Bab 9: Ucapannya Bisa Membuat Cewek Berdebar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Sejujurnya, Noura merasa sedang berada di tengah sekte pemuja setan.

Serius.

Dengan langit malam yang gelapnya minta ampun tanpa satu titik cahaya bintang, sorot temaram dari lampu outdoor yang sangat tidak membantu penerangan, dan teriakan-teriakan dari ketua BEM Fakultas Teknik di tengah lapangan, semua orang yang melihat ini pasti akan mengira bahwa mereka sedang menghadiri pemujaan setan. Dengarkan saja. Sambil berdiri di tengah lapangan, Anto yang merupakan ketua BEM Teknik berseru lantang.

"Tekniiik!"

Lalu, mahasiswa-mahasiswa baru yang duduk berbaris mengitari lapangan membalas dengan suara lantang. "Jaya! Jaya! Jaya!"

"Kurang keras!" Suara-suara lain ikut berteriak. "Kalian capek? Begini aja capek? Baru kuliah seminggu aja udah capek?"

Tidak ada yang berani menjawab kecuali semilir angin malam menggesek dedaunan.

"Sekali lagi. Tekniiik!" Anto kembali berseru sambil mengepalkan tangan ke atas seperti ingin meninju langit.

Kali ini, barisan mahasiswa baru kembali menyahut. Bedanya, seruan Jaya! Jaya! Jaya! yang dilontarkan dari bibir-bibir mengerut setengah kesal itu lebih lantang hingga rasanya tanah bergemuruh.

Setelah puas dengan reaksi para mahasiswa baru, Anto mengangguk. "Selamat datang di Teknik, angkatan 2019. Selamat karena telah merasakan pengalaman sebagai mahasiswa selama seminggu ini. Saya Anto, ketua BEM Fakultas Teknik ...."

Noura menguap lebar. Dia benar-benar mengantuk. Bukannya tidak menghargai ketua BEM-nya berbicara, hanya saja mengadakan acara penyambutan mahasiswa baru Teknik pukul delapan malam sangat keterlaluan. Apa lagi seharian ini jadwal kelas Noura penuh sehingga dia merasa sangat capek. Yang lebih buruk? Acara penyambutan ini telat setengah jam, membuat Noura harus menunggu semakin lama saja untuk bertemu kekasih setianya: kasur.

Noura menguap sekali lagi, kali ini lebih lebar. Dia piker, karena barisan mahasiswa baru Elektro berada di bawah pohon, maka tidak ada seorang pun yang akan menyadarinya menguap selebar itu. Namun, ketika suara yang dihafalnya itu berbisik, Noura tahu dia salah.

"Jangan nguap lebar-lebar, Nou. Nanti setannya tambah banyak."

Permisi. Maksudnya apa, ya? Cowok itu mengatai dirinya dirasuki banyak setan, begitu?

Noura melirik sosok tidak jelas yang berdiri di sampingnya. Dari posisi duduknya, sosok itu terlihat sangat tinggi menjulang seperti tiang listrik. Meski wajah Devan tidak jelas-jelas amat karena penerangan lapangan yang kurang, Noura yakin seratus persen bahwa itu adalah Devan. Selain tidak ada yang akan berkomentar seperti itu kepadanya kecuali Devan, sejak upacara penyambutan dimulai cowok itu selalu mondar-mandir dengan wajah galak untuk mengawasi mahasiswa baru, termasuk Noura.

Pura-pura tidak dengar saja.

Noura mengabaikan komentar Devan dan berusaha memusatkan diri pada kalimat-kalimat Anto. Namun, sekuat apa pun dia mencoba, Noura tidak bisa mengenyahkan rasa kantuknya. Cewek itu menopangkan dagu. Alasannya supaya terlihat mendengarkan padahal memejamkan mata. Toh, jika mulut Devan tidak ember, maka dia tidak akan tertangkap. Sebentar saja ....

"Kalau begini, sama aja babu, dong?"

Colekan di lengan Noura berhasil membuatnya membuka mata. Cewek itu mengerjap-ngerjap sambil berusaha mengetahui siapa yang baru saja mengajaknya bicara di tengah tidur yang khusyuk.

"Maksudnya gimana?" balas Noura tanpa menutupi suara mengantuknya.

Mahasiswa yang duduk di sebelah Noura, Abri, berdecak. "Tadi, kata ketua BEM, akhir pekan kita disuruh datang ke kampus untuk Program Cinta Lingkungan Masyarakat. Enggak dikasih tahu suruh ngapain, tapi firasat gue bilang kalau kita bakal jadi babu."

Tunggu. Kesadaran Noura belum kembali seutuhnya. Cewek itu meminta Abri untuk mengulang potongan informasi yang tidak didapatnya karena tertidur sebentar.

"Gimana? Akhir pekan kapan?"

Abri mencibir. "Lo tidur, ya? Besok. Besok kita disuruh ke Teknik buat jadi babu."

Babu? Kenapa Program Cinta Lingkungan Masyarakat sama dengan menjadi babu?

***

Katanya, Program Cinta Lingkungan Masyarakat merupakan salah satu bagian dari kegiatan mahasiswa baru teknik. Katanya lagi, Program Cinta Lingkungan Masyarakat wajib dilakukan karena akan membantu mahasiswa baru untuk lebih peka terhadap lingkungan dan masyarakat. Namun, kenyataannya, Program Cinta Lingkungan Masyarakat persis seperti deskripsi Abri semalam.

"Seperti yang sudah gue sebutkan semalam, Program Cinta Lingkungan Masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan kepekaan kita terhadap lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, hari ini kita memiliki empat agenda yang akan dibagi." Anto, sang ketua BEM, bicara dari depan lapangan tempat mahasiswa-mahasiswa baru berbaris sesuai jurusan di akhir pekan yang cerah ini.

"Empat agenda itu adalah membantu masyarakat sekitar untuk membersihkan sungai, sosialisasi membuang sampah pada tempatnya, membantu penyediaan tempat sampah umum, dan renovasi sekolah PINUS," lanjut Anto.

Noura mengerut bingung. Di tengah barisan mahasiswa baru elektro, dia mencolek Putri yang berbaris di sampingnya. "Emangnya ada sungai?" bisik Noura tepat di telinga temannya.

Putri balas membisik. "Ada. Di belakang Fakultas Teknik ada sungai kecil dan jorok gitu, banyak sampah. Jarak sungai ke Teknik agak jauh, sih, makanya kalau musim hujan, PINUS enggak ikut banjir. Secara, tanah kampus kita juga lebih tinggi dari perkampungan itu."

Mendengar penjelasan Putri, Noura mengangguk-angguk sok mengerti.

Anto kembali membuka mulut. "Agenda-agenda ini akan dibagikan tidak berdasarkan jurusan kalian. Jadi, belum tentu yang melakukan sosialisasi membuang sampah di tempatnya hanya untuk anak Arsitektur saja, atau membersihkan sungai hanya untuk anak Mesin aja. Kalian enggak akan bekerja dengan cara itu. Satu tugas akan dilakukan bersama dari semua jurusan. Mengerti?"

Mahasiswa baru termasuk Noura mengangguk penuh semangat.

"Untuk pembersihan sungai akan dibantu senior kalian dari Teknik Lingkungan. Alat-alat yang diperlukan juga sudah disiapkan sehingga kalian tidak perlu menyiapkan apa pun. Untuk agenda penyediaan tempat sampah umum, kalian akan membuat tempat-tempat sampah dari tong-tong bekas dan dihias semenarik mungkin. Tugas kalian yang ini akan dibantu senior kalian dari Arsitektur. Untuk tugas sosialisasi membuang sampah di tempatnya, kalian harus berkeliling di beberapa titik yang telah ditentukan dan memastikan masyarakat sekitar memahami fungsi membuang sampah di tempatnya. Sedangkan tugas terakhir, renovasi sekolah PINUS, akan dijelaskan teman gue, Devan, dari Elektro."

Mendengar nama Devan, barisan cewek-cewek Arsitektur mulai memekik senang. Noura sampai harus menjulurkan leher saking penasarannya. Kenapa mereka heboh banget mendengar nama Devan?

Devan menggantikan posisi Anto di depan lapangan. "Kenalin, nama gue Devan dari Elektro. Gue perwakilan dari organisasi sosial kampus kita, Sekolah PINUS. Kalau kalian ingat, saat pameran Unit Kegiatan Mahasiswa beberapa waktu lalu ada satu booth namanya Sekolah PINUS. Organisasi ini sebenarnya enggak termasuk UKM maupun organsisasi mana pun, tapi Sekolah PINUS tetap dianggap organisasi independen. Jadi, bisa dibilang Sekolah PINUS adalah organisasi khusus yang udah disetujui rektor kita.

"Sekolah PINUS bertujuan untuk mengajarkan anak-anak kurang mampu, khususnya anak jalanan maupun anak pemulung yang tidak mendapatkan kesempatan bersekolah. Di sini, kami menyediakan tempat bagi mereka untuk belajar. Tapi, kondisi Sekolah PINUS saat ini memang memprihatinkan. Bangunannya tidak bisa digunakan lagi sehingga kami minta bantuan kalian untuk merenovasi Sekolah PINUS. Kalian enggak perlu jalan jauh-jauh karena jaraknya deket dari kampus. Enggak perlu cari bahan-bahan juga karena udah disediakan." Devan diam sebentar seolah memberikan waktu bagi mahasiswa baru untuk menyerap informasi tersebut.

Beberapa dari mahasiswa baru mengangguk-angguk tanda mengerti, sisanya pura-pura tidak mendengar agar tidak terpilih merenovasi sekolah. Bukan apa-apa, tetapi Noura sangat mengerti perasaan mereka. Sudah terbayang akan sesulit apa pekerjaan itu. Mengangkat kayu, memalu paku, hingga mengganti genting bocor. Jika hanya diminta mengecat tembok atau pekerjaan lainnya masih mending, kalau tidak? Bisa encok punggung Noura.

Dengan tekad kuat agar tidak bertemu pandang dengan Devan, Noura menatap ujung sepatunya. Tahu, 'kan, cowok itu suka iseng? Bisa-bisa Noura terpilih. Lagi.

Namun, sayang seribu sayang, keberuntungan memang tidak berpihak pada Noura. Devan berjalan mendekati mahasiswa baru Elektro dan berdiri tepat di depan barisan cewek itu.

"Barisan lo maju," kata Devan sambil menepuk teman Noura yang berada di baris terdepan. Lalu, cowok itu berjalan ke barisan-barisan mahasiswa jurusan lain dan menunjuk baris-baris lainnya persis seperti yang dia lakukan kepada barisan Noura.

Setelah semua barisan yang ditunjuk Devan berkumpul di depan lapangan, cowok itu berkata lantang, "Kalian akan ikut gue merenovasi Sekolah PINUS. Sisanya akan ditentukan Anto."

Wajah Noura mendadak pucat. Dia melirik barisan yang dipilih Devan dan hanya menemukan dua orang cewek selain dirinya yang ditugaskan untuk merenovasi Sekolah PINUS. Sisanya adalah cowok-cowok Teknik.

"Kalian," kata Devan sambil menunjuk barisan mahasiswa yang sudah dia kumpulkan di depan lapangan, "ikut gue."

Dengan langkah berat, Noura mengikut Devan. Sambil menjauhi lapangan Teknik, Noura menangkap cengiran kuda Yudha yang ikut mengawasi mahasiswa baru lain yang berbaris di lapangan.

Kenapa seniornya yang satu itu cengar-cengir, sih?

***

Sudah Noura prediksi. Merenovasi bangunan itu sulitnya minta ampun. Apalagi Sekolah PINUS dibangun di atas tempat pembuangan sampah yang tidak bisa dikatakan layak untuk dijadikan tempat pembangunan. Katanya, alasan Sekolah PINUS dibangun di sana adalah karena anak-anak yang akan diajar juga tinggal di tempat pembuangan sampah tersebut sehingga jarak rumah ke Sekolah PINUS dekat. Namun, bukannya keterlaluan jika membangun sekolah di tempat seperti itu, ya? Bau busuk menguar dari setiap sudut dan membuat Noura mual. Anehnya, meski Noura berusaha bertahan dengan bau itu, semua warga sekitar terlihat menikmati udara yang tercemar. Bahkan, banyak di antara mereka yang tertawa-tawa meski gundukan sampah menggunung di depan mata.

Yang lebih membuat Noura tidak habis pikir, banyaknya jumlah cowok dan senior Teknik Sipil yang membantu pembangunan Sekolah PINUS seakan tidak terlalu membantu. Noura tetap merasa kesulitan, apalagi cewek itu sering dibentak Devan.

"Sarung tangan lo dipakai, Nou!"

Tuh, kan. Lagi-lagi Noura dibentak. Kali ini dengan alasan Noura lupa menggunakan sarung tangan saat membantu menggotong kayu-kayu. Kemarahan Devan memang beralasan. Karena detik berikutnya, saat cewek itu meletakkan kayu di atas tanah untuk memakai sarung tangan yang diberikan Devan sebelum ke sini, tangannya tergores paku kecil yang tertancap di kayu tersebut. Noura tidak tahu dari mana paku itu berasal karena dia bersumpah belum memaku apa pun, tetapi tangannya terluka sampai mengeluarkan darah.

Tentu saja Devan menyaksikan kecerobohan Noura. Cowok itu berdecak panjang sebelum berteriak, "Bersihin luka lo sana! Jangan dekat-dekat sini lagi!"

Semua orang yang berada di lokasi merasa kaget dengan pengusiran cewek itu, termasuk Noura. Dengan menahan tangis, Noura pergi menuju satu-satunya sumber air bersih terdekat, yaitu masjid yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Setelah membersihkan lukanya, salah satu mahasiswi baru yang juga ditugaskan untuk merenovasi Sekolah PINUS menghampiri Noura.

"Udah bersih luka lo?" Anya, cewek itu, bertanya.

Noura mengangguk, sedangkan Anya menatap iba. "Sekarang enggak ada plester. Lo mau gue temenin beli di minimarket depan? Atau nunggu aja?"

Seingat Noura, jarak minimarket ke tempatnya saat ini cukup jauh. Cewek itu menggeleng. "Enggak usah. Nanti aja sekalian pulang."

Anya mengangguk. "Lo mau balik lagi?"

Awalnya Noura ragu. Jika dia kembali ke sana, maka dia akan bertemu Devan dan mendengar bentakan cowok itu lagi. Jika dia tidak melakukannya, maka dirinya akan merasa kalah dari Devan. Bisa-bisa cowok itu mengejeknya cengeng dan bermental lemah. Jadi, jawabannya?

Tentu saja kembali.

Akan Noura tunjukkan siapa yang lemah.

***

Sisa hari itu berjalan cukup lancar. Setelah balik dari membersihkan luka, Noura diminta mengerjakan tugas yang berbeda. Bersama dua cewek lainnya, mereka ditugaskan untuk mengecat pagar kayu setinggi pinggang yang sudah dipasang di sekitar Sekolah PINUS.

Sekarang, ketika Sekolah PINUS hampir rampung dan gerombolan mahasiswa yang merenovasinya berjalan pulang ke kampus sebelum matahari terbenam, Devan menarik tangan Noura.

"Apa, sih?" tanya Noura ketus. Kekesalan tadi siang masih bercokol di tenggorokannya. Pokoknya Noura masih kesal kepada Devan!

"Mana tangan yang luka?"

Noura menolak menjawab. Cowok itu mau mengejeknya, ya?

Karena Noura memilih bergeming, Devan berdecak dan mengecek kedua tangan Noura. Ketika menemukan luka yang dimaksud di tangan kiri Noura, cowok itu menghela napas. Namun, yang mengejutkan adalah, Devan membuka botol air mineral sebelum menumpahkannya ke luka di tangan Noura.

"Ih! Lepasin!"

Pegangan Devan di tangan Noura cukup kuat sehingga cewek itu tidak bisa mengelak.

"Diam dulu, Nou. Jangan kayak enggak pernah dipegang tangannya sama cowok ganteng, deh."

A-apa?!

Benar-benar kurang ajar mulut Devan. Noura nyaris memuntahkan sumpah serapah ketika cowok itu lalu mengelap tangannya yang basah dengan tisu. Setelah tangan Noura kering, Devan memasang plester di atas lukanya.

Jadi, cowok itu dari tadi punya plester, ya? Dan, tidak bilang-bilang, begitu?

"Lo dari tadi bawa-bawa plester?" tanya Noura sinis.

"Enggak. Tadi lewat minimarket dan beli."

Mulut Noura membulat. Cewek itu juga merasa sedikit bersalah karena telah berprasangka buruk. Awalnya, dia hendak membeli plester begitu mereka bertemu minimarket, tetapi entah kenapa dia mendadak lupa. Untungnya Devan ingat, meskipun tidak ada yang memintanya untuk mengingat, sih.

Setelah luka Noura selesai ditutup plester, Devan meniupnya. Tindakan itu sangat sia-sia, tetapi Noura ingat bahwa Devan selalu melakukannya setiap kali mengobati luka di lutut Noura akibat jatuh dari sepeda bertahun-tahun lalu. Kata Devan, meniup luka yang sudah ditutup plester sama saja dengan memberi mantra agar lukanya cepat sembuh. Tidak disangka, sampai sudah besar pun Devan masih melakukannya.

"Lukanya belum dikasih antiseptik karena enggak ada di minimarket. Begitu sampai rumah langsung bersihin lagi, ya," kata Devan.

Noura mengangguk. Matanya menatap wajah Devan yang menunduk menatap plester di tangannya. Hanya perasaannya saja atau bukan, tetapi kenapa wajah Devan terlihat melembut? Apalagi ketika jemarinya mengelus permukaan plester di tangan Noura sambil menghela napas.

"Lo ceroboh banget, sih, Nou," cowok itu bergumam.

Di bawah langit oranye, suara pelan Devan nyaris tidak terdengar. Namun, kenapa lirihannya berhasil menabuh jantung Noura?[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro