Bab 22: As You Like It

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I am that he.
That unfortunate he."



"Ini dia orangnya!" Ema berteriak, nyaris histeris ketika Kian terlihat baru saja memarkirkan motornya di halaman luas kos Vidya. Dia dan rekan-rekannya yang lain segera menyongsong Kian dan cepat-cepat menariknya ke ruang tamu. Kian didudukkan, lantas Desva mengacungkan tinggi-tinggi riasnya dan tanpa permisi membubuhi wajah Kian dengan bedak hingga cowok itu terbatuk.

"Pelan-pelan, Des."

"Iya, maaf. Lagian lo kemana aja, sih? Anak-anak pada heboh nyariin. Kita dah mau tampil."

Kian terdiam. Dia dapat melihat kesibukan anak-anak kelompoknya dengan begitu jelas di depan mata. Ema tampak memasukkan kostum-kostum yang akan dipakai nanti ke sebuah tas besar. Wila sedang merias anak-anak figuran, dan Vidya sendiri, pemeran Rosalind dalam play yang akan mereka pentaskan, sedang bolak-balik menghafal dialognya yang tidak bisa dibilang sedikit.

Betapa dia telah egois meninggalkan mereka semua hanya karena patah hatinya.

"Untung lo ganteng, jadi enggak perlu banyak make-up," desis Desva, menutup kotak ajaibnya. "Cepet ganti baju sana. Kita berangkat ke kampus."

Kampus PINUS dan kos Vidya tidak berjarak jauh. Nyatanya, tempat tinggal Vidya adalah yang terdekat sehingga terpilih menjadi sarang kelompok mereka untuk sementara. Dalam lima belas menit, mereka sudah mengangkut seluruh properti ke dalam gedung aula Fakultas Sastra. Kelompok lain sudah datang seluruhnya, memadati bagian panggung dan kursi-kursi depan untuk menonton. Sebagian besar telah memakai kostum mereka sendiri, sebagian yang lain masih sibuk berdebat dengan kelompoknya, dan sebagian lain yang duduk santai menunggu, kemungkinan besar bukan berasal dari Jurusan Sastra Inggris. Siapa saja, dari fakultas mana saja, boleh menonton mereka.

Miss Carla, dosen mata kuliah ini telah duduk di kursi kebesarannya di bawah panggung, paling depan. Beliau sedang menata absen ketika Ema menyerahkan keseluruhan skrip play kelompok Kian. Penampilan akan diundi segera untuk menentukan kelompok mana di kelas itu yang akan tampil pertama. Dan, bohong rasanya jika Kian tidak merasa gugup sama sekali.

Penampilan itu berjalan lancar-lancar saja, awalnya. Dimulai dari pelarian Celia bersama Rosalind menuju Arden dengan Rosalind yang menyamar sebagai seorang laki-laki, ditemani seorang badut yang diperankan seorang mahasiswa pendiam di kelas, Tomy, kalau tidak salah namanya. Kian muncul pada scene-scene berikutnya, mengenakan topi quaker-nya, berdialog dengan saudara-saudara yang membencinya. Lalu, kisah pertemuannya dengan Rosalind pun dimulai. Adegan demi adegan. Mereka menghabiskan lebih dari setengah semester menyiapkan ini, dengan membabat dialog-dialog Old English yang terlalu sukar dimengerti, sukar dihafal.

"Fair youth, I would I could make thee believe I love," Kian bergumam, sendu. Dia menatap Vidya di hadapannya, berusaha keras hanya menatap cewek itu dan bukannya ke mana-mana. Bukannya mencari keberadaan seseorang yang tidak mungkin datang.

"Me believe it!" Vidya memiliki suara yang halus dan manis, bahkan saat dia menaikkan nada dengan wajah semringah seperti sekarang, bahkan dengan dia yang memakai kostum anak laki-laki seperti sekarang. Sedikit tidak cocok, tetapi Vidya satu-satunya yang fasih dalam bahasa Inggris dan berakting sekaligus, selain karena dia juga cantik.

Cewek itu menyatukan kedua tangannya di depan dada, kemudian melanjutkan, "You may as soon make her believe it, which, I warrant, she is apter to do than to confess she does; that is one of the points in which women still give lie to their consciences. But, are you he that hangs the verses on the trees, wherein Rosalind is so admired?" Cewek itu mendongak menatap Kian, atau sekarang Orlando. Vidya adalah salah satu cewek paling tinggi di kelas, tetapi di depan Kian, dia masih tertinggal jarak lebih dari sejengkal.

"I swear to thee, youth, by the white hand of Rosalind," Kian menyapukan pandang sekarang, beralih dari Vidya. Barisan kursi penonton sudah penuh entah sejak kapan. Di bagian belakang, bahkan gerombolan mahasiswa terpaksa berdiri. Sialnya, Kian menemukannya. Begitu mudah untuk menemukan gumpalan rambut keriting Laudy di antara lautan manusia berambut lurus lainnya.

Lebih sialnya lagi, cewek itu berdiri bersisian dengan Abim.

"I am that he," dia melanjutkan kepada Vidya, kesedihan dalam suaranya terlalu nyata untuk diabaikan. "That unfortunate he."

"But are you so much in love as your rhymes speak?"

Kali ini, Kian membiarkan dirinya lepas kendali. Dia menatap Laudy sekali lagi. Mengingat kemarahannya kemarin. Mengingat rasa itu baik-baik. Mengingat kenangan-kenangan dirinya dan Laudy, termasuk tiga minggu yang mereka lewati. Ada pertanyaan yang selama ini belum berjawab. Dia menemukannya sekarang.

"Neither rhyme nor reason can express how much."

Dia telah jatuh cinta. Itu jawabannya.

***

Pementasan itu telah lama usai. Tersisa kelompok terakhir yang sedang menampilkan play dari pengarang yang sama, hanya saja jauh, jauh lebih populer; Romeo and Juliet. Sebagian kelompok Kian telah pulang, termasuk Vidya. Hanya tersisa Ema dan Willa yang memilih bersantai usai mengemasi kostum dan berbagai peralatan panggung mereka.

Kian duduk di sudut. Kostumnya telah ditanggalkan. Riasannya telah dihapus. Mereka mendapat nilai dan komentar memuaskan dari Miss Clara dan tepuk tangan meriah dari penonton. Namun, kenapa ... sulit sekali rasanya untuk bersukacita?

Pintu ruang belakang panggung yang menjadi tempat semua anak berkumpul sebelum pentas berderit terbuka, dan wajah cengengesan Nando segera mengisi celahnya.

"Samlekum, boleh masuk?"

Kian tidak menggubrisnya. Hanya Ema yang memberikan respons berupa satu putaran bola mata. Tanpa menunggu dipersilakan, Nando segera masuk dan menutup pintu di belakang, kemudian terlebih dahulu menyapa cewek-cewek yang tergabung dalam UKM mahasiswa yang sama dengannya. Entah berapa lama mereka mengobrol, Kian tidak sadar. Hingga Nando sudah mengerjap-ngerjap di hadapannya, membuat Kian nyaris melompat ke belakang kursi.

"Apaan, sih, lo?"

"Elo, tuh. Dipanggil-panggil enggak nyahut," Nando berdecak. "Keren banget tadi asli penampilan lo! Gue enggak nonton dari awal, sih, soalnya tadi ada kelas. Tadi gue liat Laudy juga, tapi agak segan nyapa soalnya dia lagi sama—" Pada kalimat itu, Nando mengerem seluruh ucapan yang bermaksud lolos dari bibirnya dengan membekap mulut.

Melihat ekspresi tidak nyaman Kian, dengan canggung dia kemudian menambahkan, "Lo marahan sama Laudy?"

Ketika jeda satu menit berlalu dan masih belum ada tanggapan dari Kian, semuanya menjadi jelas. Nando mungkin tidak pandai dalam bidang akademis, tetapi untuk tahu bahwa sahabatnya sedang patah, dia cukup paham. Seperti yang pernah dikatakan Arsen, dua anak ini sedang bermain api, dan mungkin ... mungkin Kian telah tersulut. Terbakar.

"Lo enggak mau cerita?" bujuknya lagi seraya mengedarkan pandang. Terlihat Ema dan Willa membuka pintu dan menghilang setelahnya, menyisakan hanya mereka berdua. Namun, Kian masih diam.

Setelah bujukan kesekian tetap tidak mendapat respons, Nando akhirnya bangkit. "Oke, deh, kalau gitu. Lo kayaknya perlu waktu sendiri. Gue pamit dulu, ya," ujarnya dengan nada sedih, antara rela dan tidak rela meninggalkan sahabatnya itu. Padahal, biasanya dia ingin cepat-cepat kabur dari Kian, khawatir utangnya akan ditagih.

"Yan?" Di pintu, Nando berbalik, tertahan. "Lo enggak bakal bunuh diri, 'kan, ya?"

Nando merogoh tasnya, mengeluarkan sebatang Silver Queen dari sana, yang dia taruh di ujung meja samping Kian dengan perlahan. Berat, masalahnya. Harganya.

"Tadinya buat cewek gue. Tapi, kayaknya lo lebih butuh."

Sepeninggal Nando, Kian hanya melanjutkan kembali aksi diamnya, menatap langit-langit kusam gedung yang mengingatkan kepada kamar kosnya, kepada bintang-bintang glow in the dark yang sebagiannya telah lepas dari langit-langit kamar. Dia ingat semuanya berawal dari permintaan Laudy.

Pertama kali pindah ke kos yang sekarang, Laudy bilang dia tidak bisa tidur tanpa melihat bintang-bintang dari jendela kamarnya. Kian ingat kamar cewek itu, berada di lantai dua, dilengkapi balkon dan jendela yang luas, yang menyajikan hamparan langit malam jika dia membukanya sebelum tidur. Di sini, di Jakarta Selatan, jendelanya sempit, terhalang jemuran dan kabel-kabel listrik. Jadi, esoknya Kian sakit punggung dan leher demi memasang bintang-bintang palsu ini di kedua kamar mereka.

Anindya Laudy. Cewek berambut keriting yang saat menyanyi, suaranya membuat Kian merasa dininabobokan. Cewek pendek penyuka bintang, hujan, dan rebahan. Laudy sahabat baiknya yang, kalau meminta, akan dia lakukan apa saja agar bisa penuhi.

Belakangan, Laudy menjadi lebih dari itu.

Kian bangkit dengan gelisah dari posisinya semula, mengilas balik kejadian yang baru saja dia lihat pagi ini dan tadi. Laudy dan Abim, sialannya tampak serasi. Sekarang, Laudy terasa lebih dari sahabatnya. Cewek itu menjadi lebih dekat sejengkal di sisinya, tetapi terasa jauh. Kian ingin Laudy berada lebih dekat. Dalam jarak di mana dia bisa menghidu aroma sampo dan sisa sabunnya.

Pada akhirnya, dia harus berdamai dengan hatinya, bahwa ... mungkin, dia memang cemburu. Dia cemburu. Lantas kenapa?

Seketika Kian terbelalak atas fakta yang baru temukan. Selama tiga minggu, Laudy adalah pacarnya. Dia berhak untuk cemburu. Seharusnya, dia memikirkan ini dari kemarin. Bukan dia yang harus menyingkir, melainkan Abim. Sialan, memang. Kenapa Kian baru sadar sekarang?

Ketika Kian akhirnya bangkit, mengambil jaket, dan membuka pintu, langit telah gelap. Di luar, petir menggelegar. Kian seketika panik. Sudah menjelang senja. Hujan turun dengan deras seperti yang sepatutnya pada musim penghujan. Dan, dia tahu dengan pasti, meski Laudy penggemar selimutan ketika hujan, cewek itu tidak terlalu suka jika dia sedang terjebak di luar. Tidak ketika kilat menyambar-nyambar seperti sekarang.

Apakah Abim ada di sana untuk menenangkannya? Kian tidak sempat memikirkan kemungkinannya. Dia segera mengeluarkan kunci motor dari saku jaket, kemudian berlari ke parkiran. Menjemput Laudy.[]



AUTHOR'S NOTE

So sweet enggak, sih, Nando sama Kian??? *oke, salah fokus* Maksudnya, sama Laudy.

Kian mau jemput Laudy, ketemu, enggak, ya?

Sebaiknya ketemuin jangan? Ayo vote dulu.

Ketemu

Enggak ketemu

Sampai ketemu pada bab selanjutnya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro