Bab 6: Ares dan Kampus PINUS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam belum lagi menunjuk angka tujuh saat Adisti melangkah keluar dari rumah kosnya. Tidak seperti biasa, hari ini Adisti berangkat ke kampus sendiri, berniat sarapan bubur dulu sebelum kuliah. Nafa menolak untuk ikut dan memilih santai-santai di tempat tidur. Memang, enaknya kos di dekat kampus itu bisa berangkat mepet-mepet dengan jam mulai kuliah. Tidak heran jika mahasiswa yang tinggal di dekat kampus, seperti Adisti dan Nafa, justru lebih sering datang terlambat daripada mereka yang lokasi rumahnya lebih jauh.

Adisti mampir ke kios bubur Bang Supri untuk mengisi perutnya yang mulai lapar. Sudah agak lama juga Adisti tidak mampir ke sana. Dia sudah kangen sarapan bubur ayam yang paling enak di daerah ini. Bubur buatan Supri itu pas, tidak terlalu kental atau encer. Supri juga tidak pelit menaburkan pelengkap. Kacang goreng, potongan cakwe, dan suwiran ayam melimpah hampir menutupi bubur dalam mangkuk. Satu lagi favorit Adisti adalah kuah kaldunya yang kuning keemasan dan terasa mantap di lidah. Buat yang ingin tambahan lauk, di atas meja tersedia sate telur puyuh, potongan hati, dan ampela. Sungguh menu sarapan yang pas untuk memenuhi energi yang diperlukan untuk kuliah dari pagi hingga siang.

Tumben, nih, warung bubur agak sepi, kata Adisti dalam hati saat melangkah masuk. Masih ada tiga meja yang kosong. Biasanya, jika ingin sarapan di sini mesti masuk waiting list dulu. Alias harus menunggu di luar kios sampai ada pelanggan yang selesai makan, karena seluruh bangku sudah ditempati.

"Bang, bubur satu, ya! Komplet!" serunya.

Supri menoleh, "Oke, Mbak. Silakan duduk dulu. Minumnya es teh manis, 'kan?" jawabnya dengan ramah. Bayangkan, buburnya lezat dan penjualnya ramah, sungguh tempat makan favorit.

Tidak perlu menunggu terlalu lama, bubur ayam yang dipesan Adisti datang. Adisti mengambil sendok dan mengaduk bubur di dalam mangkuk. Ya, betul, Adisti memang termasuk tim bubur diaduk. Tak lupa setengah sendok sambal dituangkan ke atas bubur. Pedas menjadi pelengkap rasa gurih, asin, dan manis sarapannya kali ini.

"Dis ...!"

Panggilan itu menghentikan sendok bubur tepat di depan bibir Adisti. Dia mendongak, menatap sosok yang berdiri di depan mejanya. Mata Adisti mengerjap berkali-kali karena tidak bisa mengenali sosok cowok tersebut. Cowok itu mengenakan celana jins pudar dan kaus berkerah warna cokelat. Wajahnya sedikit tertutup topi dan kacamata minus. Sosoknya agak familier. Pasti mahasiswa PINUS juga, pikir Adisti dalam hati. Mungkin anak jurusan lain atau satu jurusan, tapi beda angkatan.

Tanpa menunggu sahutan Adisti, cowok itu duduk, membuka topinya, menyibakkan rambutnya yang hampir menutupi mata, juga melepas kacamatanya. Astaga ...! Mata Adisti melebar.

"Ares!?" Adisti berbisik.

"Hai. Kok kaget banget? Enggak ngenalin, ya? Sukses dong penyamaranku." Dengan sok acuh, Ares memamerkan senyumnya yang memikat. Entah sudah berapa banyak cewek yang bertekuk lutut, terpesona akan senyum itu. Sayang, pesona tersebut tidak mampu menggoda Adisti. Cewek itu masih memandang Ares dengan terheran-heran.

"Kamu ... ngapain ke sini?!" bisik Adisti dengan nada panik. Dia ngeri membayangkan kehebohan di kampus gara-gara Ares terulang lagi. Mata Adisti melirik cepat ke kanan dan kiri. Untungnya, suasana masih aman terkendali. Tempat makan ini tidak terlihat jelas dari jalan raya karena tertutup rombong tempat Supri menata dagangannya. Pengunjung warung yang kebetulan cowok-cowok sama sekali tidak memperhatikan mereka berdua. Masing-masing sibuk melihat ponsel sembari menikmati makanan. Mereka tidak sadar bahwa di warung bubur Bang Supri ini ada aktor paling top di ibu kota sedang mengobrol santai dengan Adisti.

"Memangnya tidak boleh?" Ares semakin ingin menggoda Adisti. "Ini kan warung untuk umum. Siapa saja boleh mampir, duduk, dan makan di sini. Makin banyak yang makan, tukang buburnya pasti senang. Untungnya makin banyak. Apalagi kalau dia tahu aku yang datang. Kamu tahu, setiap restoran yang aku datangi selalu minta foto bersama. Terus fotonya dicetak sebesar jendela dan dipajang di dinding. Dengan memajang fotoku, dijamin omset warung itu langsung melesat."

"Iya, tapi kalau penggemar kamu yang heboh itu tahu, bisa-bisa warung ini roboh digeruduk!" Slis Adisti berkerut cemas.

Ares mengibaskan tangannya. "Tenang saja. Kehebohan waktu itu terjadi karena ada kebocoran informasi dari orang dalam. Jadi, penggemarku tahu rencanaku pergi ke kampus. Jadilah mereka datang menyerbu. Kalau sekarang, aku jamin semuanya sudah beres. Tidak ada lagi kebocoran. Rahasia aktivitasku terjaga rapat."

"Bodyguard kamu mana?" Adisti sulit membayangkan Ares keluyuran sendirian tanpa pengawalan.

"Tuh!" Ares menunjukkan dengan anggukan. Adisti menoleh dan melihat beberapa orang berbadan tegap berdiri dengan gaya tidak mencolok di sekitar warung. Seragam yang biasa mereka kenakan berganti dengan jins dan kaus berkerah. Persis seperti Ares. Mirip anak kuliahan biasa.

"Oke ...." Adisti mulai tenang. "Jadi, apa tujuan kamu datang ke sini?"

Ares mengangkat bahu. "Cuma pengin ngasih kabar kalau aku dapat undangan untuk hadir di talkshow Nusa TV. Mereka mau ngundang kamu juga."

"Apa? Aku? Dari mana mereka tahu tentang aku? Emangnya identitasku sudah ketahuan?" Sungguh, mengobrol dengan cowok ini pasti berakhir dengan Adisti yang merasa kaget dan panik. Ada saja ucapan cowok itu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Tenang, jangan panik gitu. Tentu saja belum. Identitas kamu sampai saat ini masih rahasia. Mereka mengundang aku dan cewek yang tangannya ada di foto itu. Yah, intinya gitu. Mereka pengin jadi acara talkshow pertama yang mengungkap identitas pacar Ares yang sebenarnya," ucap Ares dengan nada dramatis. "Dan, mereka bersedia memberi honor besar untuk kemunculan kamu di sana."

"Tawaran itu sudah kamu terima?" Adisti tegang.

"Enggaklah. Belum waktunya." Ares mengibaskan tangannya. "Eh, buburnya ntar dingin, lho. Ngobrolnya sambil makan aja." Ares mengambil sendok dari tangan Adisti, lalu menyodorkannya ke mulut cewek itu, bermaksud menyuapi.

"Ih, apaan, sih?" Adisti mengelak.

"Tinggal buka mulut ini. Ntar tumpah terus kena baju kamu, lho," Ares setengah memaksa.

Tidak ingin bajunya ketumpahan bubur, Adisti membuka mulut. Hap. Satu suap bubur masuk dengan selamat. Adisti merasa risi dengan perlakuan Ares.

"Aku bilang ke Mas Berto untuk menunda penampilan di televisi sekitar satu minggu lagi," kata Ares setelah meletakkan sendok di mangkuk. "Selama itu, aku bakalan banyak posting foto kita. Biar rasa penasaran netizen makin maksimal. Baru abis itu kita resmi muncul berdua. Kamu harus siap untuk muncul di acara-acara TV," Ares membeberkan strateginya.

Masih ada waktu seminggu lagi. Adisti menghembuskan napas lega seperti baru saja luput dari terkaman buaya. Omong-omong, yang duduk di depannya ini juga termasuk spesies buaya unik. Alias buaya darat. Playboy. Sudah jadi rahasia umum bahwa bekas pacar Ares itu lumayan banyak. Adisti mengingatkan diri sendiri dalam hati bahwa proyek ini adalah setting-an. Apa pun yang Ares lakukan, baik ataupun buruk, semuanya hanya akting. Bukan perilaku cowok itu yang sesungguhnya. Jadi, Adisti tidak perlu terlalu senang saat menerima pujian Ares atau sakit hati ketika cowok itu mengeluarkan kata-kata ketus.

"Oke. Aku akan menyiapkan diri untuk undangan-undangan televisi. Btw, kamu enggak ada kegiatan hari ini?" Adisti bertanya sambil melirik buburnya yang mulai dingin. Dia sudah kehilangan minat untuk makan.

Adisti pernah mendengar dari Berto bahwa jadwal Ares sangat padat. Kegiatannya macam-macam, dari syuting sampai pemotretan. Belum lagi jika ada kegiatan promo. Bisa berminggu-minggu artis ngetop di depannya ini harus keliling mengunjungi berbagai daerah di Indonesia. Namun, hari ini Ares kelihatan begitu santai.

"Jadwalku lagi longgar. Aku emang lagi minta libur sebelum ambil proyek baru. Makanya bisa melayani permintaan Berto untuk ikut dalam permainan ini," Ares menekankan kata permainan, seolah ingin mengingatkan Adisti bahwa semua ini hanya main-main.

Huh, tidak perlu diingatkan aku juga sudah tahu, keluh Adisti dalam hati.

"Kamu sendiri kuliah jam berapa?"

"Nanti, jam delapan."

"Aku ikut, ya?"

"Maksud kamu gimana?"

"Aku," Ares menunjuk dirinya sendiri, "ikut kamu," kali ini telunjuk Ares terarah kepada Adisti, "ke kampus," Ares menunjuk ke luar.

Aduh, apa-apaan sih Ares ini? Adisti selalu bingung menghadapi tingkah Ares yang penuh kejutan dan susah ditebak. Untuk apa dia ikut ke kampus coba? "Enggak boleh! Kalau ketahuan dosen dan teman-teman nanti, aku pasti jadi repot."

"Jangan parno gitu, dong," Ares menenangkan. "Enggak bakal ketahuan deh. Kamu kan lihat sendiri penyamaranku sangat canggih. Kamu aja enggak ngenalin aku."

"Ya, tapi kan karena tadi kamu pakai topi. Di kelas enggak boleh pakai topi. Wajah kamu bakal kelihatan jelas," bantah Adisti. "Pokoknya enggak. Aku enggak mau nyari masalah."

Ares terkenal sebagai pribadi yang pantang menyerah. Dia tidak akan menerima penolakan begitu saja. Terbukti kali ini dia tetap ngotot mau ikut kuliah.

"Gini aja, pilihannya adalah, kalau kamu nolak, aku bakal datang terang-terangan, tanpa penyamaran, dan bikin keributan di kampus kamu kayak waktu itu. Kalau kamu ngizinin aku ikut kuliah diam-diam, sebagai balasannya, kamu aku ajak dinner. Gimana?"

Hhh .... Adisti gemas. Cowok di depannya ini sangat usil. Dia tahu kepentingan dan kelemahan Adisti, untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingannya. Seolah Adisti akan senang diajak dinner saja. Padahal Adisti hanya ingin menghindari keributan dan dia tahu Ares tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Bahaya membiarkan Ares membuat kehebohan sekali lagi di kampus. Adisti tidak punya pilihan.

"Ya, deh ...."

"Yes!" Ares meninju udara.

"Tapi, dengan syarat bodyguard kamu enggak ada yang ikut." Adisti tidak bisa membayangkan bagaimana caranya menyelundupkan orang sebanyak itu jika Ares ingin bodyguard-nya juga ikut masuk kelas.

"Siiip ...!" Ares tersenyum lebar. Dia mengacungkan dua jempolnya ke arah Adisti yang memandangnya dengan wajah cemas.

***

Ide menyelundupkan Ares ke kelas adalah kelakukan paling gila yang pernah Adisti lakukan. Bayangkan jika Bu Eni, dosennya yang akan mengajar nanti, mengenali Ares, pastinya teguran keras akan mampir ke telinga Adisti. Bu Eni bakal marah besar jika jam kuliahnya terganggu. Kecuali Bu Eni termasuk dalam barisan penggermar Ares, ada kemungkinan Adisti lolos dari omelan. Namun, rasanya tidak mungkin, mengingat usia Bu Eni sudah hampir lima puluh tahun. Artis kegemarannya pastilah yang usianya jauh lebih tua dari Ares. Jangan-jangan, Bu Eni malah penggemar papanya Ares yang juga bintang ngetop pada masanya.

Untungnya, kuliah kali ini adalah kelas gabungan. Peserta kuliah lebih dari seratus orang. Tentu banyak di antara mereka yang tidak terlalu saling mengenal. Ruang yang luas, yang penuh dengan jejeran kursi, membuat jarak antara dosen dan mahasiswa jadi lebih lebar daripada biasanya, jadi sedikit lebih aman untuk menyelundupkan Ares menjadi mahasiswa palsu. Untuk mencegah terbongkarnya aksi gila-gilaan ini, Adisti mengajak Ares duduk di bangku paling belakang sambil berharap Bu Eni tidak mengenali si penyelundup ini.

Adisti mengirim pesan lewat Line ke Nafa dan Jon: Cepat ke ruang kuliah. Penting!

Pesan dari Adisti sukses membuat Nafa dan Jon tergesa-gesa masuk kelas. Nafa datang dengan napas terengah-engah. Rupanya, cewek itu lari pontang-panting setelah membaca pesan Adisti.

"Ada apa? Kenapa? Ada masalah apa?" katanya memberondong Adisti yang sudah duduk manis, sampai-sampai Ares yang duduk dengan topi dan kacamata minus luput dari perhatiannya.

"Lho, kok lo ngos-ngosan, sih?" Adisti heran.

"Gue joging dari rumah, nih. Kan lo ngirim Line, nyuruh gue cepet datang. Emergency!"

"Gue bilang penting, Darling. Bukan emergency."

"Yah, pokoknya itu, deh! Apa, sih, urusan yang mahapenting ini?"

"Tuh, Jon datang." Adisti mengangguk ke arah pintu kelas. Tampak Jon masuk dengan langkah-langkahnya yang panjang. "Biar sekalian aja gue jelasin."

Bruk! Jon menaruh ranselnya di sebelah Adisti, lalu duduk, meluruskan kakinya, dan melemparkan ekspresi bertanya kepada Adisti.

"Ehm .... Coba, lo kenal enggak sama dia?" Telunjuk Adisti mengarah kepada Ares yang duduk di sampingnya.

Kepala Nafa meneleng ke kanan dan kiri, mengamati cowok yang duduk dengan sedikit menunduk itu. Justru Jon yang mengenali lebih dulu.

"Ares? Ngapain lo di sini?" kata Jon dengan suara rendah.

"A-Ares?!" bisik Nafa agak keras.

"Ssst ..., jangan keras-keras, Na," cetus Adisti. Beberapa teman mereka sudah memasuki kelas. Adisti tidak mau keberadaan Ares diketahui. Bisa heboh. "Lo bisa ngenalin Ares, Jon?" Adisti heran, bahkan Adisti dan Nafa tidak bisa mengenali cowok itu.

Senyum angkuh Ares mengembang. Dia mendorong topinya, hingga wajahnya lebih jelas terlihat. Mata di balik kacamata bening itu menyipit. "Hebat, lo bisa ngenalin gue. Enggak nyangka diam-diam lo ngefans juga sama gue," katanya, ditujukan kepada Jon.

"Jangan ngomong sembarangan! Enggak ada yang ngefans sama lo!" sergah Jon, nyolot.

"Eh, jangan berantem, dong! Jadi, si Ares ini mau ikutan kuliah, Na. Lo sama Jon tolong duduk di depan kita, ya, bantuin tutupin Ares."

Jon kelihatan enggan terlibat dalam permainan ini. Enggak penting banget, pikirnya. Namun, karena Adisti yang meminta, dia tak sanggup menolak. Akhirnya, dia pindah duduk di depan Ares. Tubuh Jon yang tinggi lumayan menutupi Ares.

Seperti biasa, Bu Eni menerangkan dengan penuh semangat di depan kelas. Hanya beberapa deret mahasiswa yang duduk di deretan depan kelihatan mendengarkan dengan serius. Sesekali, mereka mencatat kata-kata Bu Eni atau keterangan yang terpampang di slide. Dari tempat Adisti duduk, terlihat lebih banyak mahasiswa yang tidak memperhatikan. Namun, mereka tidak berani ngobrol atau berisik. Paling-paling ada yang membaca buku atau komik. Banyak juga yang bermain ponsel.

Adisti melirik Ares. Cowok itu duduk tenang sambil memperhatikan. Jon tampak cuek, tak peduli dengan penumpang gelap di kelas ini, Nafa justru sebaliknya. Kelakuannya mengkhawatirkan. Cewek itu tidak bisa menahan rasa keponya. Berkali-kali dia menoleh ke belakang hanya untuk melihat Ares. Adisti takut lama-lama Bu Eni akan curiga jika Nafa terus-terusan begitu. Terus terang, belum pernah Adisti mengikuti kuliah dengan tegang plus jantung berdebar kencang seperti ini.

Adisti melirik jam yang melilit pergelangan tangannya. Dia mengembuskan napas lega. Lima menit lagi kuliah selesai. Aman.

Dia mengangkat wajah dan malah melihat pemandangan yang sangat horor. Bu Eni melangkah pelan ke arah tempat duduknya.

Dug ... dug ... dug .... Adisti seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Bu Eni semakin dekat. Aduh, matilah dia.

"Ares?"

Detak jantung Adisti nyaris berhenti mendengar Bu Eni mengucapkan nama Ares. Adisti menoleh, berganti-ganti antara Ares dan Bu Eni. Cowok itu menyibak poninya serta melepas kacamatanya.

"Pagi, Bu," katanya kalem.

"Kamu kan sudah lulus mata kuliah saya. Ngapain kamu ikut kelas ini?" Bu Eni menatap Ares dan Adisti dengan curiga, seakan mereka berdua punya rencana untuk menyabotase jam mengajarnya.

"Buat refresh, Bu. Karena saya lama enggak kuliah, jadi banyak pelajaran yang lupa." Ares memang pandai memainkan pesonanya. Jelas senyum dan wajah Ares mampu melunakkan kecurigaan Bu Eni. Beliau manggut-manggut mengerti, lalu berbalik pergi dan membubarkan kelas karena jam kuliah yang sudah berakhir.

Ares, Adisti, Nafa dan Jon bergegas, mengikuti langkah Bu Eni yang sudah duluan keluar. Setengah berlari, menghindar cepat dari teman-teman mahasiswa yang lain.

"Kenapa enggak bilang kalau lo mahasiswa Pinus juga?" Adisti langsung bertanya gemas begitu mereka berada di mobil Ares. Dia kesal membayangkan ketakutan tidak perlu yang dirasakannya sepanjang jam pelajaran Bu Eni tadi.

Cowok itu mengangkat bahu. "Lo enggak pernah nanya."

"Tapi, lo enggak pernah kelihatan di kampus," cetus Nafa ingin tahu.

"Yah, gitu, deh." Ares memakai topi dan kacamatanya. "Biasalah, sibuk syuting, jadi gue ngambil kelas online."

"Tapi, kok Bu Eni bisa ngenalin lo?"

"Tiap tugas akhir kan harus dikumpulin sendiri. Lagian anaknya fans gue."

"Emangnya sekarang lo semester berapa?" tanya Adisti, teringat bahwa tadi Bu Eni bilang cowok itu sudah lulus mata kuliahnya.

"Tinggal skripsi doang. Tapi, karena sibuk, ya itu skripsi enggak kelar-kelar."

Adisti menggeleng-geleng tidak mengerti dengan kelakuan cowok ini. "Bayar uang kuliah, dong, tiap semester?" Boros amat, sambung Adisti dalam hati

"Nyesel juga gue ngambil kelas online," ujar Ares, mengabaikan pertanyaan Adisti. "Gue pasti bakal rajin berangkat kuliah setiap hari, kalau bisa duduk di samping lo kayak tadi," lanjutnya santai dengan nada usil.

Nafa tertawa mendengar gombalan Ares, Jon memasang tampang mual, sedangkan Adisti merasa pipinya panas.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro