Bab 8: Serbuan Wartawan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gimana, Jon?" bisik Adisti. Padahal, sebenarnya dia tidak perlu berbisik. Hanya ada Adisti, Nafa, dan Jon di ruang tamu rumah kos. Bapak dan ibu pemilik kos sedang pergi keluar kota untuk menengok salah satu anak mereka yang baru melahirkan. Penghuni kos yang lain belum kelihatan satu pun, mereka masih terlelap pagi ini.

"Negatif," Jon yang sedang mengintip dari balik tirai menggeleng. "Enggak mungkin bisa kita menerobos wartawan sebanyak itu."

Jon sengaja datang pagi-pagi ke kos Adisti untuk menjemput dua sahabatnya itu dan berangkat kuliah bersama. Sejak wajahnya tayang di media sosial Ares, Adisti merasa lebih nyaman jika pergi bersama teman-temannya. Dia masih grogi berhadapan dengan wartawan, apalagi para pemburu berita itu bisa muncul sewaktu-waktu dari mana saja. Tidak kenal tempat dan waktu. Pernah, saat Adisti sedang membeli bubur di warung Supri, seorang wartawan yang menyamar menjadi pembeli mendadak menghampirinya. Bahkan, ada wartawan yang nekat nongkrong di samping pos satpam kampus. Dia menunggu Adisti lewat dengan kesabaran tingkat tinggi. Yang paling mengagetkan Adisti adalah wartawan yang muncul tiba-tiba dari ujung gang. Sampai saat ini, Adisti masih berhasil menghindar dari mereka. Namun, kian lama, wartawan yang memburunya kian banyak. Seperti pagi ini, puluhan wartawan bergerombol di pintu pagar rumah kosnya. Mereka menunggu Adisti keluar rumah untuk pergi kuliah.

Jawaban Jon membuat Adisti bangkit dari sofa dan ikut mengintip. "Apa ada jalan lain untuk keluar dari sini, Na? Jangan sampai kita terlambat ikut jadwal kuliah Bu Mitha."

"Ng ..., apa kita bolos kuliah aja?" usul Nafa

Adisti langsung menolak usul Nafa. "Ah, jangan, dong! Lo tahu sendiri Bu Mitha. Sekali bolos, bisa-bisa-bisa kita enggak boleh ikut ujian." Bagi Adisti, urusan pendidikan memang nomor satu. Dia selalu berusaha jadwal kuliahnya mulus tanpa gangguan, kecuali oleh hal-hal yang sangat penting. Kerumunan wartawan di depan sana jelas tidak termasuk kategori hal penting untuk Adisti. Benaknya bekerja keras mencari jalan untuk bisa menembus "kepungan" ini.

Nafa ikut mengintip. "Tapi, gimana caranya menembus kerumunan wartawan sebanyak itu? Bisa gepeng gue didesak-desak orang segitu banyak." Nafa menggeleng cepat, membuang bayangan mengerikan jika dirinya sampai berada di tengah-tengah kerumunan wartawan.

"Maaf, ya. Gara-gara gue, lo berdua jadi ikut kerepotan." Adisti terduduk lemas di sofa. "Lebih baik lo keluar duluan aja, deh. Mereka pasti mau memberi jalan. Nanti gue pikirin sendiri cara untuk keluar dari sini."

"Itu namanya enggak setia kawan. Masa kita ninggalin lo sendirian." Kali ini, giliran Jon yang tidak setuju. Dia melangkah menjauhi jendela, lalu duduk di depan Adisti.

"Tapi, lebih kacau kalau kita bertiga enggak kuliah."

Klik. Nafa menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya. "Kita telepon Ares aja, pinjam bodyguard. Urusan menembus kerumunan segitu pasti gampang buat mereka."

"Iya, sih." Jon mengangguk. "Tapi, pas bodyguard Ares sampai sini, jam kuliah Bu Mitha udah selesai."

Adisti menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Think! Think, Adisti! serunya dalam hati. Dan ..., "Gue ada akal. Gimana kalau kita lewat jalan belakang?"

Nafa menggeleng. "Adisti, lo lupa, ya? Pagar belakang rumah ini kan tembok. Enggak ada pintunya dan kita bukan mahluk halus atau manusia sakti yang bisa berjalan nembus tembok."

"Enggak perlu jadi manusia sakti buat menembus tembok, Nafa. Kita panjat tembok itu pakai tangga aluminium yang ada di gudang."

Jon segera berdiri, menyambut usul Adisti. "Ayo! Tunggu apa lagi?" Jon menyambar ranselnya. Adisti dan Nafa segera berlari ke gudang tempat menyimpan macam-macam barang. Jos mengangkat tangga aluminium dan meletakkannya rapat ke tembok pagar belakang rumah setinggi dua meter itu. Dia mengguncang tangga itu dua kali untuk menguji apakah posisinya sudah cukup kuat menopang mereka "Udah siap? Siapa yang naik duluan?"

"Gue aja," Nafa mengajukan diri. "Kemungkinannya kecil, sih, ada wartawan yang nekat nunggu di balik tembok gini. Tapi, gue lihat situasi dulu. Kalau semua aman, baru Adisti naik."

Jon dan Adisti mengangguk setuju dengan pendapat Nafa.

"Pegang yang kuat, Jon. Awas kalau sampai gue jatuh,"

"Iyaaa ...," kata Jon sambil tersenyum-senyum jail. Senyumnya baru berubah menjadi ekspresi serius saat Nafa melirik galak.

Dengan hati-hati, Nafa meniti anak tangga satu per satu. Lalu, dia mengintip. Gang sempit di balik pagar itu masih sepi. Tidak terlihat orang yang lewat. Memang, jalanan di belakang rumah kos itu lebih mirip jalan alternatif yang hanya digunakan saat orang ingin memotong jalan dan menghemat waktu tempuh. Hup, Nafa kini duduk di atas pagar tembok.

"Aman." Nafa mengacungkan jempolnya.

Jon dan Adisti berpandangan dengan sorot mata gembira. "Bagus!" bisik Jon.

"Jon," panggil Nafa dengan suara rendah.

"Ya?"

"Gimana turunnya?"

"Apa?" Jon tertawa pelan melihat wajah Nafa yang tampak kebingungan.

"Jon, gue serius. Angkat tangganya ke seberang. Gue mau turun."

"Gila, mana bisa angkut-angkut tangga gitu."

"Terus, gimana gue turunnya?" tanya Nafa lagi dengan panik.

"Lompat!" seru Adisti dengan suara tertahan.

"Lompat?" Pandangan Nafa tampak nanar. "Ini berapa meter? Nanti kaki gue patah."

"Enggak sampai dua meter, Nafa," Jon memberi semangat. "Lompat aja."

"Serius?"

Kompak, Adisti dan Jon mengangguk. Nafa memandang tanah di bawahnya. Tampak jauh sekali dari tempat dia duduk. Nafa menelan ludah. Sekali lagi, dia melirik ke arah dua sahabatnya. Adisti mengepalkan dua tangannya di dada, mengirimkan keberanian kepada Nafa. Nafa memejamkan matanya sebentar. Membulatkan niat, lalu hup, dia melompat. Bruk!!! Dalam sekejap, tubuh Nafa menghilang di balik tembok. Hening.

"Nafa! Nafa!" Adisti berbisik keras. Wajahnya tampak cemas.

Jon jadi ikut-ikutan khawatir. "Nafa!" Jon memanggil.

"Oke, gue enggak pa-pa." Terdengar sahutan dari balik tembok. Adisti dan Jon berpandangan lega. Selanjutnya, Adisti memanjat tangga dengan cepat. Dia tidak punya masalah dalam panjat-memanjat. Bahkan, salah satu hobinya adalah menikmati pemandangan dari ketinggian. Dengan cekatan, dia melangkahkan kakinya hinga duduk di atas tembok. Dia bisa melihat Nafa berdiri rapat ke tembok. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri dengan tatapan waspada, seperti tentara yang sedang berjaga-jaga mengintai lawan yang akan menyerang.

Adisti melompat dan mendarat mulus dengan dua kakinya. Dia mengayunkan telapak tangannya yang disambut Nafa dengan semangat. Tos! Lalu, keduanya mendongak. Jon sudah duduk di atas tembok. Tanpa kesulitan, cowok itu juga melompat turun.

Jon tersenyum lebar, lalu membetulkan posisi ranselnya, "Ayo," katanya, memberi komando. Bertiga mereka berjalan cepat, tetapi tidak terlalu cepat agar tidak membangkitkan kecurigaan. Saat melintasi ujung jalan, mereka bisa melihat wartawan yang mengerumuni rumah kos bertambah banyak. Adisti langsung berjalan ngebut, meninggalkan Jon dan Nafa yang masih penasaran, melirik-lirik kepo ke arah wartawan-wartawan itu.

***

Kampus adalah tempat perlindungan bagi Adisti. Sejak peristiwa kehebohan yang disebabkan oleh Ares, pihak kampus sudah mengambil langkah tegas. Petugas keamanan dikerahkan untuk meningkatkan penjagaan. Mereka wajib menghalangi orang-orang yang tidak berkepentingan dan bisa menyebabkan keributan masuk ke area kampus.

Sikap para mahasiswa di sini juga cukup bisa diterima. Tidak ada yang terang-terangan bertanya soal Ares. Yang sering Adisti rasakan adalah pandangan penuh rasa ingin tahu dari rekan-rekan mahasiswa lainnya. Tidak parah, tetapi cukup mengganggu. Itulah alasannya Adisti menghindari tempat-tempat keramaian seperti kantin.

Begitu jam kuliah berakhir dan dosen melangkahkan kakinya keluar kelas, hampir seluruh mahasiswa juga keluar ruangan. Hanya Adisti, Jon dan Nafa yang masih bertahan di dalam.

"Kayaknya lo enggak bisa begini terus, deh, Dis ...," Jon berkata dengan nada prihatin. Dia meluruskan kakinya yang pegal karena duduk di kursi kuliah berukuran minimalis dan tersambung dengan meja imut ini.

"Maksud lo soal wartawan?"

Jon mengangguk. "Sampai kapan mau kucing-kucingan terus sama mereka? Wartawan makin penasaran dan lo makin enggak nyaman."

"Iya, sih .... Masalahnya, gue enggak mau salah ngomong. Jangan sampai skenario ini rusak gara-gara gue salah komentar."

"Kalau gitu, mending lo ngobrol, deh, sama Ares. Apa yang pas untuk menjawab pertanyaan wartawan. Atau, kalian udah ada rencara untuk konferensi pers?"

"Belum ada jadwal, sih. Harusnya dalam waktu dekat ini. Gue bakal telepon Ares segera, deh."

"Aduh, ngobrol seriusnya nanti aja, deh," potong Nafa. "Lapar, nih. Ke kantin, yuk!"

"Sori, Na. Gue mau ke perpustakaan aja," Adisti menukas sambil memasukkan buku dan alat-alat tulisnya ke tas.

"Oh, iya, lo males ke kantin, ya ...?" Nafa memahami keengganan Adisti. "Tapi, emang lo enggak lapar? Udah jam makan siang, nih."

"Ntar gue mau beli minuman cokelat sama roti aja di kafe depan perpus."

"Masa makan siang cuma roti? Mana kenyang! Enggak nendang!"

"Tenang aja, Na. Perut gue fleksibel. Diisi nasi soto muat, dikasih roti juga cukup."

"Gue juga ikut ke perpus, deh!" Jon menimpali.

"Yah, lo juga ikutan mau makan siang roti, Jon? Oke, deh. Mau gue beliin makanan dari kantin? Soto ayam atau gulai daging?"

"Gila, gimana caranya makan soto ayam di perpus?" Adisti tertawa kecil, membayangkan ide Nafa. "Nanti ketahuan Bu Ella bisa di-blacklist gue dari perpus."

Nafa ikut tertawa. "Ya udah, nanti gue coba selundupin gorengan sama kue cubit. Lumayan buat tambahan ngeganjel perut."

Bertiga, mereka beranjak keluar kelas dan berjalan beriringan. Kantin dan perpustakaan memang satu arah. Setelah melewati koridor utama, baru ada persimpangan. Ke perpustakaan belok kiri, ke kantin belok kanan.

"Hai, Adisti, ya?" Seorang cewek tiba-tiba menyapa dengan nada superramah. Bibirnya tersenyum lebar dan matanya berbinar, seakan dia sahabat lama Adisti yang begitu gembira karena bisa bertemu setelah lama tak berjumpa. Wajah manis cewek itu dipulas make-up tipis. Rambutnya yang hitam dan ikal diikat jadi satu. Dia mengenakan celana jins dan kemeja, mirip penampilan kebanyakan mahasiswi di kampus ini. Di sebelahnya, berdiri cowok tinggi dengan postur tegap. Ransel di punggung cowok itu tampak penuh.

"Iya," Adisti menjawab ragu. Keningnya sedikit berkerut. Dia mencoba mengingat-ingat siapa gerangan cewek ini. Mungkin teman SMA? Ah, bukan. Ingatan Adisti mundur beberapa tahun lagi. SMP, atau bahkan SD? Sayang, Adisti tidak bisa menemukan wajah ini dalam ingatannya. "Siapa, ya? Maaf aku lupa."

"Kamu enggak lupa, kok." Cewek itu menggeleng kencang hingga kucir rambutnya bergoyang ke kiri dan kanan. "Kita emang belum pernah ketemu." Senyum tidak lepas dari bibirnya.

"Oh." Stranger. Adisti mulai waspada. Dia melirik Jon dan Nafa. Kedua sahabatnya itu juga bertukar pandang.

"Saya Mariane." Cewek itu mengulurkan tangannya, lalu menjabat erat tangan Adisti, Jon, dan Nafa bergantian. "Ini Matt, partnerku. Boleh kita minta waktu kamu sebentar?" katanya lagi, masih dengan senyum lebar.

"Ng ..., mengenai apa, ya?" Adisti tidak yakin dengan maksud kedatangan cewek ini.

"Kami dari TV Bestmedia. Ingin wawancara soal hubungan kamu dan Ares."

"Oh." Gelombang panik menyerang Adisti. Tiba-tiba, napasnya sesak dan tatapannya berubah nanar. "Kalau soal itu, no comment. Hubungi saja manajemen saya di Superstar Agency." Dia melirik Jon yang memasang wajah tanpa ekspresi, sementara Nafa sibuk merapikan rambutnya.

"Yaaah ..., sebentar aja, Dis," katanya sok akrab. "Komentar singkat aja, deh," cewek itu mendesak.

"Maaf, ya, Mbak. Saya enggak bisa." Dia buru-buru melangkah pergi. Jon dan Nafa mengikuti.

Adisti menoleh ke belakang dan bersyukur wartawan itu hanya berdiri sambil berkacak pinggang, tidak nekat mengejar. Dia harus menghubungi Ares. Serius. Setelah begitu banyak wartawan berkumpul di depan rumahnya, hingga dia nyaris tidak bisa keluar rumah, kini sudah ada wartawan yang nekat masuk ke kampus.

"Yah, kok enggak jadi wawancara, sih, Dis?' protes Nafa. "Batal, deh, gue tampil di TV."

"Nafa!" tegur Jon.

"Bercanda, Jon."

***

Perpustaan Universitas Pinus punya koleksi buku yang lengkap. Selain buku-buku referensi yang diperlukan para mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, di perpustakaan ini juga menyediakan beragam novel dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Gedung tiga lantai itu ditata dengan modern. Rak-rak buku berwarna-warni berjejer rapi. Beberapa komputer tersedia untuk digunakan para mahasiswa. Di sudut belakang, tersedia karpet tebal dengan bantal-bantal besar. Bisa digunakan untuk membaca sambil berbaring santai.

Di halaman perpustakaan, tersedia beberapa meja dan kursi untuk mahasiswa yang ingin duduk-duduk. Untuk mengobati rasa haus atau lapar, tersedia konter yang menjual minuman bobba kekinian dan beragam makanan ringan. Jon dan Nafa sedang mengantre untuk membeli camilan, sementara Adisti berdiri sedikit menjauh. Dikeluarkannya ponsel dan segera menekan nomor Ares. Tidak diangkat. Adisti mencoba sekali lagi. Baru pada usaha ketiga, teleponnya mendapatkan respons.

"Ada apa, Dis?" Jawaban Ares terdengar ketus. "Aku lagi meeting."

Cowok itu memang seperti memiliki dua kepribadian. Terkadang manis, lebih sering lagi judes. Suka-suka dia kepribadian mana yang ingin dikeluarkan. Untung saja sekarang Adisti sudah tabah menghadapi sikap cowok itu.

"Tadi banyak banget wartawan berkumpul di depan kosku," Adisti berkata cepat. "Aku sampai susah pergi kuliah—"

"Terus ...?" potong Ares dengan nada tidak sabar. Mungkin bagi cowok itu wartawan adalah teman baik, yang bisa muncul kapan saja. Tidak ada yang aneh hingga Adisti perlu laporan kepadanya.

"Ada satu wartawan lagi yang menyelundup ke kampus, Dia minta wawancara soal ... eh ...." Adisti bingung mencari kata-kata.

"Soal hubungan kita?"

"Iya."

"Ya kamu jawab aja pertanyaannya sesuai skenario yang udah dibuat Mas Berto."

"Ng ..., tadi aku tolak, sih, permintaan wawancaranya."

"Aduh, Adisti, kenapa ditolak?" Ares bertanya gusar. "Wawancara itu salah satu jalan untuk menaikkan nama kita. Kamu enggak kasar, 'kan, nolaknya?" Tanpa menunggu jawaban Adisti, Ares melanjutkan kata-katanya. "Ingat, kita harus menjaga hubungan baik dengan wartawan. Mereka itu mitra artis. Sekali kamu berbuat kasar dengan wartawan, bisa habis kamu," cerocos Ares panjang lebar.

"Iya, sori." Adisti jadi merasa bersalah. "Tadi gue kaget ditodong gitu. Takut salah jawab. Tenang aja. Gue nolaknya baik-baik, kok." Dalam hati, Adisti berharap penolakannya tadi masih termasuk baik di mata wartawan itu.

"Lo enggak mungkin salah jawab. Kalaupun salah, kan gampang, nanti tinggal diralat. Bilang aja lupa kalau lo enggak tahu jawabannya. Lain kali, terima kalau ada permintaan wawancara. Gue sibuk, enggak selalu bisa melayani permintaan wawancara. Lo bisa bantu supaya proyek love scenario ini bisa cepat beres." Klik. Telepon terputus.

Adisti merasa kesal. Maksud hati menelepon Ares untuk minta dukungan, malah dimarahi. Baik, memang tidak ada yang bisa diandalkan pada saat-saat seperti ini selain diri sendiri.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro