Bab 4: Pagi - Pertama Kali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lebih enak jatuh cinta daripada jatuh miskin."

Nando



Hari pertama, dan Laudy harus dibangunkan oleh dering chat di Kakaotalk miliknya yang berderet-deret tanpa henti. Katok! Katok! Masih dengan mata yang tidak mau diajak kerja sama untuk membuka, cewek itu menyingkirkan rambut dari wajahnya, lalu meraba-raba kasur hingga menemukan benda berisik itu.

Dengan mata sayu dan masih lengket, Laudy membuka pesannya.

Di sana, di chatroom berlatar kuning tersebut, terdapat pesan dari Kian. Ada banyak pesan yang dihapus, tetapi kalimat terakhir yang dikirim membuat kantuk Laudy dengan instan menguap seketika.

Padahal, hanya ada dua kata sederhana di sana.

Pagi, Kesayangan.

Kesayangan, katanya?!

***

Jika Kian terbiasa terjaga hingga pukul tiga pagi karena keasyikan menulis naskah, maka hari ini dia dibuat tidak tidur sama sekali untuk alasan berbeda.

Pukul dua pagi, setelah bergulingan di kasur tanpa kantuk sedikit pun, dia menelepon Nando dan berhasil membuat cowok itu mengomel tidak jelas sampai ketiduran lagi. Logikanya, siapa memang yang tidak akan menyumpah hingga membawa-bawa anggota kebun binatang jika diteror pukul dua pagi hanya untuk sebuah kalimat sederhana: "Nan, gue enggak bisa tidur."

"Terima kasih infonya. BODO AMAT!"

Pukul tiga pagi, Kian memutuskan untuk menjelajah Internet, mengenai apa dan bagaimana cara kencan yang baik dan benar. Daripada dia mengira-ngira tidak jelas dan membuat kepalanya sendiri sakit. Di laman pencarian Google, dia mengetikkan berbagai kata kunci, mulai dari tips pacaran untuk pemula sampai 1001 pacaran romantis.

Cringe, cringe dah.

Dan, pada akhirnya, dari berbagai sumber referensi, Kian berhasil merumuskan beberapa poin;

Pertama, cewek itu senang diperhatikan. Jangan lupa ucapin selamat pagi dan selamat malam.

Tidak sulit, secara teori. Namun, praktik adalah soal lain yang membuat Kian, pada subuh-subuh pukul lima, memelototi ponsel hingga setengah jam lamanya. Tidak tahu apa yang harus dia katakan. Bahkan, ucapan selamat pagi mendadak menjadi sangat sakral, mengingat status baru mereka.

Selamat pagi, tulisnya pertama kali di ruang chatroom Kakaotalk. Laudy dan Kian adalah dua dari sejumlah kecil orang yang lebih memilih aplikasi ini ketimbang saudaranya, LINE. Alasannya simple saja, Laudy lebih menyukai nada pesan, emoji, dan warna kuning Kakao, dan Kian mau tidak mau mengikuti mengingat teman dekatnya hanya ada dua, Laudy dan Nando.

Usai pesan terkirim, Kian menyimpan kembali ponselnya di atas meja nakas, masih ada sedikit waktu untuk mengejar tidur yang tertinggal.

Namun, untuk tidur kembali sementara jantungnya berdegup tidak menentu hanya karena sebuah chat bukanlah perkara gampang. Kian duduk kembali, menengok lagi pesan yang dia kirim dan menyadari dia lebih terdengar seperti sedang menyapa dosen pembimbing skripsi dibanding menyapa pacar.

Bangsul!

[Message deleted]

Dy, bangun! Dah pagi!

Oke itu terlalu biasa. Tidak ada romantis-romantisnya. Kesannya malah seperti mengajak tawuran.

[Message deleted]

Selamat pagi, Sayang.

[Message deleted]

Pagi, cintaku.

Kian muntah-muntah.

[Message deleted]

Selamat menikmati matahari pagi, Sunshine.

Oke, pada yang satu itu, Kian mengernyit jijik.

[Message deleted]

Pagi, Kesayangannya Kian ....

[Message deleted]

Pagi, Kesayangan.

Oke, segitu saja, sepertinya cukup. Tidak terdengar terlalu alay, sepertinya. Ya, ini cukup.

Eh, benarkah?

Oke ini memusingkan! Belum apa-apa dan Kian sudah sakit kepala. Tidak mau tahu, cowok menendang selimut dan memaksa kaki panjangnya berdiri. Dengan rambut habis puas dijambak, dia meraih handuk untuk kemudian berjalan ke kamar mandi. Meski skripsinya sudah hampir selesai, tinggal merampungkan revisi dan menunggu kabar untuk mendaftar yudisium, Kian berniat untuk ke kampus hari ini. Bukan, bukan untuk menemui dosen pembimbing skripsinya yang memiliki kumis melintang lebih lebat dari Mas Adam suami Inul, tetapi, yeah, Laudy punya jadwal hari ini.

Begitu dia membersihkan diri, keluar kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang dan satu handuk kecil dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah, ponselnya berdentang. Katalk!

Laudy.

Pagi juga ..., Pacar.

Kian mendengkus dan melempar ponselnya ke atas kasur. Dia hanya sedang ... berusaha keras, tetapi gagal. Sekuat apa pun dia mencoba, dia tidak bisa menahan satu senyum yang lolos dari bibirnya dan sedikit rasa panas di pipi. Kabar buruknya, dia bahkan tidak tahu alasannya kenapa.

***

"ASTAGANAGA!!!"

Laudy melempar diri satu langkah ke belakang, kaget luar biasa ketika dia baru keluar kamar kos, baru selesai mengunci pintu, dan menemukan Kian telah berdiri di sisinya.

"Kian! Kaget, tahu!" Cewek itu mengelus dada dan mengembuskan napas berat. Baru saja nyawanya seakan dicabut dengan kehadiran cowok tiang listrik itu yang begitu tiba-tiba.

"Lo aja yang ngelamun," balas Kian, terkekeh pelan. "Ngelamunin gue, ya?"

"Idih, najis! Emang siapa lo—"

"Pacar," Kian memotong cepat, dan secepat itu pula, sistem di otak Laudy terhenti fungsinya.

"Hah?"

"Tadi pagi ada yang manggil gue pacar, tuh."

Suatu keadaan gawat terjadi; rona merah menyebar cepat di pipi Laudy. Tanpa membalas ucapan Kian, cewek itu menarik tali ransel kecil bergambar Doraemon miliknya dan mendekap buku-buku yang terlalu besar untuk di bawa di dalam ransel, lalu berjalan cepat melewati Kian. Yang tentu saja tidak dibiarkan cowok itu. Dengan kakinya yang panjang, mudah saja bagi Kian untuk mengekori Laudy seperti anak ayam.

"Pacar," panggilnya dengan nada yang sama ketika mereka saling memanggil untuk bermain zaman SD.

Laudy menuruni tangga dengan cepat. Namun, belum sampai di lantai dasar, Kian sudah mengadangnya. "Ngambek, ya?"

"Enggak! Cuma gatel pengen bunuh orang yang badannya tinggi terus pake baju abu-abu!"

Kian menunduk, memperhatikan kemeja abu-abu yang dia pakai sementara Laudy menggunakan kesempatan itu untuk melengos ke halaman.

"Jangan ngambek, Nyu. Nanti tambah jelek."

Seketika Kian berteriak—Laudy menginjak kakinya. Rasanya luar biasa sakit, tetapi lebih sakit lagi menyadari cewek itu baru saja menginjak sepatu warna putih yang baru dia cuci kemarin.

Begitu Laudy mengeluarkan ponsel, siap untuk memesan Gojek seperti yang biasa dia lakukan, Kian buru-buru mengambil Scoopy putihnya. Klakson dia bunyikan dan satu helm dia sodorkan kepada Laudy yang sedang membuang muka.

"Ayo naik."

"Enggak! Makasih!"

Kian hanya cengengesan. Di luaran, boleh saja dia bersikap agak judes kepada orang-orang tidak dikenal, tetapi di depan Laudy, Kian itu menyebalkannya sudah level akut. Jika Kian diibaratkan kanker, Laudy sudah sekarat sekarang.

Dengan lembut, Kian menelengkan kepala menatap cewek itu.

"Kesayangannya Kian, ayo naik."

"NAJIS!"

Kian tertawa keras. Laudy meraih helm dan naik ke jok belakang motor sambil misuh-misuh tidak jelas.

"Lo ngapain, sih, emang, ke kampus?"

"Nganterin pacarlah."

"Hah?!"

"Menurut sumber yang gue percaya, cowok itu wajib ngantar jemput ceweknya, Dy. Heran juga, antara pacar sama pembantu beda tipis, kayaknya."

Laudy hanya mengangguk-angguk. "Bener, tuh, itu baru cowok yang baik. Nanti antar gue balik juga, ya."

"Ambil kesempatan kan lo?"

Laudy menyengir. Mood-nya berubah secepat itu, dan Kian sama sekali tidak heran. "Yah, mumpung. Hemat ongkos Gojek sekalian! Ayo berangkat, Bang!" ujarnya seraya menepuk pundak Kian.

Momentum yang timbul ketika gas ditarik dan motor mulai bertolak melaju membuat Laudy seperti tertarik ke belakang, membuatnya mau tidak mau mencengkeram kemeja Kian di bagian pinggang. Hanya kemejanya. Menyebabkan pakaian yang sudah disetrika rapi itu kembali berkerut.

"Tiang," panggilnya ketika mereka melewati deret wisma mahasiswa di seputaran kawasan Lenteng Agung.

"Ya?"

"Tadinya gue pikir bakal canggung."

"Sama," Kian bicara menantang deru angin. Dia tidak membawa motornya dalam kecepatan tinggi sehingga mereka masih dapat saling mendengar satu sama lain. "Selanjutnya ajarin gue, Nyu. Pacaran itu ... gimana."

"Kayak yang gue tahu aja." Pada kalimat terakhir itu, Laudy menggumam. Kian positif tidak mendengarnya karena dia mulai meneriakkan "Hah?!" di udara.

Namun, yang Laudy lakukan hanyalah mencengkeram kemeja Kian lebih erat.

***

Nando punya sejuta gelar. Salah satunya mahasiswa abadi yang resmi terselip karena kini dia sudah semester delapan, dan cowok itu masih memperjuangkan berbagai mata kuliah yang sempat dia abaikan karena kesibukan organisasi.

Jadi, sepagian ini, tidak heran jika dia kedapatan nongkrong di kantin dengan semangkuk bubur ayam yang dilahap dengan rakus serta dua gelas teh hangat, sementara rekan-rekan satu angkatannya yang lain lebih memilih di rumah, memusingkan skripsi.

"Pelan-pelan, dong, Yang, makannya. Enggak lagi dikejar satpol PP ini."

Gelar lainnya adalah playboy cap kaki tiga. Terheran-heran juga satu kampus begitu menyaksikan seorang Fernando Junaedi yang berhasil menggaet salah satu incaran anak fakultas FKIP, bidadarinya angkatan semester empat. Echa namanya. Jarang ada yang tahu bahwa nama aslinya adalah Anesya, kecuali teman-teman sekelas. Dia adalah cewek imut yang disebut-sebut terkena jaran goyang-nya si Nando.

Alih-alih protes dengan analogi satpol PP yang otomatis membuatnya menjadi pedagang kaki lima, atau lebih parah, banci perempatan jalan, Nando hanya tersenyum semringah ketika Echa meraih tisu dan, dengan lembutnya, mengelap noda bubur di ujung bibir cowok itu. Sudah seperti di sinetron, membuat orang-orang sekantin jengah.

"Makasih, Yang. Care banget, udah cocok dijadiin pendamping di pelaminan, hehe ...."

"Ih, Ayang apaan, sih?" Echa tersipu. "Orang belum lulus juga."

"Ya enggak apa-apa, Yang. Biar abis lulus langsung lamaran."

"Nando, ah ...!"

Orang-orang geuleuh melihatnya. Pengin muntah, tetapi sayang, belum bayar.

Namun, yang membuat orang-orang itu kemudian terperangah hebat pada detik berikutnya adalah kehadiran Kian di kantin. Well, kehadiran Kian di kantin bukan hal yang terlalu mengejutkan, begitu juga dengan kedatangan Laudy di sisinya. Namun, kedatangan Kian yang menggandeng─garis bawahi, tolong, menggandeng Laudy, membelalakkan sekian pasang mata di sana. Termasuk Nando yang segera tersedak bubur ayam.

"Pagi, Kak Laudy!" Echa menyapa dengan keceriaannya khasnya, lalu beralih menatap Kian. "Pagi, Kak Kian."

Laudy tersenyum sambil menggumamkan "Pagi juga." Biarpun satu jurusan, Echa dan Laudy beda angkatan. Laudy yang prinsip hidupnya kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang) mana pernah merasa perlu mengenal orang lain, primadona jurusan sekalipun. Jadi, mereka hanya saling sapa sejak Echa jadian dengan Nando—dengan Echa, tentunya, yang bersikap ramah duluan.

Nando menyipitkan matanya yang memang sudah agak-agak sipit ke arah dua orang di depannya. Kian dan Laudy baku hantam adalah pemandangan wajar. Kian dan Laudy berpegangan tangan mesra adalah keajaiban dunia terbaru. Meskipun, yah, Nando pada akhirnya dapat menerka alasannya.

"Kenapa muka lo berdua merah?"

"HAH?" Dua orang itu kaget bersamaan.

Kian mengambil satu langkah maju dan mendengkus pelan. "Merah apaan? Enggak!" sanggahnya seraya menarik kursi dan segera mengambil tempat di sisi Nando, sementara Laudy memutar bola matanya.

Cewek itu mengambil dua langkah yang setara dengan langkah lebar Kian, dan hanya berdiri di sana. Hingga beberapa percakapan ditukar antara Nando, Kian, dan Echa, Laudy masih bergeming di tempatnya.

Tidak peka juga, Laudy menghela napas penuh kesabaran. Dengan penuh kesabaran juga, dia lalu menggeplak kepala Kian dengan buku Evaluasi Pendidikan yang mahatebal di tangannya. Karena seandainya dia tidak sabar, mungkin rambut Kian sudah dijambaknya.

"Ugh! Laudy apaan, sih?!" Kian meringis, mengusap kepalanya.

"Gue belum duduk."

"Ya duduk aja, apa susahnya? Lo bisulan?"

Dasar cowok! Jambak tidak, ya?

Beruntungnya bagi Kian, Laudy memilih berkompromi. "Kian, denger! Peraturan pacaran nomor satu itu, selalu dahulukan cewek lo!"

Kian cengo.

"Buruan tarikin kursi buat gue!"

Padahal, itu hanya kursi kantin. Kian tidak mengerti, tetapi demi kemaslahatan hidupnya, dia akhirnya berdiri dan menarik ujungnya sedikit, mempersilakan Laudy duduk.

"Makasih, Pacar." Cewek itu tersenyum girang. Sangat, sangat girang.

Giliran Kian yang mendelik, sementara Nando lagi-lagi tersedak, kali ini oleh teh hangat, begitu mendengar panggilan yang Laudy gunakan.

"Lo manfaatin keadaan banget, sumpah," Kian menggerutu, melemparkan tas Laudy yang dia bawa-bawa sejak turun dari motor tadi ke spasi kosong di kursi sampingnya.

Bergeser sedikit, Laudy menghadapkan tubuh demi memandang Kian dengan tatapan ... imut—rencananya sih begitu. "Pacar marah, ya, sama Dedek?"

Respons yang dia dapat dari Kian adalah jentikan. Tepat di kening. "Jijik, Dy!"

Laudy tertawa keras setelahnya. Tidak memedulikan image-nya. Sedangkan Kian hanya menggeleng. Laudy yang dia kenal memang sebegitu berisiknya, jika sedang tidak malas untuk bersuara.

"Jadi." Nando menelan dulu makanannya, takut bencana terulang kembali. Dia menatap Kian dan Laudy bergantian, bersiap untuk menanyakan sesuatu yang sepertinya sedang bercokol di jidat setiap orang.

Kian tersenyum lebar. Bahkan, sebelum Nando sempat bersuara lagi, dia menarik tangan Laudy. "Mulai hari ini," ujarnya percaya diri, "kami resmi pacaran."

Seketika, kantin gegap gempita. Rupanya, kegaduhan sekitar sempat terhenti dan setiap orang memasang telinga. Apalagi, kantin di bagian belakang kampus ini memang dipenuhi mahasiswa angkatan tua.

"Selamat, Yan!"

"Selamat, Dy!"

"Congrats, ya! PJ! PJ!"

"Apaan, Kalian?!" Kian berdiri, berusaha tidak terlalu memedulikan setiap anak yang keroyokan menggodanya. "Gue pesen makan dulu. Lo belum sarapan juga, 'kan?" bisiknya kepada Laudy, yang hanya mengangguk pelan.

Kian memang bukan orang yang pintar berinteraksi seperti Nando, tetapi dua-duanya populer di kampus untuk alasan berbeda. Nando sempat menjabat ketua HMJ, sekretaris BEM, bahkan juga tergabung di UKM musik dan teater, temannya A sampai Z tersebar di setiap fakultas. Sementara Kian, sejak novel pertamanya terbit dan laku keras, banyak orang yang mulai menyapanya. Selain karena sebelum-sebelumnya dia memang sudah terkenal karena parasnya itu.

Sementara Laudy, yah, dia sedang berusaha mengingat-ingat mantra mana dari film Harry Potter yang bisa membuatnya menghilang.

"Aku sebenarnya udah punya feeling, Kak."

Laudy mendongak, menatap Echa yang duduk persis di seberangnya.

"Ya?"

Echa tersenyum manis. Poninya yang menggembung menutupi kening benar-benar rapi dan hampir mengalihkan fokus Laudy. "Waktu Kakak bilang kalo Kakak sama Kak Kian cuma sahabat. Kupikir, ah, enggak mungkin. Pasti kalian bakal jatuh cinta. Hehe, ternyata aku bener."

Laudy ikut terkekeh, tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Dia, Kian, dan kata jatuh cinta di tengahnya benar-benar ... pft, keajaiban.

"Bol, eh, Dy!"

Tahu-tahu Kian sudah kembali. Dua mangkuk bakso di tangannya, yang salah satunya segera dia angsurkan ke hadapan Laudy. Dia berlari lagi dan balik-balik membawa dua buah teh botol. Laudy bahkan tidak perlu repot-repot meminta, Kian telah membukakan tutupnya.

Laudy mengerjap dua kali, menatap cowok itu keheranan. "Tumben? Biasanya traktir mi goreng aja perhitungan."

"Pacar." Singkat. Sederhana.

Ketika Kian mengambil tempat di sisinya, Laudy tersenyum lebar. "Tiang, kita enggak usah pacaran tiga bulan aja, yuk! Tiga tahun juga boleh."

"Enggak usah ngarep!"

Ketus, memang. Kalau itu Sarah, Metta, atau Florelia, pasti mereka akan patah hati. Namun, Laudy sudah bebal. Sambil tertawa-tawa, cewek itu menjatuhkan kepalanya di pundak Kian, lalu mengusap-usapkan hidungnya di sana. "Pacar jahat, deh. Dedek jadi terluka."

"Udah, makan sana!" Kian mendorong kepala Laudy ke depan. Nando dan Echa, atau orang-orang lainnya yang memandang mereka, hanya bisa tercengang. Mereka tidak berubah.

"Dy?"

"Mmm?" Laudy tidak menoleh, sibuk memasukkan bihun beserta kuah ke mulutnya.

"Malam ini jadwal lo kencan sama siapa?"

Usai mengunyah, Laudy berpikir sebentar. Karena tidak keburu mengunduh drama terbaru, rencananya malam ini dia ingin memutar ulang drama Thailand Club Friday The Series bagian-bagian favoritnya. "Jirayu La-Ongmanee," jawabnya lancar sambil memikirkan kembali wajah Ter. Ah, P' Ter.

"Batalin."

Laudy menolehkan kepalanya seketika, menatap Kian. Cowok itu tengah menatapnya balik.

"Malam ini sama gue aja. Jalan."[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro