Bab 9: Rasa - Pura-Pura

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I don't like sharing, so I don't.

I'm possesive, I agree.

Even about friends."

Kian





Ketika Laudy memutar tubuh dan mendapati Abim berdiri di hadapannya, dia harus berterima kasih kepada Kian yang tahu-tahu menggenggam tangannya kuat, menopangnya yang nyaris limbung.

Dia sudah sering memikirkan ini, kemungkinan akan bertemu Abim dan apa yang harus dia lakukan saat itu terjadi. Namun, sebanyak apa pun rencananya, tetap tidak ada yang bisa menyiapkannya untuk pertemuan langsung sedekat sekarang, ketika dia dapat merasakan tatapan cowok itu menghunjamnya tanpa dia dapat ke mana-mana untuk menyembunyikan diri.

Dia tidak sempat bereaksi banyak. Kesadarannya sekaan ditarik saat Ratu berjalan melewatinya dan memeluk Abim untuk kemudian mengecup pipi cowok itu sekilas, tubuhnya yang tinggi ditopang heels lima belas senti membuatnya tidak perlu berjinjit untuk melakukan itu. Detik berikutnya, Laudy dipaksa menyaksikan Abim yang memberikan Ratu sebuket mawar berwarna peachy pink dan memujinya dengan manis.

"Sayang, kamu mau kue ini, enggak?"

Suara Kian yang agak terlalu nyaring membuat Laudy menoleh, berikut orang di sekitarnya, termasuk Abim dan Ratu. Kian tersenyum palsu dan Laudy merasa ingin meringis dengan akting sahabat kelebihan kalsiumnya yang mengerikan itu. Di tangan Kian, sudah ada sepotong blackforest di atas satu piring kecil berwarna perak. Entah kapan Kian mengambilnya, Laudy tidak sadar.

"Sayang? Mau, enggak? Aku suapin, ya."

Ada ... pahit-pahitnya gitu dipanggil 'Sayang' oleh Kian. Jika situasinya berbeda, dia pasti akan muntah paku, lalu cepat-cepat meletakkan telapak tangan di atas kepala Kian, merukiah cowok itu. Namun, dia menangkap kedip penuh konspirasi itu dan segera memasang senyum sama palsunya sebelum mengangguk bersemangat.

"Mau, tapi ...." Dia memajukan bibir sekarang. Tindakan yang, jika saja tidak ada orang lain, membuat Kian akan menjitaknya sambil menyumpah. "Tapi. nanti aku gendut." Laudy menggembungkan pipi. Pikirnya, dia bisa terlihat menggemaskan seperti cewek di drama-drama tontonannya.

Kian hanya terkekeh kecil sambil berusaha menahan kembali muntahan yang nyaris naik ke tenggorokan. "Unyu banget, sih," ujarnya seraya mencubit pipi Laudy dengan tenaga dilebihkan.

Laudy menahan dirinya untuk tidak berteriak karena ... SAKIT, ANAK DAJAL! Dia yakin akan ada bekasnya nanti. Kian menyebalkan!

Dia harus balas dendam! Dia pun balas mencubit lengan Kian dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. "Unyu-nya siapa dulu, dong ...?"

Kian memelotot, Laudy memelotot lebih lebar, menantang. Untungnya, perang itu hanya terjadi lewat mata. Suasana ramai sekitar kembali masuk ke pikiran Kian dan cowok itu mendesah kalah. Dia meletakkan telapak tangannya di atas kepala Laudy. Lembut. Laudy selalu punya rambut yang lembut dan enak untuk disentuh.

"Kamu mau gendut atau cungkring, aku tetap sayang, kok," ujarnya dengan tatapan meyakinkan, sambil mengusap-usap rambut Laudy dengan sayang.

Bahkan, Nando yang berdiri tidak begitu jauh rasanya ingin pura-pura tidak kenal dua orang tidak tahu malu itu. Dia buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura amnesia.

Beruntungnya, sebelum akting mereka semakin mirip FTV, Abim sudah mengalihkan tatap, jengah. Dia membimbing Ratu menjauh, mendekati panggung karena acara akan segera di mulai.

Kian yang sedang dalam proses menyuapi Laudy potongan blackforest pun mengurungkan niat. Potongan cokelat yang tampak mewah itu terlalu sayang jika harus melewati tenggorokan sahabat mungilnya alih-alih perutnya sendiri. Pikiran yang berbanding terbalik dengan yang ada di kepala Laudy. Hingga hasilnya ....

"Kue gue!" Laudy mendesis dan menahan pergelangan tangan Kian. Pokoknya, perjuangan mempertahankan potongan miliknya akan dia lakukan sampai titik darah penghabisan.

"Kue gue," balas Kian, tidak mau kalah. "Gue yang ambil tadi."

"Tapi, kan lo ambil buat gue."

Pada saat semua mata lain sibuk tertuju ke arah panggung yang dipenuhi balon, kedua orang itu sibuk tarik-menarik. Sampai, Kian melebarkan mata. "Abim, tuh," celetuknya, sudah menduga Laudy akan lengah dan segera memasukkan potongan besar ke mulutnya sendiri, semuanya, sampai penuh.

"Kian!"

Dan, balasan yang dia terima adalah, pukulan telak di dada,. Sampai Kian tersedak.

***

"Aku ... suka, sama Kak Abim." Laudy ingat suaranya yang bergetar saat mengatakan itu. Tidak pernah, seumur hidupnya, dia membayangkan akan mengucapkan hal semacam itu lebih dulu.

Dia meremas surat di tangannya hingga tak lagi berbentuk. Surat cinta yang dia tulis tanpa nama pengirim. Sayangnya, Abim, Abimana Prayuda, objek surat cinta itu, mengenali tulisannya dan langsung menginterogasinya saat itu juga.

Cowok itu menelengkan kepala, berusaha menganalisis Laudy yang berdiri kikuk di depannya. Ada keterkejutan yang kentara di wajah Abim. "Kamu ... serius?"

Laudy mengangguk pelan. Jantungnya berdegup begitu keras. Di ruang kelas Jurusan Antropologi yang sepi tanpa seorang pun mahasiswa lainnya, suara jantungnya seakan bergema pada sudut-sudut dinding. Laudy berharap dia pernah belajar ilmu menghilang.

Di luar dugaannya, sesaat kemudian Abim tersenyum, lalu mengacak rambutnya. "Kamu lucu."

Dan, hanya itu. Entah cowok itu membalas perasaannya atau menolak, Laudy tidak tahu, tidak pernah mendapatkan jawaban. Yang jelas, mereka menjadi semakin dekat. Dia yang terbiasa pulang-pergi bersama Kian, kemudian mulai diantar jemput oleh si Kakak Tingkat. Ruang obrolan yang biasa sepi, kemudian mulai terisi oleh pesan-pesan darinya. Ajakan makan siang bersama pun bertambah intensitasnya. Tanpa ada kejelasan, apa arti semua itu?

Laudy tahu, Abim masih sakit hati dengan mantannya, Ratu, yang tahu-tahu pergi begitu saja. Laudy ingat malam-malam ketika cowok itu curhat kepadanya, tentang Ratu yang katanya depresi, tentang dia yang berusaha sabar dan memberikan cewek itu waktu untuk sendiri. Namun, tiba-tiba saja, Ratu menghilang. Asisten di rumahnya bilang, dia mengambil cuti kuliah dan pergi ke Swiss, entah untuk berapa lama.

Ratu memutuskan Abim lewat pesan singkat di Line, lalu pergi tanpa kabar. Hal yang ... membuat cowok itu merasa sangat tidak dianggap. Dan, Laudy di sana, mendengarkan setiap keluhannya, memberikan bahu setiap kali cowok itu butuh sandaran, menepuk pundaknya dan mengelus rambutnya seraya meyakinkan Abim untuk berhenti menyalahkan diri. Karena cowok itu berharga. Karena bagi Laudy, Abim sangat berharga.

Lalu, Ratu kembali setelah empat bulan tanpa berita apa-apa, menyapa Laudy dengan senyum cerahnya yang biasa. Siapa yang menyangka cewek sempurna seperti dirinya berpotensi mengalami depresi?

"Dy, kamu kan temenan sama Yuda," Ratu menggigit bibir, terlihat sungkan untuk menceritakan hal yang menjurus pribadi. Ratu mengenal Laudy ketika dia masih berpacaran dengan Abim. Cowok itu yang memperkenalkan mereka. "Bisa minta tolong, enggak? Nomor gue diblokir sama Yuda. Gue ... ada yang mau gue omongin sama dia. Penting. Lo bisa enggak bujuk dia buat ketemuan sama gue?"

Seharusnya, saat itu Laudy bilang tidak. Seharusnya, dia cerita bahwa dia dan Abimana Prayuda sudah bukan sekadar teman lagi, mereka lebih dekat dari itu. Abim tahu Laudy menyukainya dan cowok itu pun seperti sedang berusaha menjajaki kemungkinan menjalin hubungan dengan Laudy. Seharusnya, dia mencegah kemungkinan Ratu bertemu kembali dengan Abim yang perasaannya masih rapuh. Namun, seperti orang bodoh, Laudy mengangguk.

"Iya, nanti gue bilangin."

"Makasih, ya."

Ratu meremas tangannya. Namun, kenapa rasanya seolah cewek itu juga tengah meremas hatinya sekaligus?

Ketakutannya terbukti ketika tidak kurang dari seminggu kemudian, dia melihat unggahan di Instagram Abim. Abim telah kembali kepada Ratu-nya. Laudy tidak bisa berbuat apa-apa selain tahu diri dan menjauh, 'kan?

Karena dari awal, dia memang hanya jembatan, hanya pelarian, hanya ... cadangan.

Identitas ini menyesakkan, membuat Laudy kembali memasukkan potongan keik keju kesekian ke mulutnya meski dia belum selesai mengunyah kue balok berisi cokelat lumer. Dia marah, sedih, kesal dan mengunyah makanan dengan agresif serasa membantu. Dia membayangkan tengah mengunyah potongan tubuh Abim tanpa ampun, omong-omong.

"Dy?"

Suara itu membekukannya sekali lagi. Bukan Kian, karena cowok itu pergi ke toilet beberapa menit lalu. Suaranya tidak seberat Kian, tetapi intonasi datar itu, kesan dingin itu, hanya milik Abimana seorang.

Dan, Laudy diam di tempat, masih memunggungi cowok itu, menolak untuk berhadapan langsung.

"Bisa kita bicara?" Ada nada mendesak dalam suara Abim yang Laudy berusaha abaikan. Dia ingin kabur. Dia benar-benar ingin kabur. Namun, kakinya justru membeku, memaksanya untuk mengiakan.

"Ngomong aja." Sampai titik ini, Laudy merasa perlu bertepuk tangan untuk diri sendiri. Dia baru saja berhasil berbicara dengan nada dingin dan ketus kepada Abim.

Abim mendesah dan menoleh sekeliling. Tentu Laudy paham keinginannya untuk mencari tempat yang lebih privat, yang memungkinkan mereka bicara dengan leluasa berdua, tanpa kemungkinan kehadiran kuping lain yang mencoba mencuri dengar. Namun, seharusnya Abim juga paham letak kesalahannya yang mengakibatkan Laudy jadi anti.

"Kamu ... marah, ya?"

Laudy meremas gelas di tangannya. Untung saja gelas kaca yang ada di sana, seandainya cupcake dengan topping ceri yang sedang dia genggam, dia pasti telah menghancurkannya dan mengotori terusan putih milik Echa yang dia kenakan sekarang, membuatnya tampak seperti bagian dari salah satu adegan dari novel thriller yang Kian tulis.

Ya lo pikir?! Diberi orang harapan, terus seenaknya dijatuhkan itu memangnya gampang?! Ini hati, bukan ciki seribuan! Laudy mengumpat. Namun, ketika dia membuka mulut, yang keluar hanya, "Enggak."

"Kamu pasti marah, 'kan?"

Tumben pinter!

"Aku minta maaf," ujar Abim lagi, memelas.

Banyak tenaga dan kesabaran yang Laudy kumpulkan agar tidak melemparkan gelas di tangannya ke wajah cowok itu. Justru, dia meletakkannya pelan dan menggerakkan kaki menjauh. Dia tidak ingin satu menit lebih lama terjebak bersama Abim.

High heels di kakinya benar-benar menghambat karena, belum jauh dia berjalan, Abim sudah berhasil menghentikannya. Dia menoleh, menyaksikan cowok itu memegangi pergelangan tangannya.

"Dy, please?" Ada kesakitan di matanya. "Aku cuma pengin kita kayak dulu lagi."

Kayak dulu lagi bagaimana? Jadi tempat curhat doang? Merelakan kuping panas mendengarkan cerita soal Ratu? Cuma dihubungi saat ada perlu?

Laudy memejamkan mata. Dia tidak ingin lagi bersikap terlalu bodoh dan menyakiti diri sendiri lebih jauh.

Cengkeraman Abim di tangannya begitu erat, akan membutuhkan banyak tenaga untuk lepas. Dan, Laudy tengah menimbang-nimbang ketika pinggangnya ditarik hingga punggungnya menabrak dada seseorang. Parfum ini ..., Laudy mengenalinya. Tiba-tiba saja, cengkeraman di dadanya seakan lenyap, bersamaan dengan terlepasnya cengkeraman Abim di tangannya. Laudy mendongak demi menatap Kian, posisi mereka nyaris menempel dengan lengan Kian yang melingkari pinggangnya. Dan, tiba-tiba saja, Laudy merasa aman.

Kian tidak menatapnya. Tatapannya tertuju kepada Abim. Tajam.

"Maaf," ucapnya dingin. "Tapi, saya enggak kasih izin pacar saya disentuh sembarangan."[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro