga keselamatan sang bintang.

Ares yang menyadari kehadiran Adisti bergerak menghampiri. Langkahnya cepat dan mantap. Semua bodyguard-nya mengikuti sambil terus berjaga-jaga.

Adisti mengamati cepat. Dia menebak cewek-cewek itu bukan mahasiswi kampus ini. Entah dari mana datangnya penggemar sebanyak itu. Adisti bisa mengenali beberapa temannya justru hanya melihat dari jauh. Kepala-kepala mahasiswi lain juga muncul dari balik jendela dan pintu ruang kuliah. Semua ingin tahu kehebohan apa yang sedang terjadi. Satpam kampus berlari ke arah sumber keributan.

Adisti memelotot ngeri, melihat kerumunan fans Ares bergerak ke arahnya. Nafa juga tampak ketakutan. Begitu kagetnya sampai mereka berdua malah terdiam, tidak mampu bergerak. Sementara Jon bolak-balik menoleh kebingunan antara massa yang datang dan kedua temannya.

"Woi ..., mereka datang, tuh. Kabur, yuk ...!" Jon menggoyang lengan Nafa dan Adisti, berharap teman-temannya menyadari datangnya bahaya. "Ayo cepat, bisa-bisa kita gepeng diinjak-injak cewek-cewek itu."

Ajakan Jon terlambat. Ares sudah berdiri di depan mereka, dengan para penggemar yang histeris mengelilingi.

"Ayo, ikut," katanya, tanpa sapaan atau pembuka apa pun. Adisti dan Nafa makin bengong. Adisti bingung dengan kemunculan Ares yang menyebabkan kehebohan di kampusnya ini, plus ajakannya yang tidak jelas itu. Nafa terkena star struck akut karena bisa bertemu artis idolanya. Gejalanya jelas, mulut Nafa terbuka lebar dan sorot matanya memandang Ares dengan tatapan memuja. Jon ikutan bengong melihat dua sahabatnya memperlihatkan perilaku yang aneh. Apalagi para penggemar Ares masih berteriak-berteriak, sampai semua bodyguard Ares harus bekerja keras menahan mereka. Kini, Ares, Adisti, Nafa dan Jon berada dalam lingkaran perlindungan para bodyguard.

"Cepat, sebelum mereka makin histeris," lanjut Ares tidak sabar.

"Kamu ngomong sama aku?" Adisti menunjuk dirinya.

Tangan Ares kini berkacak pinggang. Sumpah, dia tidak punya level kesabaran yang cukup tinggi untuk menghadapi situasi seperti ini. "Iya, kamu. Memangnya siapa lagi?" Tangannya segera menarik lengan Adisti.

"Tapi, ke mana?"

"Ada yang perlu aku bicarakan. Tapi, kayaknya kita enggak bisa bicara di sini, 'kan?" Ares mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Fans-nya makin histeris melihat Ares menggandeng Adisti.

"Tapi, aku bareng teman-teman."

"Ajak aja! Cepet!"

Adisti terperangah, tetapi tidak cukup waktu untuk berdebat. Fans Ares makin merangsek. Bodyguard-nya mulai kewalahan. Cepat Adisti berbisik kepada Nafa. Mata Nafa berbinar senang. Dia segera berbisik kepada Jon. Ekspresi heran plus kaget jelas terbaca di wajah Jon. Adisti tak tahu apa yang dibisikkan Nafa. Ares memberi kode kepada salah satu bodyguard-nya. Dengan sangat terlatih, para bodyguard itu langsung membentuk formasi. Dalam hitungan ketiga, mereka sudah berlari menembus kerumunan penggemar Ares. Tangan cowok itu masih menggenggam tangan Adisti. Jon dan Nafa mengikuti dari belakang. Adisti bisa mendengar derap langkah cewek-cewek yang membuntuti mereka. Terdengar seperti gerombolan hewan yang sedang berpindah tempat melintasi padang rumput mahaluas.

Mereka berbelok ke arah lapangan parkir. Di ujung sana, mobil Ares terparkir. Jon dan Nafa masuk duluan, lalu duduk di kursi penumpang paling belakang. Ares dan Adisti duduk di kursi penumpang tengah. Bodyguard Ares menunggu di luar mobil. Memastikan mobil Ares bisa keluar dengan mulus.

DUK!!! DUK!!! DUK!!!

Rupanya, ada penggemar yang nekat menggedor-gedor mobil Ares. Teriakan fans yang meminta Ares muncul dari jendela mobil masih terdengar. Ares diam saja, tetap tenang, mengawasi sopirnya melajukan mobil dengan mantap. Tak perlu waktu lama, mobil sudah meluncur ke jalan raya. Suasana tegang yang tadi begitu terasa, perlahan memudar. Udara sejuk yang diembuskan mesin pendingin udara, dilengkapi musik lembut yang mengalun, menyebarkan ketenangan. Perlahan, detak jantung Adisti kembali normal. Dia menyandarkan kepalanya ke kursi. Sejenak, dia memejamkan mata. Sungguh, baru kali ini dia terjebak dalam kerumunan fans yang histeris karena bertemu idola mereka. Dia membuka mata dan melirik Ares. Kelihatannya, Ares sudah terbiasa dengan kehebohan itu. Ekspresinya tampak datar.

"Hai .... Kenalkan, aku Karel, asisten Ares." Cowok yang duduk di samping sopir mengulurkan tangannya.

Adisti menjabat tangan Karel. "Halo, aku Adisti. Ini teman-temanku, Nafa dan Jon."

Karel tersenyum sambil melambai ke arah Nafa dan Jon. Cowok itu lebih tua daripada Ares. Matanya memancarkan aura dewasa dan bijaksana, dengan sedikit kilat usil. Senyumnya enak dilihat. Wajahnya tampak ramah.

"Minum?" Karel menyodorkan tiga botol minuman dingin.

"Terima kasih."Adisti mengambil satu botol dan memberikan sisanya kepada Nafa dan Jon.

"Maaf, ya, kami enggak bermaksud membuat keributan," Karel mencoba menerangkan dengan sopan. "Sepertinya, ada kebocoran informasi, jadi kedatangan kami ke kampus kamu ketahuan penggemar-penggemar Ares. Jadinya, ya, kayak tadi, deh."

Adisti melirik Nafa dan Jon. Dia merasa bersalah karena melibatkan dua sahabatnya itu dalam "kerusuhan" barusan. Walau kelihatannya dua temannya sama sekali tidak keberatan. Wajah Nafa malah terlihat sangat ceria karena impiannya bertemu dengan sang idola, alias Ares, bisa menjadi kenyataan. Senyum tidak lepas dari bibirnya sejak duduk di mobil ini. Sebenarnya, dia tidak sabar untuk minta tanda tangan Ares, tetapi berhubung kondisi belum memungkinkan, maka Nafa duduk bersandar sambil mencuri-curi pandang ke arah Ares lewat kaca spion depan. Sedangkan Jon kelihatannya masih bingung, belum mengerti sepenuhnya atas kejadian tadi. Namun, kini cowok itu duduk santai menikmati minumannya juga musik yang dipasang di mobil itu.

Belum sempat Adisti menanggapi kata-kata Karel, Ares memotong dengan nada angkuh. "Yang tadi itu enggak bakal kejadian kalau saja teleponku diangkat."

Wajah Adisti yang semula pucat berubah merona. Jelas cowok itu menyindirnya.

Karel kelihatan tidak enak hati dengan celetukan Ares. "Enggak maalah, yang penting sekarang semua sudah bisa diatasi. Kalian enggak keberatan, 'kanm kalau kita ngobrol sambil makan siang?" Dengan luwes, Karel mengalihkan pembicaraan.

"Asyiiik ...!" Nafa bersorak. Suaranya yang nyaring mengingatkan Adisti kepada teriakan fans Ares tadi. Adisti melirik Ares. Ingin melihat reaksi sang bintang, tetapi cowok itu tampak cuek, sibuk memandang keluar jendela. Seakan segala hal terjadi di luar dunia pribadinnya.

***

Mobil memasuki sebuah restoran Jepang yang tampak megah. Lokasinya sedikit di pinggiran kota. Kelihatannya, Ares adalah pelanggan tetap di situ karena kehadirannya sudah dikenali sejak mobilnya memasuki gerbang restoran. Mereka langsung memasuki private room. Ada meja bundar dengan kapasitas enam orang. Karel mengatur Ares duduk di sebelah Adisti.

Dua orang waiter masuk membawa beberapa nampan berisi sushi. Adisti, Nafa, dan Jon membelalak melihat betapa banyaknya hidangan yang ditaruh di atas meja.

"Gue enggak tahu kalian suka apa, jadi gue minta Karel pesan macam-macam," kata Ares angkuh.

Jon mengernyitkan dahi melihat gaya Ares. Sementara Nafa, yang sudah telanjur mengidolakan cowok itu, tidak peduli dengan segala keangkuhan dan gaya Ares yang kurang menyenangkan. Cewek itu terus-terusan menatap Ares dengan sorot mata memuja. Kelakuan Nafa membuat Jon semakin sebal.

"Seharusnya lo enggak perlu repot-repot." Adisti merasa tidak enak, terutama terhadap teman-temannya. Rasanya seperti ditraktir, tetapi yang menraktir tidak ikhlas. Hanya melakukannya sebagai bagian dari basa-basi atau sekadar ingin pamer saja.

Ares dengan cuek mengibaskan tangan. "Enggak repot, kok. Semua urusan semacam ini diatur Karel. Aku tinggal perintah saja. Mereka semua yang mengerjakan." Lalu, "Rel, fotoin!" Ares melemparkan ponselnya. Dengan sigap, Karel menangkap. Adisti menahan napas melihat ponsel semahal itu dilempar-lempar. Bayangkan jika tangkapan Karel meleset. Bisa-bisa ponsel itu retak karena beradu dengan lantai restoran. Mungkin bagi Ares ponsel berganti ponsel bukanlah hal yang sulit. Dengan predikatnya sebagai artis sukses, tentu mudah saja bagi cowok itu untuk bergonta-ganti ponsel.

"Foto tanganku.," Ares menggenggam tangan Adisti di atas meja. Kontan Adisti kaget dan refleks berusaha menarik tangannya. Namun, genggaman Ares begitu kuat.

Nafa tersenyum-senyum melihat adegan itu, sedangkan kening Jon berkerut dalam. Cowok itu bisa melihat ekspresi kaget dan tak suka pada wajah Adisti. Dia meremas serbet di pangkuannya, siap berdiri jika Ares bersikap semakin kurang ajar kepada Adisti. Untungnya tidak. Setelah Karel mengambil beberapa gambar, Ares melepaskan gengamannya. Adisti segera menarik tangannya dari atas meja. Dia memelotot sambil mengusap-usap tangannya.

"Apa-apaan, sih?" tanyanya, berbisik dengan nada protes. "Buat apa foto-foto kayak gini?"

"Memangnya kamu lupa pembicaraan di kantor Mas Berto kemarin? Katanya kamu perlu sensasi untuk naikin popularitas? Ini sensasinya. Sesuai dengan love scenario yang disusun Mas Berto untuk menaikkan nama kamu," kata Ares cuek. Melihat ekspresi tak mengerti masih terpancar di wajah Adisti, Ares mendengkus tidak sabar. "Foto-foto itu nanti diposting di Instagram kita."

Oooh .... Perlahan, Adisti mulai mengerti.

"Sekarang potret dari belakang, Rel." Ares mendekatkan tubuhnya ke arah Adisti. Bergaya seakan ingin membisikkan sesuatu.

"Tapi ..., waktu itu kamu kan enggak mau."

Ares mengangkat bahu. "Setelah kupikir-pikir, tidak ada salahnya menolong calon artis seperti kamu."

Ih, sumpah, gayanya nyebelin banget! Hampir saja Adisti berkata, Aku enggak perlu belas kasihan dari kamu! Namun, ditelannya kata-kata itu. Adisti masih cukup sopan untuk tidak mengeluarkan kalimat yang bisa menyakiti orang lain. Walaupun tingkah orang itu senorak Ares.

Diliriknya teman-temannya. Dia bisa melihat rona tidak suka di wajah Jon. Wajar, sih. Tidak banyak orang yang bisa sabar diperlakukan songong seperti ini. Hanya Nafa yang kekagumannya tidak luntur meski semua tingkah Ares kurang menyenangkan.

Tanpa menunggu respon dari Adisti, Ares memberi kode agar Karel bersiap mengambil gambar. Ares segera berpose lagi. Dia mendekat ke arah Adisti. Cewek itu memejamkan mata, sedikit risih berpose mesra seperti ini di depan teman-temannya.

Klik. Klik. Seperti tadi, setelah mengambil beberapa gambar, Karel duduk di sisi Ares. Dia menyerahkan ponsel Ares supaya cowok itu bisa memeriksa foto yang diambilnya. Adisti ikut mengamati. Tampak punggungnya dan Ares bersisian. Pose Ares agak menyamping, hingga sisi wajahnya terlihat. Sengaja agar setiap orang bisa melihat bahwa itu adalah Ares. Sebaliknya, yang tampak dari Adisti hanyalah rambutnya yang panjang dan halus menyapu punggung.

Foto-foto jepretan Karel lumayan oke. Cukup instagramable-lah. Layak untuk diunggah di berbagai akun media sosial milik Ares. Karel sudah sering bertindak sebagai fotografer dadakan bagi Ares. Dia sudah mengerti maksud dan selera Ares saat difoto.

"Yak, oke. Lo edit seperlunya, ya. Terus posting di Instagram gue. Caption-nya lo karang aja. Yang penting harus bisa bikin fans gue penasaran," pesan Ares.

Karel mengangguk. Tanpa banyak bicara, dia berdiri dan keluar dari ruangan.

Ares menoleh ke arah Adisti. "Foto-foto tadi bakal diposting hari ini. Untuk sementara, identitas kamu masih disamarkan, jadi kamu enggak perlu cemas."

Cemas? Kenapa harus cemas? Adistibertanya-tanya dalam hati.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro