Special Chapter: Bros Before Hoes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diperhatiin salah.

Enggak diperhatiin salah.

Padahal nyokap aja enggak ngasih aku nama Arsen Salahuddin,


tapi tetep aja salah.



Bros come before hoes, katanya. Dan, meskipun saat semester awal kelas XII SMA nilai bahasa Inggris Arsen berada pada level biasa menjurus memprihatinkan, dia sudah mengamalkan moto tersebut bahkan sebelum mengetahui artinya.

Namanya Kaelyn, cewek yang populer di seantero sekolah sejak masa orientasi siswa. Dengan hidung mancung, mata cokelat terang, bibir tipis, serta kulit putih cerah seperti model iklan Fair & Lovely. Wajah perpaduan Indonesia-Jerman-nya yang mencolok membuat tidak ada satu pun cowok di sekolah yang tidak menatap dua kali setiap berpapasan dengannya. Sebagian dari mereka berakhir dengan menabrak tembok, malah. Banyak yang mengejar. Jelas alasannya tidak sama seperti cewek-cewek yang mengejar Nando karena dia seenaknya meminta jajanan mereka atau karena belum bayar utang arisan. Sedangkan dalam kasus Kaelyn, hampir seluruh kaum Adam yang masih normal di seantero sekolah melakukan berbagai upaya demi mendapatkan hatinya. Kecuali Nando yang habis putus cinta, atau Kian, yang tidak tertarik dengan cewek mana pun.

Kemudian, bola keberuntungan itu menggelinding ke dalam genggaman Arsen, dengan mudahnya.

Disokong tampang yang lumayan, tubuh lebih tinggi dari rata-rata, dan sepeda motor sport yang memaksa penumpangnya menungging di belakang, maka jawaban "ya" dia dapatkan hampir secara otomatis saat menawari cewek blasteran itu boncengan pulang. Memaksa semua cowok pengguna motor metik di sekolah untuk menatap iri.

Singkatnya, hubungan mereka berjalan dengan mudah. Diawali dengan boncengan-boncengan pulang yang rutin, lalu bertambah menjadi jemputan ke sekolah. Dan, dua minggu berikutnya, tersebar rumor bahwa mereka telah resmi berpacaran. Namun, sebab wajahnya yang cantik seperti seorang putri, tentu Kaelyn juga amat sangat sadar dirinya layak diperlakukan sebagai seorang putri. Atau ratu, jika bisa.

"Yang!"

"Mmm?"

"Yang!" Kaelyn mengguncang-guncang lengan Arsen ketika dia tidak kunjung mendapat respons berarti. "Yang! Kamu kok main game terus? Lihat ke aku, dong!"

Arsen mengalihkan pandang dari layar ponselnya, menoleh kepada Kaelyn selama satu detik, lalu kembali bermain. "Sudah," ujarnya tanpa dosa.

"Iiih, Ayang udah enggak sayang, ya, sama Kae?!"

Sekali lagi, Kaelyn menggoyangkan lengannya, sedikit lebih menuntut. Sekali lagi pula, permainan terpaksa dia abaikan. Arsen menoleh kepada Kaelyn selama sedetik, atau dua, membukakan reisiko bagi dirinya untuk diserang musuh.

"Sayang, kok."

"Kalau sayang, kenapa main hape terus? Bukannya pacarnya diperhatiin!"

Baiklah, konsentrasi Arsen benar-benar buyar sekarang. Dia menonaktifkan layar ponsel, menyimpannya di saku, lalu menatap gadis bermata bulat berwarna cokelat terang di hadapannya seolah jika tidak diperhatikan, Kaelyn bisa dilibas jambret. Atau seperti itu, kesannya.

"Nih, udah aku perhatiin."

"Kok kayak enggak ikhlas gitu?!"

Astagfirullah. Arsen yang seumur hidup disangka semua orang murtad karena kelayapan tiap magrib itu akhirnya mengucap istigfar. Terima kasih kepada Kaelyn. Namun, serius, cewek dan ribet kenapa selalu bergandengan? Kenapa mereka gemar membuat A ke C menjadi berputar-putar sampai Z? Sebenarnya, apa mau mereka?

"Kamu maunya apa, sih? Diperhatiin salah, enggak diperhatiin salah. Padahal nyokap aja nggak ngasih nama aku Arsen Salahuddin, tapi tetep aja salah."

Mendengar itu, alis Kaelyn menjadi berkerut. Dan, meskipun Arsen tidak benar-benar serius dengan protesnya, cewek itu menaikkan suara. "Jadi, aku yang salah?!"

Kaelyn berdiri, siap pergi, teknik yang selalu dia lakukan ketika merajuk. Hal yang selalu diajarkan mamanya yang asli Jawa itu saat di pasar, untuk pura-pura pergi saat sedang tawar-menawar. Teknik itu selalu terbukti berhasil. Pun sekarang. Karena ketika Kaelyn bangkit dari bangku di samping Arsen, barulah cowok panik.

"Enggak, aku yang salah, kok. Aku berdosa," mohonnya, memegangi pergelangan tangan Kaelyn.

"Itu kamu tahu."

Kadang, Arsen bertanya-tanya bagaimana bisa Nando membiarkan dirinya diperbudak cewek selama ini? Ini pertama kalinya bagi Arsen, dan harga dirinya sedikit terluka.

"Yang ..., pulang sekarang, yuk. Habis itu anterin aku ke salon, kamu udah janji."

Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, sebagian besar siswa telah meninggalkan gedung sekolah. Kecuali beberapa anak yang sedang piket, anak ekskul, atau Arsen, yang selalu menunggui Kaelyn hingga dia selesai dengan teman-temannya, atau make-up-nya, untuk diantarkan pulang.

Namun, kali ini, tujuan Arsen bertahan di sekolah adalah untuk alasan berbeda. Bukan untuk Kaelyn.

"Hari ini aku enggak bisa, Lyn. Udah janji sama Kian mau nengokin Nando."

"Nando ... temen kamu yang rambutnya kayak Alam itu?! Dia kenapa?"

"Kemaren pas main futsal, dia ngejar bola dan jatuh ke selokan, kakinya bengkak, kepala kejedot, hidung kejedot sampai nambah pesek, jadi enggak masuk sekolah hari ini."

"Terus, kamu mau batalin janji sama aku?"

Arsen menghela napas. Bukankah sudah jelas? "Nando sakit, Kae."

Samar, di kepalanya, Arsen masih ingat Nando yang saat itu hujan-hujanan mencarikan obat demam untuknya karena kedua orangtua Arsen yang dokter itu sibuk bekerja dan tidak ada orang lain di rumah. Nando mati-matian mengayuh sepedanya waktu itu, di bawah hujan yang bercampur petir, agar Arsen mendapatkan obatnya, agar Arsen tidak kenapa-kenapa.

Jika dunia mengalami zombie apocalypse, maka orang pertama yang akan dia selamatkan adalah Nando. Harus. Arsen berutang nyawa kepada sahabatnya itu.

"Nando lebih penting dari aku?! Kamu lebih milih temen kamu yang rambutnya kayak Alam itu daripada aku?"

Iya, Nando lebih penting. Tapi ..., tunggu!

Seketika, kemarahan menjalari ujung jemari Arsen hingga ke kepalanya. Kenapa cewek ini menyebut nama Nando seolah merasa jijik begitu? Seolah Nando hanyalah remahan rengginang yang tidak penting?

"Kae, denger," ujarnya tegas, meraih kedua tangan Kaelyn, lalu mulai menatap cewek itu serius. "Pertama, Nando sakit, sekarat mungkin. Kedua, rambutnya enggak kayak Alam penyanyi dangdut itu!"

"I don't care about his hair!" Kaelyn menarik tangannya. Ekspresi marah di wajahnya terlihat jelas. "Kalau kamu lebih milih si Rambut Alam itu, kita putus!"

Kita putus!

Kita putus!

Seolah ada gema pada kalimat terakhir, Arsen mendengar itu berulang kali di kepalanya. Itu adalah kata yang dia takutkan, karena dia tahu akan banyak cowok lain yang mengejar Kaelyn kurang dari sehari usai hubungan mereka. Dan, karena ... bagaimanapun, Kaelyn adalah yang pertama baginya.

Seharusnya, dia menahan Kaelyn. Seharusnya begitu. Akan tetapi, bayangan wajah Nando saat basah kuyup waktu itu, dengan senyum lebar di wajah dan plastik obat di tangan, membayang di kepala Arsen. Juga saat Nando masih begitu polos dulu, sebelum menjadi manusia laknat seperti sekarang.

"Kamu Achen, ya?"

Arsen, 5 tahun, tidak menggubris anak dekil yang tahu-tahu berada di sampingnya, memandanginya dengan tatap memuja. Ibunya selalu berpesan untuk tidak bicara dengan orang asing, terutama jika orang asing itu memakai baju kebesaran dan menyapu ingus dengan punggung tangan.

"Achen, boleh pinjam pensil warna, enggak?"

Arsen menoleh sekilas, tepat ketika anak itu menggosok lubang hidung dengan ujung tumpul pensilnya. Membuat Arsen bergidik ngeri membayangkan bagaimana nasib pensil warnanya nanti jika benar-benar dia pinjamkan. Apakah akan berakhir sebagai alat mengupil juga? Dengan posesif, Arsen menarik kotak pensil warnanya. "Enggak boleh!"

Tatapan memusuhi yang dia berikan cukup untuk membuat anak itu pergi, dengan wajah tertekuk dan bahu lunglai. Setelahnya, Arsen berusaha keras untuk tidak memedulikan wajah merana itu.

Hingga, ketika dia terlalu asik mewarnai, kemudian mencari krayon biru untuk mewarnai awan, dia tidak dapat menemukannya di mana pun. Entah itu dalam kotak pensil warna, meja, kolong meja, tas .... Dia kemudian menemukannya di meja berbeda.

"Ini kan punyaku!"

Nando, si anak dekil tadi, orang yang tertangkap basah sedang menggunakan pensil warna Arsen, mengangkat wajah. Lalu, dengan tatapan memelas yang sama, dia memandangi Arsen. "Kalau kamu mau pinjemin pensil warna, aku pinjemin ini," ujarnya, mengeluarkan katapel dari saku."Kamu boleh ambil, kalau mau."

Aneh, tetapi sejak itu, katapel itu menjadi milik Arsen dan Nando boleh menggunakan pensil warna semaunya, dengan catatan tidak boleh dipakai untuk mengupil. Mereka akan pergi ke belakang sekolah selama menunggu jemputan dari orangtua Arsen, membidik burung-burung atau mangga muda yang bergelantungan di pohon.

Dan, tiba-tiba saja, sejak itu, mereka menjadi tidak terpisahkan.

Sekarang, Kaelyn masih di hadapannya. Masih menunggu reaksi Arsen dengan tangan terlipat di dada dan wajah ditekuk marah. Cantik, dia masih cantik, bahkan dalam keadaan seperti itu, seperti seorang dewi. Sayang, Arsen menyayanginya, karena cewek itu pacar pertamanya. Namun ..., ada yang salah. Ada yang tidak benar.

"Oke. Kita putus aja."

Arsen tidak memedulikan tanggapan Kaelyn lagi. Tanpa berbalik, dia memutuskan untuk pergi lebih dulu dengan langkah cepat. Karena, jika tidak, dia takut akan berubah pikiran. Dan, seperti itulah Arsen berakhir di rumah Nando, dengan sekantong jeruk yang masih hijau-hijau di tangan.

"Lo ikhlas enggak, sih, Sen, ngasihnya?" Nando mengerutkan wajah usai mencoba seiris jeruk. "Asem banget kayak hidup gue! Yang ada gue kena mag makan ini."

"Kena mag kebagusan buat lo. Biasanya juga mencret," Kian menanggapi, dan Laudy tertawa keras mendengar komentar itu. Begitu pun Nando. Sementara Arsen ..., tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum.

"Jahat kalian!" Nando bangkit dari duduknya, tertatih dengan sebelah kaki yang masih diperban. Dia menuangkan sirop ke empat gelas yang ada. "Minum, Sahabat. Kalian udah capek-capek jengukin gue, jadi terharu."

Kemudian, sebelum suasana menjadi begitu dramatis, Nando kembali menambahkan, "Omong-omong, pacar lo yang cantik itu enggak ikut?" tanyanya, menatap Arsen.

"Udah putus." Arsen balik memandang Nando. Dia berdiri, menandakan tidak ingin membahas ini lagi. Tidak sekarang.

Namun, beberapa langkah menuju pintu, mencari udara segar, dia berbalik, menatap Nando baik-baik. Memandangi rambutnya. "Potong tuh rambut. Model artis K-Pop, kek! Jangan penyanyi dangdut terus!"

Orang bilang, cinta pertama bukan untuk dimiliki, dan mungkin mereka benar. Arsen berusaha merelakannya sekarang. Namun, sahabat pertama ... tidak akan. Dia tidak akan melepasnya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro